153 views 5 mins 0 comments

Review Buku Si Parasit Lajang Karya Ayu Utami

In Review, Serba-serbi
October 09, 2023

“Pernikahan itu bukan harus, melainkan perlu. Perlunya bagi yang membutuhkan saja.”

Buku karya Ayu Utami yang pertama saya baca adalah “Kisah-Kisah Orang Capricorn”, kebetulan saya berzodiak Capricorn. Saat pertama kali membaca tulisannya, saya  yang kala itu masih duduk di bangku SMP tersihir di setiap kata yang tertoreh di dalamnya. Karena hal tersebut, yang membuat saya tertarik dan terus ingin membaca karya Ayu Utami. Menurut saya, Ayu memiliki pemikiran yang sangat unik; di mana melihat realita yang sederhana menjadi kompleks. Ayu Utami berani menyuarakan ketidak-adilan yang diterimanya sebagai perempuan bahkan dalam topik yang dianggap paling tabu sekali pun, misalnya seksualitas. Kali ini saya akan membahas bukunya yang benar-benar memaksa saya membuka pikiran, berjudul “Si Parasit Lajang”, buku yang memuat ihwal pernikahan dalam budaya patriarkal.

Pada saat menulis buku ini, Ayu Utami berpikir untuk tidak akan menikah seumur hidupnya. Hal tersebut merupakan bagian dari sikap politik yang diambil sebagai bentuk protes terhadap pernikahan dalam budaya patriarkal. Menurutnya, masyarakat terlalu mengagungkan pernikahan. Dalam dongeng-dongeng klasik misalnya, happy ending selalu ditandai dengan pernikahan sang Putri (Mengapa selalu begitu? Tidakkah bisa sang Putri bahagia seandainya dia tidak menikah?).

Realitanya pernikahan tidak seideal sebagaimana yang diagung-agungkan, setidaknya dalam masyarakat patriarkal. Masyarakat menempatkan pernikahan sebagai titik takdir, sejajar dengan kelahiran, dan kematian. Padahal kalau dipikir lagi, jelas berbeda. Lahir dan mati adalah proses biologis, sedangkan pernikahan harusnya terjadi karena pilihan. Artinya, seharusnya orang boleh memilih untuk menikah atau tidak.

Pernikahan bukan fenomena alamiah, ia adalah hasil budaya dan konstruksi sosial. Nah, masalahnya selalu ada yang nggak beres dengan konstruksi sosial. Menurut Ayu, (dan faktanya memang begitu) pernikahan melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan. Masyarakat yang patriarkal berasumsi bahwa laki-laki adalah pihak yang superior, mereka menyantuni perempuan dan tak mungkin sebaliknya. Seolah dalam rumah tangga, perempuan hanya bisa bergantung pada belas kasih lelaki.

Pun jika ditilik dari segi kebahasaan, harusnya sudah tampak bahwa memang pernikahan melanggengkan supremasi lelaki atas perempuan. Coba perhatikan kalimat yang umum digunakan ini: Tuan A menikahi Nona B, Nona B dinikahi Tuan A. Imbuhan “di” adalah imbuhan yang dikenakan pada objek. Perempuan dinikahi. Bukankah keduanya memiliki pola kalimat yang sama?

Menurut Ayu Utami (dan lagi-lagi faktanya memang begitu), dalam budaya patriarkal, perempuan dianggap mapan kalau ia sudah jadi seorang bini. Titik puncak keberhasilan perempuan sering kali diukur ketika ia berhasil menjadi nyonya yang punya suami sukses. Padahal, mengapa harus menjadi nyonya hakim, kalau perempuan sendiri berpotensi menjadi hakim?

Gambar: Dokumentasi Pribadi Penulis. 

Sayangnya, perempuan-perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka turut melanggengkan nilai-nilai patriarkal. Mereka menjadi sangat khawatir kalau di umur sekian belum menikah. Seakan menjadi sendiri atas pilihan sendiri adalah hal yang hina. Istilah perawan tua selalu dikonotasikan negatif. Kesemuanya merupakan hasil budaya patriarkal.

Mereka mendoktrin perempuan bahwa segala pencapaianmu itu sia-sia kalau belum menikah. Untuk apa sukses kalau nggak jadi bini orang? Konsep pernikahan dalam budaya patriarkal membuat seakan perempuan bukan apa-apa tanpa lelaki. Seakan perempuan hanya bisa bahagia dengan pernikahan.

Saya berani memberi rating yang tinggi untuk buku ini. Dari segi estetika, kover dengan nuansa vintage menurut saya menarik sekali. Bahasa yang dipakai di buku ini pun sangat santai, lugas, dan jelas. Cocok buat saya yang sulit memahami kata-kata puitis. Penyampaiannya khas Ayu Utami, apa adanya dan tak takut menggunakan kosa kata vulgar. Tak jarang, ia juga menyisipkan pengalaman-pengalamannya yang lucu. Jadi, pembaca nggak diajak mikir berat terus.

Selama membaca buku ini, hampir setiap tulisan yang dilukiskan dalam buku ini, memberikan makna afirmasi kesetujuan saya kepada Ayu. Karena memang sebagian besar yang disampaikan Ayu relate sekali dengan apa yang saya alami selama ini. Melalui tulisan, ia berhasil merefleksikan fenomena sosial di sekitar dengan apik. “Si Parasit Lajang” sangat membuka mata saya sebagai perempuan. Buku ini memiliki amanat yang ihwal keberanian untuk memutuskan sesuatu yang terlihat tabu di tengah masyarakat. Kita harus sadar, bahwa perempuan adalah subjek, bukan sekadar objek. Bahwa kita boleh untuk tidak berjalan seperti yang digariskan konstruksi sosial. Toh, apa pun keputusan kita, kita sendirilah yang akan menanggung baik dan buruknya.

Judul Buku: Si Parasit Lajang

Penulis:  Ayu Utami

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Halaman : 228

Gambar: www.grisseldanihardja.com

Diah Retnaning Pawestri
/ Published posts: 1

Penikmat Buku