160 views 8 mins 0 comments

Literasi Gender dan Kartini yang Tak Pernah Mati

In Tokoh
January 09, 2024

“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya,” begitu ungkapan Kartini yang menumbuhkan kesadaran para puan kala itu—di tengah kentaranya budaya patriarki.

Nama lengkapnya Raden Ajeng Kartini, acap disingkat R.A. Kartini. Perempuan yang lahir di Jepara pada 21 April 1879 ini berasal dari keluarga priyayi, sehingga ia berkesempatan menempuh pendidikan “meski” ia seorang perempuan. Sebab pada masa itu, seorang perempuan dinilai tidak perlu bersekolah, cukup mengurus “dapur, sumur, dan kasur”. Kondisi itu membuat perempuan berada pada lapisan kedua di masyarakat setelah laki-laki, hingga membudaya. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran lebih di tengah masyarakat untuk memimpin (Kompas, Ellyvon Pranita, 2022). Sungguh perempuan telah “dikerdilkan”. Padahal, setiap insan lahir dari rahim perempuan; ia ibu bumi, ibu pertiwi, hingga ibu kehidupan.

Menengok realitas itulah yang memantik Kartini bertekad belajar dengan sungguh. Saat bersekolah di Europese Lagere School (ELS)—sebuah sekolah milik Belanda yang diperuntukkan bagi kalangan priyayi atau bangsawan—Kartini belajar banyak hal, terutama soal berbahasa dan berpikir kritis. Ia mampu menguasai beberapa bahasa berkat pendidikan yang diterimanya, termasuk berbahasa Belanda yang cukup strategis karena rerata guru dan literatur saat itu berbahasa Belanda. Pun, Kartini dapat bertukar pikiran dengan orang-orang Belanda sehingga pikirannya menjadi terbuka.

Tersebab pengalaman belajar dan buah pertemanannya dengan orang-orang Belanda masa itu, Kartini kemudian melek akan nilai kesetaraan gender. Akhirnya, ia terinspirasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender, kebebasan, otonomi, persamaan hukum, serta masalah sosial lain demi negerinya. Jejak sejarah itu bisa dilihat dari sekolah wanita pertama yang didirikan Kartini di kompleks kantor bupati Kabupaten Rembang (Dakwatuna, Novia Lestari, 2013).

Bagi Kartini, perempuan sebagai manusia tidak ada bedanya dengan lelaki yang juga manusia. Manusia harus diperlakukan sama dan setara, termasuk dalam hal pendidikan yang harus bisa diakses oleh semua orang. Melalui jalan pendidikanlah kesadaran kaum perempuan dapat bertumbuh sehingga mampu memperjuangkan haknya sebagai manusia. Untuk mengubah budaya patriarki yang sudah mengakar, pihak yang dirugikan yaitu perempuan sendirilah yang harus menjadi inisiator dan aktornya.

“Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama mengubah keadaan yang membuat derita ini.”

“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.”

-RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang.

Literasi Gender

Dalam konteks perjuangannya itu, Kartini memahami betul makna seks dan gender yang acap kali kabur di tengah masyarakat, sejak dulu hingga saat ini. Padahal, keduanya jelas berbeda dalam arti dan fungsinya. Maka dari itu, kita perlu melihat dengan jernih perbedaan keduanya agar tidak ada bias gender pada tindakan sehari-hari.

Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang sudah ada sejak manusia lahir. Tidak bisa dipilih. Seks sudah ditentukan Tuhan. Seks membedakan perempuan dan laki-laki berdasarkan organ reproduksi yang tidak dapat dipertukarkan. Contohnya, perempuan memiliki alat kelamin vagina, sedangkan laki-laki mempunyai alat kelamin penis; laki-laki mempunyai sperma dan dapat membuahi, sedangkan perempuan memiliki indung telur dan dapat mengandung-melahirkan; kemudian perempuan bisa menyusui, yang tidak dimiliki laki-laki; dan lainnya.

