Isu Disabilitas di Indonesia sekarang sedang sangat gencar diperjuangkan. Sejak beberapa tahun yang lalu, penyandang disabilitas diperbolehkan untuk mengakses pendidikan formal umum, atau di pendidikan luar biasa. Kebijakan terbaru yang dikeluarkan pemerintah adalah Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, yang di dalamnya mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak untuk memperoleh Pendidikan (Nisa, 2019). Penyandang disabilitas menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2016 diartikan sebagai orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga lainnya berdasarkan kesamaan hak (Ghaissani, 2020). Penyandang disabilitas dibagi menjadi empat, yaitu tunanetra (gangguan penglihatan), tuna rungu (gangguan pendengaran), tuna daksa (kelainan anggota tubuh), dan berkelainan mental (Aziz, 2014).
Kita semua manusia adalah sama, sama-sama mempunyai hak dan kesempatan yang sama terkhusus dalam memperoleh pendidikan. Meskipun manusia terlahir berbeda-beda, dengan beberapa yang terlahir menyandang disabilitas atau mempunyai keistimewaan khusus dalam hidupnya. Disabilitas merupakan kondisi yang dimiliki oleh manusia-manusia pilihan, sehingga perlu pemenuhan kebutuhan yang khusus. Dalam ruang pendidikan, semua manusia layak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Menurut saya, siswa penyandang disabilitas perlu menempuh pendidikan di sekolah luar biasa untuk mengetahui potensi dan tingkatan disabilitasnya, agar kemudian terlatih dan mampu bersekolah di sekolah formal umum. Namun, siswa yang berada di sekolah umum perlu juga belajar dan diberikan pembekalan untuk mengasah kepedulian dan bagaimana bersosialisasi dengan siswa penyandang disabilitas atau lebih baik disebut difabel. Melihat dari sebuah penelitian Ghaissani, (2020) ditemukan hasil pengembangan inovasi perpustakaan SMAN 1 Bantul. Perpustakaan Ganesha telah melakukan pengembangan pelayanan publik berupa pembukaan layanan bagi pemustaka luar SMAN 1 Jetis Bantul. Inovasi tersebut berupa pendampingan belajar bagi siswa di luar SMAN 1 Jetis Bantul. Pemustaka tersebut antara lain siswa penyandang disabilitas yang bekerjasama dengan YAKETUNIS (Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam) Yogyakarta (Ghaissani, 2020).
Langkah seperti itu tentunya sangat baik untuk memulai sebuah perubahan dalam pemberdayaan siswa disabilitas. Secara tidak langsung, upaya ini mengajarkan siswa normal maupun siswa difabel untuk saling berinteraksi dan bersosialisasi bersama. Pendidikan merupakan salah satu hak penyandang disabilitas yang wajib dipenuhi oleh negara. Terpenuhinya hak pendidikan penyandang disabilitas akan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menjadi setara dengan manusia lainnya dan tidak lagi menjadi kaum yang termarjinalkan (Nisa, 2019).
Merujuk dari kebijakan UUD NRI 1945 tentang hak asasi manusia tersebut sudah jelas bahwa memang setiap warga Indonesia mendapatkan hak dalam memperoleh Pendidikan. Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD NRI 45. Pasal 31 ayat (1) berisi: “Tiap- tiap warga negara berhak untuk mendapat pengajaran”; dan ayat 2 berisi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”. Fenomena yang saya temui pertama, instansi sekolah menengah atas di tempat saya pernah mengajar terdapat siswi yang mengalami keterbelakangan intelektual dan mendapatkan kesempatan serta akses dalam memperoleh pendidikan di sekolah umum atau non SLB (Sekolah Luar Biasa). Akan tetapi, menurut saya pengetahuan perihal disabilitas masih kurang dimiliki baik oleh guru selaku tenaga pendidik maupun siswa-siswi lainnya. Pasalnya, masih adanya bullying serta siswi tersebut mengalami ketertinggalan. Sementara itu, para guru terkesan memberikan pemakluman ali-alih mengarahkan pembelajaran yang maksimal. Akhirnya, proses sekolah dalam konteks ini hanya terkesan sebagai formalitas saja.
Kedua, masih adanya syarat dalam mendaftar untuk bersekolah seperti “sehat jasmani dan rohani” yang seolah memberikan batasan akses dan kesempatan untuk penyandang disabilitas dalam memperoleh pendidikan umum, yang pada akhirnya selalu diarahkan untuk bersekolah di SLB. Sedangkan, biaya untuk SLB terbilang cukup mahal. Terdapat kejadian di suatu universitas tempat saya berkuliah, tepatnya di fakultas ilmu keolahragaan. Seorang mahasiswa disabilitas tuna rungu terdaftar masuk dalam jurusan pendidikan kepelatihan olahraga. Saat itu, ada seorang dosen yang menyatakan “kecolongan” dalam artian seperti kenapa bisa sampai mahasiswa tersebut lolos seleksi masuk dalam jurusan olahraga. Dari sini dapat disimpulkan bahwa memang masih terdapat batasan-batasan untuk penyandang disabilitas dalam memperoleh pendidikan yang sama dengan manusia yang tidak disabilitas.
Tantangan siswa penyandang disabilitas memang masih dibilang susah untuk pendidikan di perguruan tinggi. Perlunya pergerakan masif baik dari pemerintah, kebijakan, tenaga pendidik, keluarga dan masyarakat mengenai kesetaraan dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Masih perlu tingkatkan Kembali bahwa memang pendidikan sangatlah penting. Apabila manusia memperoleh pendidikan, pola pikir dan etika publiknya dapat lebih terbuka. Dengan demikian, masih terjadi bullying atau perundungan serta pengucilan terhadap penyandang disabilitas. Namun, tidak menutup kemungkinan juga terdapat orang yang bersekolah masih memarjinalkan penyandang disabilitas karena kurangnya pengetahuan.
Pendidikan hadir bukan semata hanya penunjang untuk mencari pekerjaan. Pendidikan hadir bukan semata hanya untuk belajar ilmu agama dan ilmu sains maupun sosial. Pendidikan hadir lebih dari itu. Berpendidikanlah di luar sekolah. Pendidikan hadir membantu kita untuk memiliki pola pikir dan dapat memanusiakan manusia, bukan memberi batasan untuk hak dan kelas sosial.
Sumber gambar: pngtree
Referensi:
Aziz, S. (2014). Perpustakaan Ramah Difabel: Mengelola Layanan Informasi Bagi 8 Pemustaka Difabel. AR-Ruzz Media.
Ghaissani, F. A. (2020). Pengembangan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas Di Perpustakaan Sekolah. UNILIB : Jurnal Perpustakaan, 11(2), 150–155. https://doi.org/10.20885/unilib.vol11.iss2.art8
Nisa, L. S. (2019). Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas di Kalimantan Selatan. Jurnal Kebijakan Pembangunan, 14(1), 47–55.