488 views 18 mins 0 comments

Mencari Impresi Isu Wanita dan Hal-Hal Lain dalam Film JCSDFF

In Review
January 25, 2024

Seorang kawan perempuan berusaha meyakinkan saya, di forum diskusi film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, dia berbisik, bahwa satu-satunya membereskan kesetaraan perempuan setara dengan pria di Indonesia, adalah dengan mempermak film-film di Indonesia aktornya perempuan superior semua dan hapus sinetron Azab Istri Pada Suami. Sambil mengepalkan tangan kiri “Dan kita ini,” bersosialisasi ke setiap organisasi perempuan, pendidikan, dan ke tokoh masyarakat, “generasi muda, terpelajar atau tidak harus ikut serta.” 

Dia berusaha meletakkan pemikiran saya, kalau film itu ideal, bukan dunia praktikal. Bermula dari pertemuan itu, saya memulai tulisan ini berposisi sebagai penonton film biasa-biasa saja, tidak berposisi sebagai penonton film serius, apalagi sebagai kritikus, jauh dari itu. Konon film itu punya dunia sendiri, jadi belum pantas untuk diseriusi, cukup dinikmati. Kenyataan hidup kita masing-masing perlu dirayakan dengan serius, tidak boleh ambisius cepat stroke. 

Adapun, saya berusaha ambil bagian tak penting dalam film ini; entah pada adegan aktor kabur saat akting dan menghilang, obrolan konyol seorang tokoh mengesankan, dan bualan banyol tak berkualitas—dianggap bagus atau tidak, ini usaha saya menemukan impresi dan hal-hal lain dalam film. Kalau seumpama kurang baik jangan hujat saya atau kalau ketemu di jalan jangan tusuk dari belakang, ya. …Biarkan tulisan ini ditemukan pembacanya, konon usaha itu lebih baik daripada hasil. Ya, ini usaha menulis pengalaman singkat menonton film. Dengan harapan dibaca serta bisa dinikmati sambil senyum manis, hingga kata di paragraf terakhir, ditandai tanda baca seru (!), sebab santai selalu punya nilai.

Ini catatan singkat! Mula-mula, sebelum membahas film, saya dapat cerita bahagia sebelum film dimulai, disaat pengenalan nama-nama aktor, ternyata aktor para komika. Bermula itu; kalau film ini akan membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal selama film berlangsung—ternyata, meletakkan keyakinan pada pembuka film, seperti bermain uno. Tak pelak menebak film berdurasi 115 menit itu—selalu berharap sepanjang adegan klimaks tragis, tapi lucu. Dengan kata lain, ada impresi kalis disampaikan dengan tertawa tapi penuh nilai penting dalam hidup kita. Kalau film itu ada adegan tidak ramah, tapi tetap menghibur, sebab drama dan tawa selalu dekat dengan kita. 

Film Jatuh Cinta Seperti di Flim-Film (JCSDFF) 2023, lekat dengan kehidupan orang dewasa atau menuju tua—’telah menikah’. Nuansa humor, dunia kerja, dan hubungan percintaan getir dan debar tercurahkan. Tokoh Bagus dan Hana merepresentasikan di dalam film, jika hidup ini tidak seideal di otak manusia, melainkan praktikal di jalan keyakinan itu lebih konkrit. Sekurang-kurangnya itu gambaran pendeknya. 

Film JCSDFF ini, di sutradara Yandy Laurens, genre roman-komedi. Namun, ini tidak terlalu memotret romantisnya muda mudi generasi x, gen-millennial, gen-z, dan gen-alpha dsg.. Akan tetapi, romantis-komedi orang dewasa berumur 40 tahun, kepincut pada sebuah tanya perihal isu (ide) film sehingga isu kerap dicari oleh penonton, walaupun kadang terjebak pada ide, bukan pada keutuhan film.

Kedua tokoh Bagus dan Hana rekat ikatannya, seolah-olah film diberi warna dengan porsi sesuai, peradegan. Tidak lepas pula dengan tokoh lain dapat porsi sesuai dan pas peradegan tidak sia-sia, contoh Cheline dan Dion (pasangan suami istri itu), juga punya peran penting untuk memperjelas jalannya cerita dari awal—akhir, dengan kata lain segala lika liku film dapat berjalan dengan mudah diterima perihal imajinasi dan dapat dinikmati.

Perspektif Estetika Film 

Film memiliki nilai karya seni. Itu sependek pemahaman saya pada film—ya, walaupun film memiliki disiplin ilmu yang berbeda, khususnya seni. Namun film tetap bagian dari karya seni, dikarenakan terdapat unsur keindahan di dalamnya, dan dapat dikatakan banyak. Meminjam pendapat Suryajaya (2016:5) estetika sebagai filsafat seni, merupakan pendekatan atas kesenian yang mengabstraksikan aspek-aspek partikular karya untuk sampai pada kesimpulan tentang masalah-masalah universal dalam kesenian.

