195 views 18 mins 0 comments

Gaya Hidup Mewah, Menjadi PSK, dan Suka Gengsian, Mahasiswa Malang Ini Akhirnya Menyesal Setelah Ayahnya Meninggal Dunia 

In Isu, Kolektif
May 05, 2024

Penyesalan akhirnya menimpa Melati (nama samaran). Mahasiswi berusia 24 tahun asal Kediri ini hampir mengakhiri hidupnya, ia merasa malu, karena sudah tidak bisa menyeimbangi gaya hidup teman-temannya lagi. Bersama teman-temannya itu, Melati mempunyai semacam paguyuban yang stylishly. Ia dan beberapa temannya berada pada semester yang sama; semester enam.

Selanjutnya, kisah ini akan membawa kita agar mampu memahami rasa syukur dan kesederhanaan. Bersama Melati, sebagai “pengendara hebat” yang mulai bertobat. 

Suatu siang yang berirama, saya berjumpa dengan Melati pada Minggu, tepatnya hari ketiga bulan Maret di taman Merjosari. Kiranya, sudah menjadi lumrah jika kita melihat orang-orang datang berbondong-bondong dan berseliweran ke taman ini. Tak lain, ialah untuk bersemadi, duduk berdiskusi, berpacaran, dan rebahan. Namun, lain halnya dengan Melati, ia terbaring sambil berdengus, seperti sedang kesemutan. Bahkan, lantunan isak tangisnya terdengar begitu lembut. Sebut saja isak tangis bertajuk Malu Aku Malu. 

Merasa ada yang aneh dengan wanita berambut blonde itu, hati saya pun tergerak untuk mendekatinya. Ketika jarak semakin dekat, Melati mulai tenang dan terlihat sok cool. Saya paham, ketika saya mendekatinya ia langsung berpura-pura tenang. Terlihat dari wajahnya yang melotot ke arah saya, karena ia mendengar bunyi sepatu serta hentakan langkah kaki saya.

Berusaha Mendekati Karena Penasaran dengan Suara Tangisannya 

Sempat saya berpikir kalau-kalau ia akan mengusir. Tapi, saya punya cara yang terbilang cantik. Saya mulai memakai gaya gravitasi ala Sigmund Freud. Tidak ingin ia mengusir, saya berpura-pura duduk di sampingnya dengan jarak 2 meter. Merasa tidak nyaman dengan keberadaan saya di dekatnya, ia melontarkan kalimat kepada saya. “Mas, bisa duduk di tempat lain nggak?”, ujarnya. Padahal saya tidak mau diusir, tetapi malah diusir, kelakar saya dalam hati.

Saya enggan menjawab. Hanya tatapan dalam yang saya pajang untuknya. Hingga sekitar lima menit saya berada di dekatnya, saya melihat dengusnya mulai meredup. Dalam hati saya berpikit bahwa sepertinya ia sedang putus cinta.

Kalau boleh jujur, saya sebenarnya malu untuk mendekati dan tidak ingin kepo dengan masalahnya. Alasannya praktis, karena memang saya tidak mengenalnya dan baru pertama kali melihat wajahnya di taman itu. 

Ada alasan lain yang membuat pikiran saya bergetar kepada kondisinya waktu lalu. Saya teringat pernah membaca sebuah buku bagus dari buah tangan Ester Lianawati yang berjudul “Dari Rahim Ini Aku Bicara”. Buku inilah yang menjadi alasan saya untuk berempati pada wanita itu.  Mengapa saya begitu penasaran dengannya?

Sebuah alasan yang didasari rasa kemanusiaan, akhirnya membuat saya menyimpan keinginan untuk bisa merasakan seperti apa jadinya, ketika menjadi seorang psikoanalisis.Saya hanya ingin berperan seperti Sigmund Freudtokoh pertama yang memberikan kesempatan kepada tubuh perempuan menjadi tubuh yang berbicara. Artinya, saya akan meminta waktu untuk ikut terlibat dalam kondisinya, dan memberikan ruang agar ia menyalurkan rasa (tangis).

