297 views 10 mins 2 comments

Rasuna Said: Perempuan Mesti Punya Pendidikan Politik

In Tokoh
January 19, 2024

“Perempuan itu mesti cantik, namun bukan sekadar wajah yang dipermak hingga serupa dengan barbie masa kini. Akan tetapi, cantik itu juga harus dalam pikiran, karena kamu punya andil yang sangat besar menentukan arah bangsa ini.”

Kata ‘cantik’ sering kali diartikan berbadan langsing, hidung mancung, berambut panjang, dan kulit yang putih. Tak heran perempuan kerap kali berlomba untuk menjadi cantik seperti asumsi publik. Makna kecantikan yang diasumsikan oleh publik mesti perlahan diubah menjadi cantik yang lebih elegan. Misalnya, cantik dalam berpikir tajam.

Hal tersebut kerap kali menjadi perdebatan yang tak pernah usai. Setiap lakon yang dilakukan oleh perempuan harus dibangun berdasarkan pengetahuan. Dengan pengetahuanlah perempuan dapat mengetahui hak dan kewajibannya.

Pengetahuan menjadi kebutuhan setiap orang, baik perempuan maupun lelaki.  Pengetahuan itu ibarat kompas yang memandu jalan. Tanpa pengetahuan, manusia akan mudah tersesat. Apabila terjadi, akan menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Kita akan gemar membenci, menghasut, berbohong, dan dengki. 

Seperti halnya, Hajjah Rangkayo Rasuna Said—dia terkenal menjadi perempuan cantik berpandangan luas nan tajam, cantik akan keberaniannya, cantik akan mimpi sosialnya, dan cantik akan keteguhannya. Dia pun tersohor sebagai singa betina di podium, suaranya lantang hingga bulu kuduk para pemerintah Belanda terbakar. 

Baginya, perempuan itu mesti mahir menulis, membaca, hingga memiliki pengetahuan untuk membaca dan menulis realitas sosial. Hal ini yang kemudian mengilhami perempuan yang lahir pada 14 September 1910 tersebut untuk menggagas pendidikan formal, khususnya bagi kaum perempuan Minangkabau. Pendidikan itulah yang mengantar perempuan mampu turut andil dalam setiap sendi kehidupan sosialnya. 

Berkelana untuk Belajar 

Lahir di tengah keluarga yang religius membuat dirinya memiliki nilai-nilai agama yang kental sejak kecil. Ditambah dengan didikan ayahnya, membuat ia menjadi pribadi yang berbeda dengan perempuan pada masanya. Ayahnya yang bernama Muhammad Said, seorang saudagar Minangkabau aktivis pergerakan, dan guru yang menjadi tokoh Taman Siswa. 

Setelah menamatkan sekolah dasar, Rasuna dikirim ke pondok pesantren ar-Rasyidiyah. Di sana, ia menjadi satu-satunya santri perempuan. Jejak pendidikannya tidak hanya di pondok tersebut, tetapi Rasuna juga berkelana untuk mempelajari satu ilmu ke ilmu lainnya hingga menjadikannya perempuan yang mempunyai pengaruh di Minangkabau. Tepat pada 1923, Rasuna dikirim ke Sekolah Diniyah di Padang Panjang untuk mempelajari pelajaran umum. Walaupun tumbuh di keluarga yang memiliki kedalaman pengetahuan agama yang luas, keluarganya tak menutup mata dengan pengetahuan umum, barangkali hal tersebut dipengaruhi oleh aktivitas politik ayahnya. 

Pada 1926 terjadi guncangan alam hingga melahap sekolah tersebut, hingga menghendaki Rasuna untuk kembali ke kampung halamannya. Lalu tak membutuhkan waktu lama, Rasuna melanjutkan sekolahnya di Haji Abdul Majid dengan waktu yang relatif pendek. Sebab, Rasuna seorang perempuan, ia meneruskan pendidikannya di Sekolah Putri (Meisjesschool) untuk memperoleh keahlian memasak, menjahit, dan urusan rumah tangga untuk membekali kelak dirinya menjadi ibu dan istri. 