Sementara itu, gender adalah perbedaan peran berdasarkan fungsi, status, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Gender berbicara tentang peran. Pembagian peran dalam kehidupan bermasyarakat antara laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan. Contohnya, dalam rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan mengangkat galon. Begitu pula di ruang publik, jabatan kepala desa hingga presiden, karyawan sampai direktur, dapat diisi oleh perempuan maupun laki-laki.

Berdasarkan definisi itu jelas bahwa semua orang mempunyai hak yang sama menjadi apa pun dalam hal berperan dalam kehidupan sosial di luar fungsi seksualitas. Namun demikian, literasi gender masih lemah di tengah masyarakat sehingga acap disalahartikan dalam pemikiran diikuti tindakan. Seperti halnya, karena perempuan melahirkan dan menyusui, perempuan dianggap cukup menjaga anak dan mengurus rumah, sehingga tidak perlu menghabiskan waktu menempuh pendidikan. 

Tentu saja anggapan tersebut, keliru. Memang benar perempuan mempunyai fungsi seksual melahirkan dan menyusui, namun dalam fungsi sosialnya setelah (di samping) melahirkan dan menyusui, perempuan tetap bisa menjalankan peran sosialnya seperti bersekolah dan bekerja. Begitu pun laki-laki sama posisinya dengan perempuan dalam menjaga dan membesarkan anak. Literasi dan kesadaran gender itulah yang digaungkan Kartini. Intelektualitas telah memandunya berani menentang budaya diskriminatif terhadap perempuan.

Literasi Emansipasi

Apa yang membuat R.A. Kartini istimewa ketika kita membahas emansipasi? Tak lain karena keberanian dan buah pikirannya tentang kesetaraan gender, dan terutama karena ia rutin menuliskannya sehingga gagasannya tetap hidup. Kartini menulis keresahan dan gagasannya ihwal praktik ketidakadilan. Tulisannya itu berupa surat gugatan yang dikirimnya kepada seorang Belanda bernama Rosa Abendanon; kawan Kartini dalam bertukar pikiran.

Interaksinya itu membuatnya ketertarikan pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Ketertarikan yang berujung pada gerakan literasi yang dipeloporinya untuk perempuan pribumi. Emansipasi yang diperjuangkannya terutama tertuju pada akses pendidikan bagi perempuan. Emansipasi perempuan adalah persamaan hak bagi perempuan untuk berkembang dan maju dalam segala aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kemudian surat-surat tersebut dikumpulkan lalu diterbitkan menjadi buku yang diberi judul dalam bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Karena bukunya ini, cara pandang masyarakat Belanda dan terlebih masyarakat Nusantara terhadap perempuan pribumi mulai berubah-mengarah pada kesetaraan gender, walau tidak langsung signifikan (Tirto.id, Yulaika Ramadhani, 2022).

Tak dapat dipungkiri, tulisan-tulisan Kartini menentang budaya patriarki (suatu yang dianggap tabu pada masa itu) membuatnya istimewa. Sejujurnya, ada banyak perempuan lain yang juga mempunyai keresahan yang sama dengan Kartini dan melawan dengan beraneka cara. Namun, selagi perlawanan itu hanya sebatas ucapan dan tindakan tanpa disertai tulisan untuk mengabadikannya maka gaungnya kecil dan tidak berumur panjang. Bagai ungkapan Pram, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Kendati literasi emansipasi sudah sejak lama digaungkan oleh R.A. Kartini, namun nuansa ketidakadilan gender di tanah air masih kentara: kekerasan seksual, diskriminasi dalam pekerjaan serta akses pendidikan, dan sebagainya. Pada titik itu, penting bagi kita membaca kembali gagasan dan perjuangan Kartini demi kesetaraan gender. Lalu turut bergerak mempraktikkan kesetaraan dan keadilan gender di lingkungan kita. 

Kartini tidak pernah mati; intelektualitas, keberanian, dan iman perjuangannya tetap hidup. Kartini layak dijadikan teladan, tidak saja untuk perempuan, tetapi juga bagi laki-laki. Sejatinya, kesetaraan gender jadi bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan. 

Janwan Tarigan
/ Published posts: 1

Mendamba Sastra