Keindahan dalam film terdapat banyak elemen penting, terdiri dari aktor, latar, sinematografi, dan bahasa. Ketika elmen telah diterapkan secara maksimal, masyarakat punya kacamata penilaian tersendiri pada film. Penonton punya ruang tersendiri menangkap nilai estetik dan hal penting pada film. 

Ringgo (Bagus) berperan sebagai penulis skrip adaptasi film, telah bertahun-tahun di industri film, telah diberi kepercayaan. Etos kerja berbanding lurus dengan usaha keras, dia selama berproses menulis skrip. Setelah itu nasib dan kesempatan menimpa kepadanya, diminta Pak Yoram untuk menulis skrip film, tapi bukan adaptasi lagi, melainkan menulis sendiri naskah. Dia dengan ragu-ragu menjawab, tapi tetap diterima permintaan itu. Sebagai karir pertama membuat naskah film tidak adaptasi, dengan kata lain mempertaruhkan kompetensi dirinya untuk mencipta film sepenuh hati mencapai otentisitas pada karyanya. Untuk itu, terus berkarya akan mengalami kesulitan tersendiri. Secara tidak langsung film tersebut mempertegas kalau dunia produksi film punya sisi gelap.

Hana (Nirina Zubir) berperan sebagai objek (tokoh yang menjadi tokoh asli dalam film), berperan sebagai Janda berumur 40 tahun, teman Bagus waktu SMA. Karakter dimiliki Hana dalam film seolah menggambarkan sosok, perempuan tanpa henti tidak merasa menderita terus menerus saat berduka, lantaran suaminya meninggal baru empat bulan. Untuk melepas kepedihan dalam kesehariannya, dengan memperbanyak aktivitas bekerja menjual bunga bersama keluarganya. 

Isu mengenai perempuan kerapkali seksi, apalagi perempuan itu telah memilih untuk menjanda. Selain itu, semisal mental health menimpa perempuan. Terkhusus paling memungkin titik terendahnya kala suaminya meninggal, lalu dicintai oleh seorang pemuda. Dunia film menjual isu-isu agama, budaya, dan penderitaan, selalu laku (ada dan bisa jadi banyak peminatnya). Tentu hal ini terkait dengan letak geografi negara, di negara dengan kental dengan budaya agama abrahamik akan kerap punya nilai jual dari tiga isu tersebut. 

Komedi dan Ingatan 

Film In Bruges (2008), menghadirkan narasi dan dialog melekat di ingatan, lantaran ada adegan berunsur komedi keseharian. Seolah-olah kita ingin buang air besar tapi tidak jadi, sehingga rekat dalam percakapan sehari-hari seperti; permainan bahasa, gestur, dan perilaku banyol keseharian jarang ditemukan muncul. Bisa pula jadi salah satu daya untuk dibeli ingatan (berkesan). Selain itu, ada adegan di film JCSDFF lucu tidak akan pernah dilupakan oleh penonton.  Adegan itu, dikala melakukan syuting tetiba si actor berjalan biasa tanpa dialog sekadar gunakan gestur tubuh normal, saya dan banyak di antara penonton di bioskop terbahak-bahak, seolah-olah terhipnotis. 

Romantis dan komedi seolah-oleh bergandengan, sebab film punya ruang begitu luas serta detail seolah di dunia riil. Namun tidak dengan di hadapan cinta, bisa terjadi hangat di dunia film, dunia film dapat dihadirkan dengan riil hingga paling bisa diterima dalam memperhatikan peristiwa perlakuan rasa cinta pada pasangan. Dengan memperjuangkan menulis kisah-kisah gelap dalam hidup Hana. Bukan malah mendapat pujian malah dapat cacian. Bagus sungguh malang, makin malang, niat membuat bahagia, tapi dirinya menderita karena kesalahan. Lantaran Hana tidak terima kisahnya ditulis, lalu difilmkan. 

Ketika menonton film, secara pribadi saya seperti halnya membaca buku. Pembuka pada film, kalau di buku paragraf awal buku enak dibaca atau membuat penasaran tidak; itu terjadi ketika menonton film. Sehingga ada harapan besar pada film kalau dapat memunculkan impresi sekaligus informasi—tak lepas diingatan. Impresi di ingatan pada dialog serta perilaku lucu, kerap terjadi. Informasi terkait dunia film terdapat sisi gelap dapat dipertimbangkan dengan kebutuhan pasar (industry film)—yang dapat membawa keuntungan besar, bukan lagi dengan idealis seorang penulis skripnya. 