Kemudian saya memberanikan diri untuk bertanya. Meskipun ada sedikit rasa sungkan untuk menegur, karena sudah diusir sebelumnya. “Kamu kenapa, Mbak? Nggak baik nangis di sini Mbak.” Saya menyapa. 

Mungkin karena merasa malu, ia mulai mengusap linangan air mata di pipinya sambil mengintip wajah saya dengan pose yang menjengkelkan. “Gapapa mas. Lagi ada masalah aja.” Kenangnya.

Membaca dari sahutnya, saya menginterpretasikan bahwa ia sedang memberikan sinyal kepada saya. Saya semakin mengalir dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Dengan percaya diri yang seimbang dengan rasa malu yang saya kesampingkan. Terlihat ada secuil kejujuran yang nampak dari wajahnya. Yah, kelihatannya begitu. 

“Oiya, nama saya Kristian.” ujar saya sambil mengulurkan tangan.
“Saya Melati mas.” jawabnya sambil menyambut tangan saya. 

Setelah mengetahui namanya, saya merasa gerbang utama telah dibuka olehnya. Karena saya belajar dari cara berkenalan para aktivis muda di Malang (menyapa artinya menjadi teman). Saya semakin berani untuk bertanya leluasa perihal aktivitas kesehariannya di Malang.

Berasal Dari Kediri dan berkuliah di Malang

Melati terlihat mulai tenang saat saya mengajaknya berbincang dengan sedikit gocekan yang membuatnya tertawa. Ia mulai akrab dengan saya dalam beberapa saat. Trik yang saya pakai untuk membuatnya ceria akhirnya berhasil. Alhasil, saya bisa mengetahui banyak hal darinya. 

Sontak ia pun bercerita. Melati, anak tunggal (semata wayang) dari seorang guru SMA yang mengajar di salah satu sekolah yang ada di Kediri. Di Malang, Melati mendedikasikan dirinya untuk menimba ilmu Manajemen di salah satu kampus Universitas yang ada di Malang.

Ia menceritakan kesehariannya yang berbeda dengan mahasiswa lain. Hampir setiap hari ia bergumul dengan laki-laki di hotel. Di sini, saya langsung pada pointnya, karena beberapa hal yang tidak perlu saya sampaikan karena bernilai privasi. Itu sudah biasa bagi saya untuk mendengarnya. Lantaran, banyak kenalan juga yang bekerja di dunia malam.

Mahasiswa pada umumnya diwajibkan untuk belajar, berdiskusi, berorganisasi dan membaca serta menulis (karya). Saya mempunyai teman mahasiswa hebat seperti, Fira, Masyur, Indah, dan Novia. Mereka semua ialah mahasiswa progresif yang suka membaca dan menulis. Bahkan, sudah banyak menghasilkan  karya (tulisan artikel dan buku-bukunya) sejak mahasiswa hingga sekarang. Yah, tentunya itu tidak langsung melekat pada diri mereka, melainkan membiasakan diri produktif dan punya niat untuk menggalangnya.

Lain halnya dengan Melati. Ia bahkan tidak pernah membaca buku, berdiskusi perihal jurusan dan menulis. Mungkin saja, ia tidak menyukainya. Cerita berlanjut, ketika ia meminta rokok yang saya selip di kantong baju. Sembari merokok, ia menghidupkan suasana. Melati, dengan tarikan rokok yang begitu dalam, bercerita bahwasannya, ia jarang dan enggan tidur di kosnya sendiri. Saya merasa bingung dengan dirinya. Dalam hatiku, Lah terus ngapain bayar uang kos?

Namun, saya terus menanyakan. Saya menjadi yakin dengan ceritanya, pasti ada sebuah tragedi yang akan digelorakan. 