Tepat pada 1930, Rasuna Said memutuskan untuk kembali bersekolah di Sekolah Sumatera Thawalib di bawah pimpinan Haji Udin Rahmani, yang kelak akan menjadi mentor dalam aktivitas politik Rasuna Said. Sifat, kepribadian, dan keahliannya mulai tampak saat Rasuna bersekolah di sana, salah satunya saat ia mengikuti kelas debat dan berpidato. Dengan demikian, dirinya menjadi murid yang terkenal lihai berpidato. Bahkan, isi pidatonya pun menggelegar membuat dirinya disematkan menjadi orator ulung. 

Tepat berusia 23 tahun Rasuna Said menempuh pendidikan terakhirnya di Islamic College, Pandang. Selama menempuh pendidikan, Rasuna Said bergabung dalam kegiatan kepenulisan. Aktivitas inilah yang kemudian menentukan pilihannya kelak untuk berjuang dengan tulisan yang membara dan menggebu-gebu akan kebencian terhadap penindasan yang terjadi. 

Di balik kegigihannya untuk belajar ilmu dari satu tempat ke tempat lainnya, menjadikan Rasuna sadar akan kewajibannya sebagai manusia yang sesungguhnya. Ia melihat fenomena di sekitarnya, terdapat kesenjangan hak dan kewajiban yang terjadi terhadap perempuan. Akhirnya, masalah ini membuatnya bergerak ikut andil untuk menumpaskan ketidakadilan yang terjadi, salah satunya adalah dengan mendidik perempuan untuk melek akan haknya dan mampu mengartikan dirinya sendiri dengan bebas.

Pendidikan Politik Bagi Perempuan 

Rasuna Said tidak hanya terkenal menjadi perempuan yang cerdas, tetapi juga taat dalam beribadah. Ketaatan itulah yang membuatnya yakin bahwa perempuan harus terdidik sesuai ajaran agama yang berlaku. Dengan demikian, tak heran apabila ia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk memajukan pendidikan perempuan. 

Kala itu, Rasuna memiliki kesempatan untuk mengajar di Diniyyah Putri sebagai guru. Hatinya amat bahagia karena dapat memberikan ilmu yang telah didapat, utamanya soal kesadaran terhadap perempuan. Akan tetapi, dalam perjalanan yang telah dilalui, banyak kegundahan yang terjadi. Baginya, mengajar kaum perempuan tidak hanya sebatas pengetahuan saja, tetapi harus disertai dengan perjuangan politik.

Singkat cerita, Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik di kurikulum sekolah Diniyah School Putri, namun ditolak. Penolakan itu terjadi karena berbeda pandangan, bahwa pendidikan tingkat awal tak semestinya mendapat pendidikan politik, menurut salah satu rekannya. Akhirnya, ia berhenti mengajar dan mulai berkecimpung di kancah politik untuk melanjutkan perjuangannya.

Walaupun pilihannya masuk dalam ruang bernama politik, ia tetap saja tak bisa meninggalkan dunia pendidikan sebagai bentuk kepeduliannya terhadap perempuan. Sekitar 1930, hatinya tergores melihat kaum perempuan dilarang mengenyam pendidikan dan politik praktis. Fakta ini lantas membuatnya memilih untuk mendirikan organisasi bernama Permi (Persatuan Muslim Indonesia) untuk perempuan dan anak perempuan. Permi merupakan organisasi Islam yang mendukung hak perempuan atas pendidikan agama. Permi akhirnya berkembang pesat dan memiliki ribuan anggota perempuan, salah satu nilai yang dibawa oleh Permi adalah anti-poligami. 

