137 views 8 mins 0 comments

Menjaga Keterwakilan Perempuan

In Opini, Serba-serbi
September 23, 2023

Pendahuluan 

Dua isu penting yang dibahas pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perempuan di Beijing 1995: pertama, perlunya meningkatkan jumlah kaum Perempuan di dunia politik dan kedua, memperkokoh basis perempuan. Meningkatkan partisipasi politik perempuan baik tingkat lokal maupun nasional akan berpengaruh pada kualitas demokrasi di Indonesia. 

Keterwakilan perempuan dalam politik dari zaman ke zaman mengalami peningkatan, tentu dalam perjalanan tersebut mengalami jalan yang berliku, seperti pengalaman penurunan keterwakilan Perempuan pada 1992-1999, sedangkan pada 1999-2019 yang terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) 1999 hingga Pemilu terakhir pada 2009. Pada Pemilu 1999 (9,2%), Pemilu 2004 (11,8%), Pemilu 2009 (18%), Pemilu 2014 (14%), Pemilu 2019 (20,5%). 

Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, dalam hal ini ikut dalam konteslasi Pemilu bukanlah sebuah hal yang mudah. Perjuangan ini mulai terlihat pasca-Soeharto mundur dari jabatan Presiden, perempuan mulai mendapatkan tempat dalam dunia perpolitikan Indonesia. Tentu ini buah dari perjuangan perempuan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmasi terhadap peningkatan keterwakilan Perempuan dalam membangun demokrasi Indonesia. 

Upaya membangun sebuah kesetaraan yang tidak membedakan gender, suku, agama dan bangsa) telah dimulai sejak lama, ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 dan Pasal 2 DUHAM yang berbunyi:

Pasal I DUHAM:

“Setiap orang yang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal budi dan Nurani, dan hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan.”

Pasal 2 DUHAM berbunyi:

“Setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub di dalam pernyataan ini, tanpa kekecualian apapun, seperti asal usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnya, kebangsaan atau asal-usul sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status sosial lainnya.”

 Membangun Hukum yang Pro Perempuan

Dalam hukum Internasional, telah banyak aturan turunan DUHAM yang memiliki tujuan melindungi perempuan, seperti terbitnya Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention for the Elimination of Discrimination Against Women).

Bagaimana dengan perjalanan perjuangan Indonesia dalam hal melindungi hak-hak perempuan? Indonesia telah melakukan ratifikasi beberapa konvensi Internasional, yaitu:

  1. Konvensi tentang Hak-Hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958.
  2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.
  3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
  4. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 beserta protokolnya.
  5. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 beserta protokolnya.

Perjuangan untuk menghadirkan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan bagi perempuan terus berlanjut, dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Perumus memasukkan Bab XA yang mengatur secara rinci hak konstitusional warga negara, tentu dalam hal ini adalah upaya menjamin perempuan mendapatkan keadilan, kedudukan yang setara, baik dalam domestik keluarga, lingkungan sosial, lingkungan kerja, dalam politik pemerintahan. 

Perempuan Menjadi Wakil Rakyat

Perjuangan perempuan dalam politik mulai terbuka. Ini dimulai sejak dimasukkannya rumusan kuota 30% (tiga puluh persen) bagi perempuan untuk duduk di kepengurusan partai politik dan lembaga DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang afirmasi perempuan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 245 UU 7/2017 menyatakan bahwa “memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%”. 

Kemunduran 

Sejak dari dulu KPU memiliki singkatan dari Komisi Penyelenggara Pemilu, akan tetapi dalam hal pengaturan afirmasi perempuan, KPU merupakan singkatan Komisi Penafsir UU. Mengapa bisa demikian? KPU dalam mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 8 ayat 2a terkait dengan cara menghitung jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan. Jika terdapat dua desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, dilakukan pembulatan ke bawah. Sebaliknya, jika di belakang koma bernilai 50 atau lebih, dilakukan pembulatan ke atas.

PKPU yang merupakan turunan teknis dari UU Pemilu, seharusnya PKPU tetap sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam UU Pemilu. Dalam konteks ini, Pasal 245 UU Pemilu mengatur tentang keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. 

Artinya, 30% merupakan ambang bawah, bukan ambang maksimal, mudahnya, Partai Politik dalam hal mendaftarkan wakil rakyat harus memenuhi syarat 30 persen berasal dari perempuan. 30% merupakan suatu ketentuan baku yang sama sekali tidak mengenal tambahan frasa “jika”. 

KPU pun hanya bisa berjanji, dengan janji akan merevisi maka publik akan diam. Tentu suara perempuan tidak bisa dibungkam dengan janji-janji KPU. Hal ini terbukti dengan Koalisi Perempuan Indonesia dan Perludem serta Pegiat Kepemiluan yang mengajukan pembatalan pengaturan norma dalam PKPU yang bermasalah tadi di Mahkamah Agung Republik Indonesia teregister perkara Nomor 24 P/HUM/2023.

Permohonan Uji Materi tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung, dalam Amar Putusannya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.” Oleh karena itu, Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut harus dicabut. 

Dengan demikian, partisipasi perempuan untuk dapat berperan aktif dalam proses politik seharusnya menjadi kesadaran bersama. Seharusnya penyelenggaraan pemilu memahami bahwa kerja-kerja wakil rakyat di setiap jenjangnya, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sangat berkaitan dengan isu perempuan, oleh karena itu inilah pentingnya wakil rakyat dari perempuan. 

16 September 2023

Ibny Syamsu Hidayat

Petani di Batu

Sumber gambar: optika.id

Ibnu Syamsu
/ Published posts: 1

Petani Batu