Memastikan bahwa itu akan terwujud. Saya terus menggelitik suasana agar ia meluapkan semuanya.  Melati pun bercengkerama, kalau ia sudah hampir tiga tahun mengembara di Malang, baru sekitar 30 kali tidur di kamar kosnya. Selebihnya di “luar”. Bahkan memasak dan mencuci pakaian saja tidak pernah sekalipun selama kuliah. Melati selalu membeli makan di luar, dan untuk mencuci pakaian selalu ke tempat laundry. Artinya, Melati hanya pulang ke kos untuk mandi dan berdandan. Setelah itu, ia lanjut keluar kos. 

Lanjutannya, hampir setiap malam, ia tidur di Hotel. Sebagai cadangannya, ia memilih Reddoorz sebagai tempat ia beristirahat. Tidur di kos temannya hanya beberapa kali, itupun kalau belum dapat kiriman dan karena malas balik aja. Mendengar itu, saya sampai menggigil dan terheran-heran.

Dalam pikiran saya, yang tidak kurang dari rasa kemunafikan, saya mengelola pikiran negatif yang tidak usah saya jelaskan di sini. Karena saya yakin kalian pasti memikirkan itu. 

Punya Komunitas “Ceker”, Open BO, dan Hidup berfoya-foya (Hedonis)

Melati menceritakan, pada 2021 lalu, ia bergabung dengan paguyuban “Ceker” (cewek keren). Karena, di kampus ia tidak memiliki teman. Ia merasa minder berteman dengan kawan sekelasnya. Paguyuban mereka, sudah melebar luas di Malang. Mereka bekerja secara online dan senyap. Bahkan, untuk berjumpa dengan mereka saja sangatlah susah. Apalagi kalau ngopi cuman modal ceban doang, jangan harap bisa bergumul dalam circle ini. Dalam paguyuban Melati, ada tujuh orang dari mereka termasuk Melati sendiri. Intinya, ini soal Melati, maka saya tidak membahas tentang anak cabang dari paguyuban ini. Sebenarnya ini bukan paguyuban besar seperti pangkalan grab, melainkan hanya kelompok pertemanan biasa. Saya menggunakan kata paguyuban komunitas karena beberapa unsur terpenuhi sebagai syarat berkomunitas, seperti ; adanya basis minat, basis lokasi, dan basis komuni, serta adanya kesepakatan pada sistem keuangan. 

Saya bertanya perihal surplus anggaran dalam pertemanan mereka yang berdampak pada jurusan kuliah mereka. Ternyata, tidak ada timbal balik dengan jurusan yang mereka tempuh. Aslinya, hanya untuk merugikan diri sendiri. Karena biaya untuk bersenang-senang lebih besar dari biaya kuliah mereka. Namun, tentunya itu menjadi hak mereka sendiri.

Cegukan air seketika jatuh ke samping kiri. Setelah Melati mengatakan ia menjalani pekerjaan sebagai pemuas birahi sugar daddy. Dahi saya sedikit mengerut. Lanjutnya, aktivitas keseharian mereka ialah nongkrong di kafe-kafe elit dan elegan menemani om-om kaya yang lagi bekerja dan bersantai ria. Mereka punya tujuan, ialah melirik om-om  yang haus terhadap wanita. Seperti ada target yang harus diselesaikan. Mereka sangat memahami kepribadian seseorang yang menyukai mereka. Senjatanya, ialah berpakaian sedikit terbuka di bagian dada dan slow motion saat membelai rambut . itu adalah kunci dari cara mereka untuk memikat perhatian om-om. Dalam komunitas tersebut, mereka semacam membuat sebuah siklus kehidupan yang baru. Mereka berpatungan untuk menjalankan keseharian itu. Misal, hari ini si A yang traktir makan, si B dan si C yang traktir “minum” di kafe dan hotel. Begitupun sebaliknya, dan berlangsung setiap hari. Jadi, ada sebuah sirkulasi keuangan yang mereka terapkan dengan perolehan uang dari hasil menemani om-om (di hotel). Bukankah itu adalah sebuah kehidupan yang baru dalam keseharian mereka sebagai mahasiswa?

