245 views 10 mins 0 comments

Kehidupan Perempuan Daerah Sub Urban Kota Malang

In Isu, Kolektif
February 23, 2024

Salah satu potret kemiskinan di Kota Malang yaitu di wilayah Kecamatan Sukun, setidaknya terwakilkan dari rilis media massa yang disampaikan pada di website Kemenko PMK pada tahun 2022 lalu. Dalam rilisnya, Muhadjir Effendy mengaku kaget dengan fakta terjadinya kemiskinan ekstrim di beberapa wilayah di Kecamatan Sukun. Selain itu, Muhadjir juga menyebutkan bahwa Kemenko PMK akan berkoordinasi dengan Pemkot Malang dan Dinas Sosial untuk mendirikan hunian yang layak serta memberikan akses pendidikan bagi warga miskin. Kendati pernyataan Muhadjir dalam rilis media ini turut dibarengi dengan pemberian bantuan sosial secara simbolik dari Kemenko PMK, namun pemberian bansos ini juga belum selaras dengan temuan lapangan mengenai perbaikan kondisi kemiskinan di Kecamatan Sukun.

Berdasarkan temuan lapangan, setidaknya terdapat beberapa warga Sukun yang masih hidup dibawah garis kemiskinan dan ada juga diantaranya yang masih menggantungkan diri pada bantuan sosial pemerintah. Salah satunya merujuk pada Bu Kartini (Nama Samaran), yang nama Bu Kartini sebagai warga Tanjungrejo menyebutkan bagaimana kehidupan sehari-hari keluarga Bu Kartini masih jauh dari indikator kehidupan layak. Pekerjaan Ibu Kartini sehari-harinya adalah penjual gorengan keliling dan penjualan Bu Kartini juga dikatakan tidak menentu setiap hari, tergantung pada konsumen.

Setelah sang suami meninggal, Ibu Kartini harus berjuang seorang diri untuk menghidupi dua dari enam anaknya yang masih berada di usia sekolah dan itu pun salah satunya memilih untuk bekerja, alih-alih bersekolah. Kondisi dari Bu Kartini tergambarkan melalui pernyataan di bawah ini:

“Sebelum almarhum bapak meninggal kerjaannya dulu jahit, bapak dapet banyak pesanan dari sekolahan terus kecapean, dibawa ke rumah sakit katanya stroke. Anaknya banyak ada 6, tapi di Kalimantan, Blitar, satu sudah berkeluarga, 1 kecil masih sekolah. Yang disini ada 2 anak, yang nomor 5 sama yg terakhir. Yang terakhir ragil masih sekolah kelas 4 SD, yang nomor 5 kerja, harusnya masih sekolah tapi gak mau sekolah. Dia kerjanya giling bumbu di gumbung dekat masjid. Yang penting PKH (program keluarga harapan) lancar.  Saya kerjanya jual gorengan keliling, ga pasti pendapatan berapa, kadang sepi kadang rame. Paling banyak 150rb kalo sepi 125rb kadang juga 166rb. Dapat bantuan dari PKH itu peralatan gorengan, itupun dulu waktu bapak masih ada, sekarang udah ga dapet. Nggak pernah dapet pelatihan, dapat BLT dari PKH itu berupa uang. Tetangga juga tau kalo saya dapat bantuan dari PKH. Harapannya bisa jualan nasi pecel sama kerupuk pinggir jalan, maunya saya gitu. Berhubung dananya gak ada yauda gorengan aja, itu juga hasilnya ga seberapa, biar saya nggak keliling-keliling.”

                                                                     Wawancara Bu Kartini, 10 Juli 2023

Pekerjaan yang ditekuni Bu Kartini sebelumnya juga termasuk menjahit pakaian bersama dengan suami dan hampir setiap hari Bu Kartini mendapatkan pesanan untuk menjahit baju anak-anak sekolah. Sebagai upaya untuk membantu usaha gorengan. Bu Kartini sering mendapatkan bantuan PKH (Program Keluarga Harapan) dari Dinas Sosial Kota Malang berkat masuknya data keluarga Bu Kartini dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Bantuan yang diberikan pun mayoritas berupa uang tunai, BLT berupa sembako, serta bantuan peralatan untuk usaha gorengan. Akan tetapi, setelah suaminya meninggal, bantuan dari Dinsos praktis hanya pada bantuan tunai semata dan kerap diberikan setiap bulan. Selain itu, Bu Kartini turut mengeluh ketiadaan kebijakan lainnya dari Dinsos untuk menaikkan derajat penghidupan keluarganya, yang mana Bu Kartini mengharapkan adanya program pelatihan kewirausahaan untuk membuka sumber pendapatannya.

Hal yang sama juga berlaku pada Bu Yuli (Nama Samaran), dimana Bu Yuli tinggal serumah bersama adiknya pasca ibunya meninggal. Untuk menghidupi keluarganya. Bu Yuli menekuni usaha kerupuk dan buah-buahan secara mandiri dan Bu Yuli mengupayakan secara mandiri untuk menyokong usaha tersebut, sehingga Bu Yuli menyebutkan tidak ada sokongan dari pihak lain dalam mendukung usahanya tersebut. Kendati demikian, untuk usaha penjualan buah, Bu Yuli mengaku bahwa usaha ini tidak selalu bisa diandalkan karena pasokan buah yang fluktuatif setiap bulannya. Akhirnya, usaha buah hanya menjadi pekerjaan sampingan bagi Bu Yuli dalam menghidupi keluarganya. Hal tersebut tercermin dari pernyataan Bu Yuli sebagai berikut.

