362 views 10 mins 0 comments

Keluh Perempuan Penikmat Musik Bawah Tanah

In Isu, Kolektif
November 13, 2023

Kami membaca poster berukuran A3+ di dinding salah satu toko musik yang menjual berbagai rekaman fisik mulai dari kaset pita, vinyl, dvd, majalah, buku-buku, poster, stiker, emblem, pemutar musik tua gramophone hingga yang model terbaru, tak luput pula zine indie buatan teman-teman kolektif maupun personal yang mengulas perihal musik dan seluruh anatominya. Musik dan setiap genrenya memiliki pengaruh besar terhadap fondasi kehidupan manusia. Baik dalam nilai sosial hingga cara pandang terhadap musik. Bagi penikmat musik, musik sering kali diartikan identitas diri dan agama sejati mereka. Sebab, diciptakan sesuai berdasarkan lagam kehidupan hingga membentuk gender yang berbeda dan aliran yang berbeda pula.

Pemilik tokoh ini adalah seorang yang memiliki pengaruh terhadap dunia musik seantero negeri itu (asumsi banyak orang). Bagi pemilik toko tak merasa demikian. Baginya toko ini, bukan soal eksistensinya terkenal ke khalayak, tapi lebih daripada itu, bahwa toko ini untuk mensyukuri setiap keindahan Tuhan Yang Maha Esa lewat tiap irama musik yang didengar pun dirasakan. Ditambah lagi usia pemilik toko yang sudah menjalani lima dekade kehidupan. Tentu dia tak lagi berpikir eksistensinya. Namun, berpatokan bahwa hidup memang akan terus mengarah pada kematian.

Dia sering kali berdiskusi dengan kami, semacam memberi nasehat perihal sejarah perlawan dan kejadian-kejadian yang memilukan. Tahu apa kami mengenai perlawanan? Tahu apa kami mengenai peristiwa-peristiwa brutal dan kekejaman? Tahu apa kami perihal skandal-skandal ninja dan pemberantasan etnis-etnis tertentu? Dia sisipakan dia bait-bait musik yang punya kesan perihal peristiwa pelik itu?

Kami berguru pada musik-musik bawah tanah yang mengkuduskan setiap bait-bait perlawanan di sana, yang dia ceritaka itu. Kami pikir musik selalu dapat menyajikan sendiri cara yang seharusnya perlawanan diserukan. Mulut manis penuh kekejaman hanya persembunyian bagi mereka yang mampu menutup tirai isu-isu kekejaman para perancang Multi Level Marginal di negeri kami. Tak pantas kami menyuarakan kemerdekaan sedang kami masih mendengar bait-bait kesakitan di antah berantah yang mengatakan negara demokrasi.

Kami lahir bertumbuh dan berkembang di kota kecil, sedang sepertinya bernyali besar terhadap hak-hak yang seharusnya memang terus diperjuangkan dengan jalan semestinya, jalan hidup yang ditempuh oleh para punkers atau skinhead atau para pengabdi moshpit ala headbanger atau mereka yang dengan meneriakkan lirik sepanjang alfabet seperti band Mesin Tempur. Bertujuan mengingatkan kami dan kita semua untuk berupaya membaca dan menjadi penggerak pembaca.

Membaca dalam hal ini tak melulu dalam tekstual, membaca lingkungan sekitar dengan cukup khidmat adalah bekal melawan segala ketimpangan. Terkhusus di negeri ini. Setidaknya demikian.

Pada 27 November 2021 yang lalu, kami pergi ke pulau seberang. Mengantar teman-teman kami untuk beraksi panggung dengan band-band teman kami lainnya, di acara yang digelar kolektif teman-teman di pulau seberang. Upaya ini adalah untuk membantu masyarakat yang perlu dibantu. Kami dengar aksi penggalangan donasi pun juga dilaksanakan dengan massif. Wow, rupanya ini lebih menarik dilakukan ketimbang hanya beraksi ke CFD membawa banner besar bertuliskan “Turunkan harga bbm” tetapi tak beraksi apa pun.

Yah.. tapi, begitulah dunia tetap akan penuh dengan hal-hal yang menurut orang lain sudah beraksi walau sekadar berdiri di CFD dan menggunakan almamater khusus. Tak apalah itu juga jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Dan tetapi tidak menggubris pun rasanya juga tak masalah. Kami pikir hal tersebut adalah jalan hidup yang di pilih. Sama halnya dengan para pedagang ecer di pasar tradisional. Mereka berpikir tak punya waktu bahkan terbuang percuma hanya untuk berteriak-teriak sedangkan mereka perlu seratus ribu perhari untuk terus dapat mengepulkan asap di pawon masing-masing. Yaaa.. tiada yang salah. Semua bebas memilih jalan hidupnya seperti udara pun bebas bergerak ke sana kemari.