Sudah hampir tiga tahun mereka menjalani kehidupan demikian. Padahal Melati memperoleh uang bulanan yang dikirim dari ayahnya sebesar 10 juta per bulan. Itu sudah termasuk ; kamar kos, makan, dan ojek. Disusul uang jajan 2 jutaan dalam satu bulan. Uang bulanan Melati yang dikirim Ayahnya termasuk paling kecil diantara mereka bertujuh. Saya membayangkan, pengeluaran Melati hampir menyamakan beberapa kawan mahasiswa dari Universitas Brawijaya yang hidup boros. Karena merasa heran, apalagi ekonomi saya jauh berbeda dengan Melati, saya menanyakan sebuah pertanyaan kuno;

“Sebenarnya, buat apasih kalian kek gitu? 10 juta itu gede banget loh. Bahkan itu bisa bayar biaya SPP saya tiga semester.” Saya bertanya dengan heran.

Melati hanya terdiam dan semakin sedih mendengar pertanyaan saya. Terlihat dari kepalanya yang seketika menunduk dengan bibirnya yang perlahan bergetar. 

Saiki aku nyesel mas. Aku merasa berdosa banget mas. Kerjaanku yo ngunu, aku merasa gak berguna dan rusak banget mas. Selama ini aku nggak sadar kalau uang segitu gede banget. Aku terlalu gengsian sampai terobsesi dengan hidup glamour gitu. Padahal ya, aku bukan orang berada juga. Kami kek gitu cuman buat senang-senang aja. ke kafe atau ke hotel cuman nemani “mereka”, terus foto-foto buat ngepost story IG dan Tiktok. Udah itu aja mas. Sumpah nyesel banget aku mas” jawab Andini dengan sedikit terisak. Saya hanya menepuk jidat!

Menghindar dari Komunitas , Ayah meninggal, dan melarat miskin karena tidak ada kiriman

Sebelumnya, Melati hidup berleha-leha dengan dunia perkuliahan dan lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia luar. Namun, kenyataan sekarang memaksa dia harus bersembunyi dan “berwajah topeng” karena dipasung rasa malu dan rasa bersalah. 

Pada kamis pagi (15/2/2024), Ayah Melati meninggal dunia karena sebuah penyakit (kata Melati). Sedang, saat ini Melati masih belum lulus kuliah. Sang ibu, terpaksa harus menafkahi Melati dan melanjutkan peran “ayah” sebagai tulang punggung keluarga. Tidak hanya itu, sang ibu juga harus berusaha melunasi beberapa hutang ayahnya di beberapa tempat. Semuanya adalah dampak dari kehidupan Melati yang berfoya-foya di Malang. 

Terkadang, Melati meminta uang secara mendadak dengan alasan untuk keperluan kampus. Hal itu yang membuat sang ayah memilih jalan pamungkas (berhutang). Ayahnya merupakan sosok pekerja keras yang sangat menyayangi Melati, karena ia menyimpan harapan yang begitu besar padanya. Kehidupan mereka berubah jauh. Para penagih hutang mulai berdatangan di sekitaran rumah mereka. Meskipun, ia bisa saja membayar hutang itu dengan uang dari hasil pekerjaannya, namun, setelah mendengar kematian ayahnya, Melati seakan tersadar. Entah pukulan apa yang membuatnya untuk berhenti menjadi PSK. 