Babak pertama film dibuka oleh tokoh utama yaitu Bagus, Bagus datang membawa file skrip film untuk menemui Pak Yuram, lalu mendiskusikan. Obrolan mereka; “Kamu mau nunggu, tidak masuk? ‘seperti anak SD saja diantar’—padahal sudah tua!” bergumam pada Hana. Bagus pada dasarnya lucu, dia ingin ngelucu. Sedangkan Hana nunggu di luar kantor. Masuk, langsung bicarakan proyek film. Antusias Bagus sangat meledak-ledak karena film perdana diterima, senang dikarenakan sepanjang karir di dunia menulis naskah film sekadar adaptasi.

Informasi Sebagai Pengalaman dan Impresi Sebagai Pengetahuan 

Sebagai penonton awam punya penangkapan sederhana pada film JCSDFF, saya tidak muluk-muluk untuk dicapai, paling tidak mampu menemukan informasi dan impresi di dialog tokoh, rasa-rasanya lebih dari cukup. Namun tidak dengan seorang terbiasa menonton film bergenre komedi-humor, selain itu ada film beradegan lamban adegannya. Hal ini akan punya cara penangkapan berbeda, semisal penonton film punya dasar ilmu tentang film, dengan seorang penonton awam macam saya akan beda menangkap unsur-unsur filmnya, apalagi mengenai unsur film intrinsik dan ekstrinsik, pasti luas. 

Pengalaman dan pengetahuan dari kacamata penonton berbeda. Pengalaman tidak terlalu sering menonton film akan punya sudut pandang berbeda kala menemukan unsur-unsur film atau bahkan sangat tulus (jujur) dalam menemukan impresi dalam film. Dalam hal ini pengalaman memiliki standarisasi berbeda-beda daripada penonton berpengetahuan tentang film. Dengan kata lain, saya menonton film berjudul dengan sutradara sama, genre drama romantis Indonesia sama, semisal film Jatuh Cinta Seperti di Flim-Film, sutradara Yandy Laurens—penonton akan memiliki perbedaan dalam menangkap unsur film, ketimbang dengan penonton punya pengetahuan lebih. 

Pengetahuan mengenai film, tidak akan ditentukan seberapa banyak membaca, mendengar obrolan bedah, atau sekadar bincang film, dengan opsi lain memilih belajar teori bedah film. Rasa-rasanya itu belum tentu bisa menjawab persoalan agar dapat memahami secara mendalam terhadap film, kecuali kerap menonton. Dengan kata lain dengan sendirinya akan paham terhadap film.

Memberdayakan Perempuan dalam Film

Hemat saya sederhana kata ‘memberdayakan’ ini kurang setuju digunakan. Arti pada kata ‘memperdayakan’ artinya melakukan tipu muslihat; menipu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 2016-2023. Di film JCSDFF ini seolah-olah menggunakan kurva tidak normal, yaitu si Bagus (Ringgo) mengambil kisah hidup seorang janda, tanpa ingin memberitahu kepada tokoh Hana (Nirina Zubir). Hal itu secara halus kalau isu ini baik ketika difilmkan, sebab isu janda seolah-olah memiliki nilai jual pada penonton. Pemberdayaan ini terdapat pula secara isu beririsan dengan film garapan Hanung Bramantyo yaitu Perempuan Berkalung Sorban atau PBS (2009). 

Film tersebut menuai polemik di pandangan kelompok tertetu, salah satunya Islam, kalau film tersebut mencederai kudrot atau menyudutkan pesantren dan Islam secara umum, lebih kerasnya dianggap sebagai propaganda Islam liberal. Hanung sempat mendapat cercaan dari kelompok tertentu. Sejalan dengan isu film JCSDFF, dikhawatirkan akan memunculkan stigma kurang baik dari kacamata lain, karena dianggap sebagai eksploitasi isu perempuan. Karena di Indonesia sangat sensitif mengenai isu dan keterjebakan dalam film itu menjadi isu perempuan bisa dijual. Maka film ini dapat dikatakan penuh dengan drama romantis dan dapat dikatakan pula sebagai komedi drama.

Bagus sebagai tokoh di dalam film, memiliki nama sama dengan penulis naskah. Bahwa Bagus dengan ide besar ingin membawa isu persoalan cinta seorang perempuan ditinggal meninggal suaminya (menjadi janda). Selain itu, kepentingan untuk menuliskan kisah hidup si janda, tapi di luar film sebagai proyek pekerjaan profesional. Ternyata Bagus sejak SMA menyukai Hana. 