“Kerja goreng kerupuk terus buah. Buah agak susah, terus aku pindah, pokoknya pindah pekerjaan goreng kerupuk. Adek ngegojek sendiri berangkat jam 10/11 malem soalnya orderan nggak kayak dulu katanya. Kalau dulu pagi atau siang dapat, kecuali RASDA, kalo RASDA ya dapetnya 18 kali, per 10 kilo. Setelah pindah dari BLT tanggal berapa itu kalo ga salah setelah hari raya itu lo bulan mei, dari BLT cuma dapet sekali di bulan mei 600rb. Terus nggak dapet bantuan usaha atau pelatihan dari kelurahan atau bantuan manapun. Dari awal modal sendiri. Sebelum ibu meninggal itu, jual buah di kampung (pisang, sirsak, pepaya, buah seadanya) pokoknya halal, tapi sekarang buah ini agak susah. Kalo pisang mahal, rusak. Saya juga belum pake kompor, masih pake kompor kayu, soalnya nggak berani, terus kalo pake kayu masakannya jadi matangnya pas, kayu bakar juga nggak beli tapi datang sendiri, soalnya dari satu kampung yang masih pake kayu cuma saya sendiri.”

                                                         Wawancara Bu Yuli, 10 Juli 2023.

Melalui pernyataan di atas, Bu Yuli masih melakukan pekerjaannya berupa menggoreng kerupuk untuk menghidupi dirinya beserta adiknya dan terkadang adiknya ikut membantu Bu Yuli dengan menjadi supir Gojek. Kendati pekerjaan tersebut konsisten dilakukan oleh Bu Yuli, namun penghasilan yang diterima Bu Yuli beserta adiknya masih dibawah standar Upah Minimum Kota (UMK) Kota Malang yang mencapai Rp 3 juta dan kondisi ini juga membuat mereka rentan terhadap kemiskinan.

Sebagai respon terhadap kondisi Bu Yuli, Dinas Sosial memberikan Beras Daerah (RASDA) setiap bulan kepada Bu Yuli, dengan jumlah bantuan yang diterima mencapai 10 kg beras. Bu Yuli mengakui bahwa ia mendapatkan RASDA sebanyak 18 kali sejak awal tahun 2023, yang jika ditotal, maka Bu Yuli mendapatkan 180 kg beras. Selain RASDA, Bu Yuli juga mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 300 ribu dari Dinsos. Akan tetapi, Bu Yuli hanya mendapatkan BLT sebanyak satu kali pada bulan Mei 2023. Selain itu, Bu Yuli turut mengeluh ketiadaan kebijakan seperti pendampingan dan pelatihan kerja lainnya dari Dinsos untuk menaikkan derajat penghidupan keluarganya, yang mana Bu Yuli mengharapkan adanya program pelatihan kewirausahaan untuk membuka sumber pendapatannya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyelesaikan gap dan kesenjangan sosial yang terjadi antara yang kaya dan miskin terutama bagi perempuan kepala keluarga yang sangat rentan dalam situasi kemiskinan. Masalah tersebut harus diselesaikan oleh pemerintah dengan pendekatan afirmasi agar lebih konkrit. Dimana ada dua hal kebijakan afirmatif yang ditujukan kepada perempuan kepala keluarga. Pertama, mereka harus diorganisasi dengan program-program khusus sesuai kebutuhan mereka. Misalnya dengan program pemberdayaan di bidang ekonomi, pemberian legalitas status, dan bentuk pelatihan lainnya. Kedua, perlindungan terhadap segala kegiatan ekonomi mereka. Misalnya, pasar tempat perempuan kepala keluarga mencari nafkah tidak boleh dimasuki oleh kompetitor yang lebih besar atau kuat. Perempuan kepala keluarga juga mendapatkan perlindungan dan kemudahan mengakses jaminan kesehatan, pembiayaan, administrasi kependudukan dan lain-lain.

Faktanya hingga saat ini, masih banyak ditemukan kesulitan akses oleh perempuan, terutama yang menjadi kepala keluarga bahkan belum diatasi.  Alhasil, banyak keputusan di masyarakat yang tidak berperspektif perempuan. Para perempuan ini mempunyai beban berlipat-lipat sendirian, mulai mencari mencari nafkah hingga membesarkan anak. Belum lagi mereka harus mendapatkan stigma buruk dari masyarakat sekitar. Untuk itulah, perlu adanya kerja bersama antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan sistem sosial kultural saat mengentaskan kemiskinan perempuan kepala keluarga. Agar salah satu ikhtiar mengatasi gap dan ketimpangan bagi perempuan, terutama yang menjadi kepala keluarga antarwilayah dan antarindividu dapat menurun secara signifikan kedepannya.

Sumber Gambar: Freepik.com

Zaidan Zainaddin
/ Published posts: 3

Pegiat Sosial