210 views 5 mins 0 comments

Mematahkan Stigma Anak Broken Home

In Opini, Serba-serbi
November 03, 2023

 

“Tak ada anak yang ingin kedua orang tuanya berpisah, tak ada anak yang ingin keluarganya bercerai berai”

Begitulah keinginan seorang anak mengenai keluarganya. Mereka menyebut keluarga “Cemara”, ibarat pohon cemara kehijauan dan membuat teduh sepanjang tahun. Sama halnya dengan keluarga cemara, rumah yang dibalut dengan keharmonisan, saling bahu membahu, hingga menciptakan semerbak kebahagian.

Kebahagian itulah yang membuat seorang anak menjadi pribadi dengan karakter yang baik pada dirinya sendiri: tak goyah dengan pendiriannya, punya cita-cita yang jelas, dan mandiri. Sebab, amunisi kasih telah terpenuhi sejak lahir ke bumi. Dengan demikian, ia mampu menapaki tahap selanjutnya, yakni memperkuat spiritual dan pengetahuan.

Namun, bagaimana dengan anak yang tak dipenuhi kasih selama tumbuh kembangnya pada masa golden age? Ahli-ahli mengatakan, masa tersebut sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya. Lantas, bagaimana jika di umur tersebut proses tumbuh kembangnya harus dijalani dengan perpisahan?

Berpisah dengan kedua orang tua hingga harus menjalani hidup bersama sanak famili yang lain. Atau harus berpisah dengan salah satu orang tuanya disebabkan pelbagai hal? Bukannya sangat menyakitkan? Padahal bibi, paman, kakak, ataupun nenek tak memiliki hormon pengasuhan anak, yang memiliki hanyalah orang tuanya. Kebutuhan kasih sayang akhirnya hilang tertelan ego yang berumur sementara. Dampaknya akan luar biasa terhadap proses perkembangan selanjutnya.

Misalnya, pada anak “Broken Home” yang disebabkan perceraian. Kebanyakan orang mengatakan tak ada secercah harapan untuk anak yang bernasib tersebut. Mereka mengatakan, anak broken home memiliki sifat pemarah, pemberontak, tidak sopan, selalu menyembunyikan perasaannya, lalu mereka memberikan stereotip sebagai anak nakal. Tanpa menelisik secara mendalam ihwal latar belakangnya. Padahal, ada kebutuhan yang paling mendalam secara alamiah tak terpenuhi, yakni kasih sayang, barang tentu, mereka hanya dipertontonkan dengan pertikaian yang tak pernah usai. Dampaknya dapat menggerus kepercayaan ihwal “Rumah adalah tempat terbaik untuk pulang”, atau parahnya, mereka sampai kehilangan diri sendiri.

Sebab, aku yang lain yang bergabung dengan aku yang lain pula, kemudian membentuk aku yang saat ini hilang bersamaan dengan hembusan kemarahan dan keegoisan. Kendatinya, di lubuk hati yang paling dalam terbesit keinginan untuk menjadi diri sendiri. Lantas, orang tak mengetahui ihwal tersebut, yang terlihat hanya permukaan hingga cepat menyimpulkan apa pun sekejap mata.

Strotipe itu kukuh menjamur di tengah masyarakat, sehingga meminggirkan anak dengan status tersebut. Tidak hanya nakal saja yang disematkan pada mereka, tetapi juga asumsi masyarakat yang berkata anak-anak itu akan “memiliki nasib sama seperti orang tua”. Alhasil, sebagian dari mereka sering berujar “Ajari kami (anak broken home) bagaimana caranya menerima keadaan tanpa membenci kehidupan?” Kalimat tersebut sedang memberikan sinyal akan ketidakpercayaan yang dialami mereka.

Padahal, anak broken home memiliki perasaan yang lebih sensitif. Sebab, dari rasa itu perlahan terasah lewat kenyataan ingin memiliki keluarga yang utuh. Ketika perasaan itu terkontrol dengan baik, mereka akan mudah mengerti kapan harus bahagia dan bersedih. Bahkan, dia dapat menjadi pendengar yang baik, karena ia belajar dari kemelut hidupnya.

Pengalaman tersebutlah yang mengajarkan kekuatan-kekuatan itu. Tak lupa, mereka juga lebih setia dan menghargai kepercayaan lebih dari apa pun. Terutama dalam menjalani hubugan dengan pasanganya. Itu tak bisa dipungkiri, mereka tak ingin mengulangi hal serupa. Selain itu, mereka memiliki pemikiran terbuka. Mereka lebih terbuka dengan apapun, sebab mereka tidak mendapati pengetahuan yang mumpuni dari keluarganya. Dengan demikian, kemudahan untuk bergaul mereka dapati dari pelbagai golongan.

Anehnya lagi, mereka mampu memiliki prestasi akademik dibandingkan dengan yang lainnya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Savitri, et al., (2016) dengan judul Peran Keluarga dan Guru dalam Memabangun Karakter dan Konsep Diri Siswa Broken Home di Usia Sekolah Dasar yang menjelaskan bahwa ada dampak positif dari sebuah kasus broken home terhadap diri seorang anak, salah satunya yakni mampu berperilaku baik dan berprestasi. Artinya, stigma bahkan stereotip negatif pada anak broken home yang telah mendarah daging dan tertancap di pemikiran khalayak terpatahkan dengan salah satu penelitian tersebut.

Sumber Gambar: .pinterest.com

Miri Pariyas
/ Published posts: 5

Redaksi Angkatsuara.id