Babak pertama, film dibuka dengan pertemuan dua tokoh Bagus dan Hana di pusat perbelanjaan. Adegan tersebut di dalam film diserahkan kepada Pak Yusron sebagai sineas. Adegan menggambarkan seorang Hana saat menunggu antrian bayar belanjaan, lalu Bagus menyapa, singkatnya mereka duduk sambil lalu ngobrol panjang lebar. Terlepas Bagus sejak SMA sudah menyukai dia, ya walaupun status sekarang janda, cinta tak kenal usia.

Film JCSDFF sebuah usaha mengenalkan asmara cinta di umur 40-an. Bagus dengan optimis membuat skrip film, objek cerita diambil dari kehidupan Hana, perempuan pujaan hati dari SMA, sekarang menjadi janda. Walaupun film dapat dikatakan memberdayakan perempuan sebagai objek film. Walaupun niat baik seorang untuk pujaan hatinya tidak menghiraukan kalau dirinya bersikap demikian itu egois—tanpa berpikir perasaan perempuan. 

Kehilangan seorang suami tentu bukan membuat Hana murung tidak melakukan apa-apa, atau patah arang. Hana tetap mencari sebuah kesibukan untuk meningkatkan perekonomian keluarga, sebab sangat terasa ketika ditinggal suaminya selamanya. Setiap hari itu menjual bunga bersama tiga dan satu, menjadi bekerja secara bersamaan. Lalu bagaimana percintaan di film romantic-drama dalam JCSDFF; seru dan menarik. 

Dari banyak mata memandang dan mendengar, jika mendengar kata janda akan memiliki pandangan dua hal minimal. Pertama perempuan ditinggal suami meninggal. Dua perempuan ditinggal karena ada masalah dalam rumah tangga. Tersisa bagi orang-orang berpikir birahi akan berpikir kalau janda itu berpengalaman dalam banyak hal di dalam rumah tangga. Yendy sutradara film tersebut tidak memunculkan itu semua, melainkan memberi porsi kepada perempuan itu tidak lemah dalam menghadapi kegetiran hidupnya. Tergambar jelas dengan ketegaran diri tanpa membebani kepada orang lain, bahkan untuk sekadar membuka hati kepada orang lain masih butuh proses. Hal tersebut tidak tergambar di diri Hana dalam film.  

Hana sosok perempuan belum bisa melupakan pasanganya. Saban malam sebelum tidur teringat dengan mendiang suami. Usaha untuk membuka hati pada orang lain belum bisa. Tidak mudah walaupun teman sendiri, yaitu Bagus mendekati belum berhasil. Dia masih belum bisa menerima kehilangan, karena terlalu cepat. Ditemui pada saat Hana masih menghindari tidur di kamar, ada ketakutan akut untuk tidak diingat-ingat lagi. Sebab tersimpan banyak kenangan. Memilih tidur di sofa agar keutuhan ingatan pada pasangan pudar atau memang enggan ingin dikubur. 

Isu perempuan-janda dimunculkan menuai ekspektasi luas diingatan, kalau diperhatikan dari awal menonton film, sosok seorang janda akan kerap dekat dengan tante girang (perempuan ingin mendapat perhatian lebih dari pemuda dan pasangan tua lantaran punya latar belakang pengalaman pekat dan gelap). Hana sebagai janda dalam film menjadi sosok perempuan natural seorang janda tidak punya paras nakal, melainkan lebih banyak membicarakan masalah hidup lebih praktikal untuk dijalaninya, yaitu memenuhi ekonomi, sosial, dan hidup sesuai keinginan menjadi penjual bunga. Bunga punya pengalaman personal di masa lalu, kalau bunga meredamkan kepedihan dan kejatuhan, seolah-olah disaat sedih; ada orang memberi bunga—pedih jadi reda dan ringan perasaan. 

Film JCSDFF ini menarik. Terlepas dari ide atau isu dalam substansi film, film ini punya ciri berbeda sependek penikmat film selama ini. Karena film dikemas dengan hitam-putih, jarang di bioskop menggunakan format demikian, ya… walaupun tidak penuh, dipertengahan berwarna. Selain itu, ada keunikan lain, dari segi humor, sinematografi jadi andalan, dan serta narasi dan dialog. Impresi kala adegan naik pengangkut air saat melarikan diri lantaran naskah dianggap tidak sesuai dan memalukan Bagus sebagai penulis skrip. Pengambilan dari Gedung gunakan drone. Sebagai penonton adegan itu menjadi impresi mengikat di hati!

Sumber gambar: voi.id

Akhmad Mustaqim
/ Published posts: 1

Tenaga Pengajar dan Penjaga Gerilya Literasi