Aku masih ingat betul saat tengah menikmati suguhan vietnam drip, lantas secara tiba-tiba seorang wanita langsung menarik kursi di sampingku. Wajahnya memang tak asing serta dengan hiasan bekas jerawat dan beberapa jerawat masih bermunculan.
“Mas, pandanganmu soal cewek yang memakai jilbab tapi merokok itu gimana?” tanyanya tanpa permisi.
Pertanyaan tersebut memang tidak sekadar keluar dari isi kepala si wanita tanpa sebab. Aku tahu bahwa itu muncul dan tertuju pada dirinya. Aku tahu dia seorang perokok dan dia juga seorang muslimah. Aku masih bingung dengan jawaban yang harus kusuguhkan atasnya. Namun, sejalan dengan bertambahnya usia dan pergaulan mulai meluas, aku jadi punya beberapa sudut pandang soal wanita yang merokok dan juga perokok memakai jilbab.
Dulu aku pernah berpikiran sangat kejam dari kebanyakan stereotype yang mengatakan jika wanita tidak pantas untuk merokok dan akan dianggap sebagai perempuan nakal. Tapi pikiranku lebih kejam dari itu, mungkin karena banyak adegan film atau sinetron yang kebanyakan aku tonton menceritakan bahwa wanita perokok identik dengan dunia malam.
“Sama seperti cowok yang pake peci terus ngerokok.” Jawabku setelah terdiam beberapa saat dan sambil mengeluarkan kepulan asap surya 12.
“Lah, kok gitu mas?” tanya si wanita kaget.
Kukira jawaban sesingkat itu akan membuatnya kembali berfikir sembari memberikan jeda sebelum berlanjut ke pertanyaan lain. Karena aku sadar bahwa dia akan meminta penjelasan yang lebih dan aku pun harus mempersiapkan jawaban yang lebih masuk akal. Aku tahu dia sedang berada di lingkaran satu meja bersama beberapa temannya di lantai satu.
Pertanyaan yang diajukan kepadaku mungkin untuk melihat perspektif lain, karena dia tahu bahwa aku adalah seorang mahasiswa sekaligus santri yang berkuliah di Universitas milik pondok pesantren tersohor di negeri ini. Sepertinya dia sudah kenyang dengan perspektif orang-orang sekitarnya dan ingin melihat perspektif yang mungkin dianggap lebih memiliki pengetahuan agama. Ya meskipun aku tidak sepintar itu.
“Ya emang gitu mbak, dan aku lebih suka kalo mbaknya nanya menurut saya gimana soal cewek muslimah yang pakai jilbab?”
“Ya kalo itu aku tahu mas, kan memang seorang muslimah wajib pakai jilbab.”
“Nah itu mbaknya tahu, padahal mbaknya lebih cantik pas nongkrong pakai jilbab terus nyebat.”
“Maksudku gak gitu lo mas.” Sanggahnya seolah tahu jika omonganku hanya berchyanda (kalau kata anak jaman sekarang).
“Hehehe maaf mbak candaaa, jawabanku tetep mbak, sama halnya seperti seorang laki-laki yang memakai peci dan merokok. Rokok tidak akan punya pengaruh apapun terhadap peci dan jilbab yang notabene adalah atribut. Ya meskipun keduanya punya hukum yang berbeda. Mbak tahu yang paling disayangkan jika seorang wanita berjilbab kemudian merokok?” tanyaku balik.
“Nggak tahu mas.” Jawabnya penuh antusias menunggu jawabanku selanjutnya.
“Wanita berjilbab yang sedang asik menikmati rokok hasil dari duit orang tua. Jadi mbak tidak usah pikirkan soal pikiran orang lain. Toh merokok ya merokok aja, nggak ada soal tentang pakai jilbab. Lagian kita gak bakal dihisab hanya karena pikiran orang lain kok mbak. Jadi, sebelum kita memikirkan pendapat orang lain terhadap kita, alangkah baiknya kalau kita berpikir bahwa orang lain tidak ada yang peduli dan tidak ada yang mau membuang energi mereka untuk memikirkan kita, mbak.”
Ya namanya manusia memang begitu ya. Padahal kalau dipikir, lebih bijak sih mendingan cewek muslimah yang pakai jilbab tapi merokok daripada muslimah gak pakai jilbab dan merokok. Kan ruginya dobel tuh. Sederhananya sih gitu. Ya tapi kembali lagi, namanya juga manusia, punya ketakutan dan kekhawatirannya sendiri dari konsekuensi apa yang ia dapat dari sebuah perbuatan.
Menurutku, tidak pantas untuk menghakimi seorang perokok, entah sang perokok adalah wanita atau pria. Saya juga tidak menganjurkan siapapun untuk merokok, karena memang tidak sepenting itu. Aku seorang perokok yang mendapat restu langsung dari Ayah, mungkin ayahku tidak ingin mengekangku terhadap apa yang beliau sendiri lakukan. Dari restu ini, yang kutangkap adalah Ayahku ingin mengajariku cara bertumbuh dan mengambil keputusan terhadap sesuatu yang tidak dilarang namun tak sebaik itu untuk dilakukan.
Aku sendiri sadar jika merokok tidak hanya sebuah pekerjaan yang sia-sia, tetapi juga sangat disayangkan. Sayang paru-parumu, sayang orang di sekitarmu, dan sayang kantong dipaksa tak boleh kering hanya untuk kembali mengepulkan asap. Bahkan, jika ada orang yang menanyakan pendapatku soal rokok, maka akan kujawab tidak baik. Akan tetapi, aku sangat yakin pada setiap diri yang masih merokok termasuk aku yang sekarang, pernah terlintas dalam benak “kapan ya aku bisa berhenti merokok?”
Pada intinya merokok itu tidak baik, tetapi lebih tidak baik jika menghakimi seorang perokok itu buruk. Merokok ya merokok saja, tidak boleh ada penghakiman yang mutlak bahwa wanita perokok atau wanita berjilbab yang merokok adalah sebuah penyimpangan dan mewajarkan jika perokok itu adalah pria.
Sumber gambar: Freepik.com