Sesampai kami di sebuah bar ternama di pulau seberang, kami disambut hangat oleh teman-teman panitia dari kolektif “Kami tidak mengerikan, kami baik hati”, suguhan minuman kearifan lokal berbagai macam daerah serta berbungkus-bungkus rokok ditawarkan pada kami. Kami senang berbagi banyak hal bersama. Layaknya “Reuni Akbar Punk” & “Skinhead Jambore” di kota transisi di sebuah pulau yang nyaris tenggelam karena isu sampah masyarakat ini, butuh limitasi waktu menjalani kehidupan kami yang jauh lebih paham pembagian waktu atas kesadaran norma dan etika dalam diri kami. Rasanya tidak begitu penting. Mengamini atau tidak kami tetap tercoreng hahaha. Sekali lagi, nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Kini giliran band kami mengambil alih seluruh senjata instrumen dan mulai beraksi melontarkan amunisi-amunisi lirik pada seluruh isi bar. Kami tak berharap lebih, karena kami bersuara juga rasanya tidak perlu dukungan ketik reg spasi bla bla bla agar menjadi pemenang band yang mengumandangkan perlawanan hahaha. Tidak, tidak sampai ke sana. Kami bersenang-senang menikmati kemapanan kami sebagai diri kami ala kami dalam ranah kami atas ketimpangan sosial di mata kami.

Di tengah hentakkan musik kami, terlihat ada seorang perempuan di sudut yang paling terang, paling terlihat dan tersorot cahaya lampu berwarna putih kehangatan. Perempuan tersebut membaca bukunya sambil menenggak bir sesekali, kadang juga terlihat menghisap batang rokok kreteknya. Kami heran karena di tengah keriuhan umat berpakaian serba hitam dan berpogo-ria, perempuan tersebut justru menggunakan kaos berwarna putih, tampak tergambar di sana berupa gunung dan matahari serta persawahan dengan bertuliskan hasil desain dari aplikasi paint milik komputer rumahan “Ini negara bodoh yang sangat aku bela”. Kaos tersebut milik salah satu band dari kota yang disebut lautan api, Koil.

Jika tak salah, tidak tampak pula kaos tersebut membentuk lekuk tubuhnya sebagai seorang perempuan. Perempuan yang hanya terfokus pada buku tersebut dihampiri lelaki berpakaian serba hitam nan rapi, berambut gondrong memakai bandana merah ala Axel Rose vokalis Guns & Roses. Yang rupanya sudah begitu berat langkah-langkahnya menghampiri perempuan tersebut akibat minuman beralkohol.

Setibanya di meja tersebut dia duduk dan mengajak perempuan tersebut bercengkerama. Dengan tetap santai perempuan tersebut membaca buku dan mematikan rokoknya. Sesaat kemudian perempuan tersebut sudah berteriak dan marah sembari memukulkan buku yang dibacanya ke arah lelaki tersebut.

Kami pun berteriak untuk meminta laskar pogo di arena dansa berdiam dan teman kami sigap membawa lelaki tersebut ke panggung bersama dengan kami. Perempuan tersebut berlari ke arah mikrofon dan mengatakan, “Oi.. aku telah dilecehkan oleh lelaki ini, ia memegang pinggulku dan mencoba meremas payudaraku yang hanya sebesar tatakan gelas di warkop jalanan.” Lelaki ini mengatakan aku adalah perempuan yang tidak asyik karena aku bercinta dengan bacaanku sedang dia dan semua di sini menikmati suara-suara perlawanan.

Kukatakan bahwa aku kemari bersama suamiku yang sedang ada di atas panggung dan kami dapat menikmati dan melakukan perlawanan dengan cara kami sendiri. Dengan tidak terima dan tidak percaya bahwa lelaki di belakangku ini adalah suamiku dia melakukan kegilaan padaku, menjatuhkan martabatku sebagai manusia merdeka.

Aku rela memukulnya dengan tangan mungilku dan dengan buku setebal empat ratus halaman ini aku menaklukan kemaluannya atas nama manusia. Aku melakukan hal tersebut sebagai pengingat bahwa senjata yang paling tajam adalah keberanian dalam diri, nyalakan nyali jadilah radikal untuk penindas.

Dan aku juga tak mau tangan suci suamiku ternodai karena memukul lelaki kotor ini. Seolah pakaian bersih yang dikenakannya adalah simbol kebersihan akan diri, nyatanya bahkan tak sampai pada kata bersih itu sendiri. Aku tak mau orang lain yang membalas perbuatan rendahan itu, akulah yang pantas membalasnya dengan setimpal. Kukatakan dengan lantang suamiku dan aku juga menenggak alkohol, namun kami nyaris tak terpikir bahwa setiap peminum akan melakukan tindakan murahan tersebut.

Tampak perempuan bertubuh mungil itu kembali ke arah ia duduk pertama kali, mengambil sesuatu, papan skate. Tak main-main dia memukulnya sekali dengan papan skate tersebut di bagian lengan dan seluruh tangannya. Lelaki itu mengerang kesakitan dan berteriak ampun. Sedang para laskar pogo di lantai dansa dan seluruh mata tertuju ke arah aksi tersebut. Sontak mereka heran dan bersorak atas keberanian tersebut. Perempuan tersebut terlihat lega, sambil mengambil papan skate dan bukunya dia keluar bar dan berjalan ke arah pantai yang hanya berjarak sekitar 300 meter.

Gambar Tulisan: www.dbs.id

Marina OP
/ Published posts: 1

kontributor angkatsuara.id