241 views 5 mins 0 comments

Working Mom: Maafkan Ibu ya Nduk, Harus Long Distance Parenting

In Asuh, Gaya Hidup
December 26, 2023

Setiap pilihan terlahir beserta konsekuensinya. Kalimat itu aku sadari betul saat aku memutuskan untuk menjadi working mom (ibu pekerja) sejak anakku lahir hingga detik ini. Dengan segala pertimbangan dan juga melalui proses diskusi dengan suami dan keluarga, akhirnya aku memilih menjadi working mom yang juga menjalani Long Distance Parenting (LDR an sama anak) dengan jarak tempuh 3-4 jam perjalanan Malang-Tulungagung. Setiap hari Sabtu aku pulang ke Tulungagung untuk menemui buah hati (maklum, hari Sabtu di kantorku masih masuk hingga pukul 13.00) dan kembali ke Malang hari Senin dini hari.

Dulu, saat masa cuti melahirkan aku sudah menyiapkan mental dan jawaban atas pertanyaan dan kalimat-kalimat negatif yang mungkin muncul ketika aku memutuskan tetap bekerja dan Long Distance Parenting. Aku sudah sangat berdamai pada waktu itu dan siap untuk bekerja kembali dengan segala resiko dan tekanan-tekanan yang akan ada. Akan tetapi, saat mulai bekerja kembali perasaan sedih dan bersalah bermunculan. Kepikiran anak terus-terusan, hati rasanya tidak karuan. Ditambah lagi dengan banyak komentar negatif tanpa solusi bahkan dari teman-teman kantorku. “Kok masih kerja sih?“, “Kok anaknya dititipin di neneknya?”, “Kok tega sih LDR-an sama anak” dan kalimat-kalimat judgement lainnya—yang hingga sekarang membuatku merasa menjadi ibu merupakan sosok paling bersalah di muka bumi ini.

Aku menyebutnya tanpa solusi karena dari komentar-komentar itu aku berpikir mereka hanya melihat dari sudut pandang ideal dan normalnya saja sebagai seorang ibu. Sudut pandang yang mewajibkan ibu terus membersamai anaknya setiap saat.

Namun, mereka lupa menanyakan terlebih dahulu alasan kenapa memutuskan menjadi ibu pekerja sekaligus LDP. Tidak sedikit hanya selesai pada komentar negatif itu saja tanpa memberikan support, apalagi solusi.

Hidup mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua hal berjalan sesuai kondisi normal dan ideal. Menjadi working mom sekaligus LDP merupakan salah satu bentuk kondisi yang tidak ideal dari peran seorang ibu. Sebab, kondisi ideal menempatkan seseorang yang selalu dekat setiap saat dengan anak adalah ibu.

Kondisi tidak ideal ini nyatanya hampir 2 tahun aku jalani. Ya. Seumur anakku, aku menjadi working mom sekaligus menjalani LDP dengan penuh peluh dan berusaha tangguh karena aku masih butuh bekerja dengan segala resikonya. Hari demi hari aku lalui dengan niat mencari rezeki.

Sebagai new mom saat itu dan harus kembali bekerja setelah cuti rasanya raga dan jiwaku belum connect. Aku juga merasa perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan 3 peran serta tanggung jawab sekaligus, yaitu sebagai istri, ibu baru, dan karyawan. Konsekuensi logis dari pilihanku adalah salah satunya aku harus pulang ke Tulungagung tiap Sabtu dan kembali ke Malang hari Senin. Butuh manajemen keuangan yang baik dan fisik yang kuat untuk menjaga diri agar tetap sehat. Harus berdamai dengan keadaan dan rela jika beberapa peranku sebagai ibu harus digantikan oleh ibu mertua. Menerima dengan sabar saat tidak bisa melihat langsung capaian milestone perkembangan anak—seperti pertama kali bisa senyum dan momen-momen indah lainnya.

Working mom dan LDP memang tidak mudah. Namun, akan lebih mudah jika teman dan lingkungan terdekat memberikan rasa nyaman, aman, dan dukungan. Tidak terkecuali di tempat kerja.

Seorang working mom yang menjalankan aktivitas pekerjaan selama 8 jam di kantor, sebenarnya sangat membutuhkan dukungan penuh. Dukungan itu baik dari segi fasilitas seperti ruangan khusus yang tertutup untuk memompa asi (nursing room), maupun segi suasana. Terciptanya suasana aman dan lingkungan yang nyaman selama bekerja adalah hal yang penting, tanpa adanya rundungan dan atau kalimat-kalimat negatif soal pilihan pola asuh, serta tanpa body shaming kepada ibu, dan lain-lain.

Sangat disayangkan, tempat aku bekerja belum memenuhi dukungan fasilitas dan moril (perasaan nyaman dan aman). Di kantorku, belum ada ruangan khusus untuk memompa ASI, belum ada juga ruangan unit kesehatan untuk ibu hamil atau perempuan yang sedang haid—jika ingin beristirahat sekedar rebahan untuk merelaksasikan badannya. Ditambah lagi, dengan kebijakan cuti melahirkan di kantorku hanya selama 2 bulan.

Menjadi seorang ibu baru di masa awal memang sangat sensitif, baik secara hormon, psikis, atau fisik. Maka dari itu, seorang working mom setelah cuti dan kembali bekerja yang dibutuhkan adalah dukungan penuh dari tempat bekerja agar kesehatan tetap terjaga, kinerja tetap prima, dan hidup bahagia.

Gambar Tulisan: mom.com

Anna Ps
/ Published posts: 1

Ibu Pekerja Pecinta Senja