272 views 5 mins 0 comments

Kesetaraan Gender Dalam Cengkraman Sistem Kapitalisme

In Opini, Serba-serbi
July 10, 2024

Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi baik bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar dapat berperan dan berpartisipasi dalam aktivitas politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan (Fibrianto, 2018).  Namun dalam situasi masyarakat dunia lebih khususnya Indonesia, perempuan selalu dinomorduakan dan dianggap sebagai pelengkap laki-laki saja. Dalam segala lini masyarakat, banyak perempuan yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan dan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Padahal perbedaan laki-laki dan perempuan hanya pada hamil, melahirkan anak dan menyusui, selebihnya adalah sama—baik dalam tingkat individu, sosial, ekonomi, maupun politik.

Dalam sistem politik, perempuan mempunyai hak suara dan bicara untuk memegang jabatan publik. Saya mempunyai pengertian yang mungkin lain dari pengertian politik pada umumnya. “Politik adalah cara seseorang dalam menentukan alur  permainan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan”. Dari pengertian itu tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda, mereka sama-sama manusia dan mempunyai jalan hidup dan cita-cita yang sama, yaitu kemerdekaan dalam kehidupan sosial, pikiran, ekonomi, dan politik. Merujuk pada Badan Pusat Statistik, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut jenis kelamin dari tahun pemilu 1955-2014 dikuasai oleh laki-laki. Keputusan KPU Nomor 1562 tahun 2023 menyebutkan bahwa sebanyak 9.917 pendaftar tetap untuk kursi DPR RI. Dari 9.917 pendaftar tersebut, 37,13% atau 3.676 pendaftar berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan keputusan KPU Nomor 1563 tahun 2023, sejumlah 668 orang pendaftar tetap untuk kursi anggota DPD dan hanya 133 pendaftar atau 19,91% berjenis kelamin perempuan (statistik politik 2023; vol 13). Dari jumlah persentase tersebut menunjukkan bagaimana ketidakseimbangan jumlah kursi antara laki-laki dan perempuan dalam parlemen. Bagi saya, ini dikarenakan beberapa faktor yaitu norma sosial, kurangnya partai politik yang mencetak kader perempuan, pendanaan sumber daya yang menyebabkan kurang percaya diri dari perempuan untuk bertarung di legislatif.

Budaya patriarki di Indonesia sangat menghambat pertumbuhan kesetaraan gender yang menempatkan perempuan pada posisi kedua dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Banyak kasus perjodohan yang dilakukan oleh keluarga untuk anaknya demi menjaga hubungan dengan kerabat walaupun anak tersebut sedang menempuh pendidikan, tanpa menanyakan apakah anak tersebut bahagia atas keputusan yang diambil. Kebiasaan seperti itu harus dihapus, karena akan menyebabkan pembatasan pendidikan pada perempuan tersebut. Namun, sangat disayangkan kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan seperti pemerkosaan, pelecehan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pernikahan dini dan lainnya masih marak terjadi di Indonesia. 

Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan, jumlah pekerja migran indonesia (PMI) yang ditempatkan di luar negeri sebanyak 274.965 orang pada 2023. Jumlah tersebut naik 36,93% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebanyak 200.802 orang. Dari hasil laporan tersebut patut dipertanyakan mengapa sebanyak itu warga Indonesia ingin bekerja di luar negeri dibandingkan bekerja dalam negeri? Hal tersebut tidak lain dikarenakan upah buruh di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan luar negeri tempat mereka bekerja. Upah buruh bukan hanya diatur oleh pemerintah melainkan ada campur tangan perusahaan dalam penentuan upah yang tidak sesuai. 

Dalam dunia pekerjaan, pembagian upah antara laki-laki dan perempuan kerap tidak seimbang, padahal dalam pembagian jam kerja, beban kerja dan bentuk pekerjaan berada pada posisi yang sama. Salah satu kondisi yang sering dialami oleh perempuan dalam perusahaan adalah kekerasan fisik, bahkan pembunuhan seperti pada kasus Marsinah. Sampai saat ini pun, masih banyak kasus kekerasan dialami perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik.  Kondisi di atas dapat terjadi dikarenakan sistem, yaitu kapitalisme. Karl Marx mengartikan kapitalisme adalah pelipatgandaan kapital (uang) dengan memanfaatkan tenaga manusia dengan cara eksploitasi tenaga manusia demi mendapatkan keuntungan atau nilai lebih. Dengan uang, para kapitalis membeli tenaga kerja dan mesin produksi untuk menghasilkan komoditas dan mengolahnya untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Sistem kapitalisme sudah mengeksploitasi tenaga manusia demi mempertahankan kekayaan dan peningkatan pendapatan tanpa memandang jenis kelamin. Sistem kapitalisme akan langgeng sampai kapanpun apabila dalam suatu negara ketersediaan tenaga produktif banyak dan upah buruh murah. 

Sistem kapitalisme sudah menjajah pikiran dengan merusak pikiran masyarakat bahwa perbedaan pembagian upah adalah faktor kebiasaan masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan memang dinomorduakan. Padahal yang terjadi adalah mereka mempergunakan premis tersebut supaya masyarakat tidak pernah menyalahkan sistem kapitalisme dan secara tidak langsung, kita dibungkam oleh cara-cara dari sistem yang mengatur kita. Sistem kapitalisme bukan hanya mengeksploitasi tenaga perempuan, melainkan juga laki-laki. Maka dari itu, buruh (laki-laki dan perempuan) harus bersatu melawan sistem kapitalisme tersebut. Kesetaraan gender akan tercapai apabila perjuangan melawan sistem yang menindas dilakukan secara bersama. Artinya, laki-laki dan perempuan bersatu melawan sistem tersebut agar hak upah, sosial, dan ekonomi serta politik bisa setara.

Evan Latu
/ Published posts: 1

author at angkatsuara.id