Rasuna juga mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Permi, seperti berpidato, berdebat, ilmu agama, hingga pendidikan politik. Tak hanya mendirikan sekolah ataupun organisasi, tetapi perjuangannya juga dilakukan dalam dunia pers untuk menyebarkan gagasan ihwal keadilan dan kesetaraan perempuan. 

Propagandis Lewat Majalah 

Misalnya, pada 1937 di Medan, Rasuna mendirikan perguruan tinggi puteri, tujuan utamanya adalah menyebarluaskan gagasan terhadap perempuan. Selain itu, Rasuna juga membuat koran yang bernama Menara Poetri. Koran ini banyak membicarakan isu perempuan yang berkaitan dengan antikolonialisme sebagai isu pokok untuk dikulik. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, serta keberpihakannya jelas dalam mengambil sikap lantang antikolonial.  

Dengan media tersebut, gagasan dan dirinya pun mulai dikenal, Rasuna Said adalah perempuan Minangkabau yang memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam batas-batas keislaman. Tidak hanya itu, media tersebut juga memuat semua permasalahan yang dihadapi perempuan kala itu. Semangat yang berapi-api itu disebarkan melalui media tersebut, kemudian membuatnya dekat dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional, salah satunya Soekarno. 

Bahkan banyak yang memuji majalah yang didirikan oleh Rasuna Said, majalah yang memiliki bahasa yang bagus, berani, dan konsen terhadap perempuan. Walaupun begitu, majalah tersebut tidak berumur panjang, karena memiliki permasalahan soal pendanaan. Mau tidak mau, Rasuna harus merelakan media tersebut untuk ditutup. 

Seyogianya tidak hanya pada 1937 dirinya memasuki dunia jurnalistik. Akan tetapi, sejarah mengatakan pada 1935 Rasuna pernah menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal dan revolusioner, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Semangat antikolonialisme menjadi gagasan utama dalam majalah tersebut. Bahkan disebutkan bahwa kemerdekaan mesti direbut dari kolonial yang telah menjajah Indonesia sekian lama. 

Namun, Polisi Rahasia Belanda mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Akibatnya, Rasuna harus menghentikan segala aktivitas literasi politik yang telah ia lakukan dengan kawan-kawan seperjuangannya. Sedangkan tokoh-tokoh yang terkenal memiliki misi yang sama tak mampu untuk memperjuangkan media tersebut, sehingga membuatnya harus merelakan medianya diberedel oleh pemerintah Belanda. Walaupun masalah ini membuatnya memiliki kekecewaan yang mendalam atas sikap abu-abu dari para tokoh Sumatra Barat, tak lantas membuat Rasuna vakum untuk melakukan perjuangan. 

Baginya, merebut kemerdekaan adalah anjuran agama sebagai kewajiban menjadi hamba Allah Swt. sebagaimana surat yang ditulis olehnya untuk anggota Permi “Kita berjuang dengan keyakinan! Jika kita menang dalam perjuangan kita, kita akan mendapatkan dua manfaat. Pertama, Indonesia akan merdeka; kedua, surga seperti yang dijanjikan Allah. Dan jika kita gagal–tapi tidak boleh–maka memang Indonesia merdeka tidak akan tercapai, tapi surga masih menanti. Ini adalah keyakinan kita!” (dilansir dari p2k.stekom.ac.id.).

Rasuna meninggal di Jakarta karena kanker darah pada 2 November 1965. Namanya abadi seperti nilai perjuangannya yang akan selalu diperjuangkan atas nama keadilan dan kesetaraan gender. Keberaniannya adalah simbol penghambaan kepada Mahapencipta. Ia, Rasuna Said, perempuan Minangkabau yang tak pernah letih untuk berjuang. 

Salam Kesetaraan dan Keadilan Gender!

Sumber Gambar: Kompas.id

Miri Pariyas
/ Published posts: 5

Redaksi Angkatsuara.id

2 comments on “Rasuna Said: Perempuan Mesti Punya Pendidikan Politik
Leave a Reply