Pada kamis sore (15/2/2024), Melati datang menghadiri pemakaman sang ayah dengan penyesalan yang begitu dalam. Hingga, membuat Melati berniat untuk tidak melanjutkan kuliah alias berhenti kuliah. Namun, sang ibu bersikeras menyuruhnya untuk kembali ke Malang guna melanjutkan kuliahnya. Melati merasa malu untuk kembali ke Malang. Ia sadar tidak akan mampu bergabung di komunitas ceker itu lagi. Meskipun, wajah cantiknya masih bisa merona di mata pelanggan. Akan tetapi, ia sudah mulai jijik dengan pekerjaannya itu. Saking terlalu memikirkan paguyuban itu, ia menyayat tangannya dengan sebuah silet yang menggores sekitar 5 sayatan, hingga darahnya netes diatas tilamnya. Namun, aksinya diketahui ibunya, karena mendengar jeritan Melati yang semakin menggila. Ia berpikir, dengan menyayat tangannya, semua masalah akan keluar begitu saja. Nyatanya tidak. Dunia kita masih menyajikan kepahitan-kepahitan lainnya.

Melati mengalami depresi karena kehilangan sosok ayah, dan hal lain yang difokuskannya, ialah sahabat-sahabat paguyuban yang di Malang. Yang secara terus-menerus menanyakan keberadaannya. Melati, tak mengabarkan mereka bahwa sang ayah telah meninggal. Tidak heran, jika teman-temannya semacam tak peduli dengan duka yang dialaminya. Wong gak tahu belas!

Setelah seharian penuh menjerit dan melamun, Melati akhirnya memutuskan untuk kembali ke Malang pada (Sabtu, 17/2/2024) untuk melanjutkan kuliahnya. Ia benar-benar berubah secara mendadak. Baginya, pekerjaan menjadi pemuas nafsu adalah hal tercela. Dan Melati benar-benar melihat hal itu sebagai sesuatu yang paling menjijikan yang pernah ia lakukan. 

Semenjak ayahnya meninggal, ia tidak pernah sekalipun menampakkan wajahnya di media sosial. Bahkan, ia menghapus semua foto dan video yang diposting di Instagram dan Tiktok. Saat ini, ia benar-benar menutup diri dari sosial media. Dan tidak pernah menghubungi teman-temannya lagi. Ia mengatakan akan menjauhi mereka. Disamping sudah tidak mampu bergabung, Melati sudah tersadar atas apa yang dilakukannya selama ini. Ia merasa, bahwa teman-temannya adalah racun untuknya.

“mereka toxic,” ucapnya.

Sembari bercerita, ia menanyakan lowongan pekerjaan kepadaku. Saya dengan senang hati mendengarnya. Karena, saya sudah banyak relasi terkait dunia pekerjaan. Apalagi untuk mahasiswa. Yah, kalau bukan di kafe pastinya rumah makan. Itu aja sih. Melati, kembali bertanya dengan serius; “Kalau ada pekerjaan, aku mau mas. Kerja apa aja yang penting jangan yang itu lagi.” Kenangnya dengan serius.

Setelahnya, saya menelpon kawan saya yang bekerja di rumah makan X, untuk menanyakan lowongan pekerjaan buat Melati (teman baru saya).

Pada (Senin, 11/3/2024), saya menerima kabar kalau Melati sudah bekerja di sebuah rumah makan X itu. Saya hanya bisa membantu mencarikan pekerjaan yang wajar buat Melati agar bisa membantu sang Ibu menjalani roda kehidupan. Saya mendapat pesan via WhatsApp; sebuah foto selfie yang dikirimnya, sedang mengenakan hijab dan rambut blonde-nya sudah dicat hitam. Saya hanya tersenyum dan mengucapkan “selamat”.

Belajar dari kisah Melati, saya berharap kita semua mengambil hikmahnya. Bahwa,orang tua kita akan melakukan segala cara agar anaknya ceria,senang, dan tidak murung. Sesekali ratapilah perjuangan orang tua kita. Bayangkan kerut wajah dan air keringat bekas kerja kerasnya untuk kita.

Kristian Ndori
/ Published posts: 3

Pemuda Taman Firdaus