185 views 4 mins 0 comments

Tarian Kesenian: Pembebasan Perempuan atau Belenggu?

In Opini, Serba-serbi
October 06, 2023

Sepanjang hidup dan matinya, manusia mengalami dinamika-problematika yang kompleks, sehingga sering kali disebut mahakarya Tuhan. Mahakarya yang ukirannya dipengaruhi oleh rasa, emosi, alam, uang, hingga kuasa. Namun, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan manusia perempuan merasakan “pisau pahat” yang lebih tajam, salah satunya disebabkan oleh budaya patriarki. Budaya patriarki sendiri merupakan suatu struktur dan praktik sosial saat laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan berdasarkan kekuasaan. Selanjutnya, kembali pada mahakarya Tuhan yang disebut manusia, yang memiliki kebiasaan merayakan sesuatu dalam hidup dengan bentuk upacara, salah satunya kesenian. Kesenian yang menjadi paling laris dan menarik adalah kesenian tari.

Kesenian tari memiliki ragam fungsi yang tak terbatas pada agama, penghormatan, penyajian kehidupan masyarakat maupun estetik yang disesuaikan atau ditujukan kepada orang-orang istana. Namun, kilau warna globalisasi memberi corak baru kepada seniman yang kemudian melahirkan keragaman dalam kesenian tari. Fakta ini kemudian menggeser posisi seni istana dari kiblat kesenian. Hal tersebut menumbuhkan semangat para seniman nusantara untuk menampilkan jati diri mereka. 

Perkembangan dalam kesenian tari dapat dilihat dari gerakan, musik pengiring, maupun pakaian yang dikenakan. Seperti pada tarian perut yang merupakan tari tradisional Timur Tengah yang memiliki peranan sebagai tarian untuk melahirkan karena dapat memberikan ketenangan, kelenturan, dan kekuatan selama kehamilan. Tarian ditampilkan dengan menggunakan pakaian tertutup yakni pakaian lengan panjang, rok panjang, yang kemudian dililitkan pita di sekitar panggul. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembebasan perempuan dalam hal kesehatan dan kekuatan dapat didukung melalui kesenian tari. Selanjutnya, pada masa moderen, tarian perut cenderung mengarah pada erotisme dengan menggunakan pakaian yang sangat minim kain. Hal tersebut dapat dinilai dari berbagai sudut pandang, salah satunya sebagai bentuk keberlanjutan sejarah yang disembunyikan maupun pembebasan individu dari belenggu konstruksi sosial masyarakatyang menuntut perempuan untuk menutupi mahakarya Tuhan yakni bagian tubuhnya. 

Namun, di balik keindahan pada kesenian tari terdapat pesan atau makna yang ingin disampaikan. Prosesnya pun tidak hanya keringat, tetapi juga pengorbanan sang penari dalam membawa tarian ke atas panggung. Salah satu proses tersebut diabadikan dalam buku The Moon Opera karya Bi Feiyu, mengisahkan bagaimana penari opera Cina yang ingin memerankan Dewi Bulan “Chang’e” dengan sempurna. Akhirnya, penari perempuan senior tersebut menggugurkan kandungannya demi tampil dengan tubuh ramping. Selanjutnya dalam buku Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari yang meceritakan penari ronggeng di Desa Dukuh Paruk tidak dapat menikah dengan pujaan hatinya karena penari ronggeng secara turun temurun tidak menikah dan hanya akan bersetubuh dengan pria yang membayar paling tinggi. Hal tersebut terjadi karena suatu budaya yakni siapa pun yang dapat membayar paling tinggi dapat menyetubuhi penari ronggeng, warisan budaya yang dipandang sebagai pencapaian tertinggi para pria. Pun istri mereka tidak akan cemburu, justru akan merasa bangga karena suaminya dapat “mencicipi” penari ronggeng yang sangat cantik dan dikagumi satu kampung. Hidup penari ronggeng tidak berlangsung hingga masa tuanya, semua meninggal dikarenakan santet ataupun penyakit kelamin.

Hal ini menunjukkan bagaimana konstruksi sosial menancap dengan kuat sehingga mempengaruhi pola pikir perempuan untuk tampil sesuai permintaan pasar.  Ada saatnya kesenian tari dapat membelenggu maupun membebaskan perempuan.

Sumber gambar: freepik.com

Referensi

Burris, Val. The Dialectic of Women’s Oppression: Notes on the Relation Between Capitalism and Patriarchy. Berkeley Journal of Sociology. Vol. 27, Special Feminist Issue (1982): 51-74. https://www.jstor.org/stable/41035317

Walby, Sylvia. Theorising Patriarchy. Sociology 23, No. 2 (1989): 213–34. http://www.jstor.org/stable/42853921.

Astini, Siluh Made; UTINA, Usrek Tani. Pendet Dance as Welcome Dance Coreography Research. Harmonia: Journal Of Arts Research And Education, 2007, 8.2.

Soedarsono, R. M. “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.” Yogyakarta: Gajah Mada University Press.(2002). hlm 112

Ranita, Bella Ami. Pengaruh Belly Dance Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu Hamil Primigravida Trimester III. Jurnal Ilmiah Bidan, 2016, 1.3: 26-35.



Rani Harahap
/ Published posts: 1

Penikmat Buku