31 views 5 mins 0 comments

Femisida Semakin Marak, Bukti Maskulinitas Masih Rapuh di Indonesia

In Opini
January 21, 2025

Femisida atau feminisida sering dikenal sebagai bentuk kekerasan yang berujung pada kematian perempuan. Dilansir dari Komnas Perempuan, femisida terjadi akibat adanya dorongan yang didasari kebencian, dominasi, dan pandangan misoginis yang ditujukan pada perempuan. Pembunuhan yang terjadi pada kasus femisida tidak dilihat hanya sebagai pembunuhan biasa. Femisida dalam konteks hukum dianggap kejahatan yang berbeda karena terdapat unsur ketidaksetaraan dan kekerasan berbasis gender.

Khususnya di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat 290 kasus sepanjang Oktober 2023 hingga Oktober 2024. Angka ini sebagai angka tertinggi kedua dalam tujuh tahun terakhir, setelah 307 kasus pada Juni 2021—Juni 2022. Deretan kasus yang dihimpun Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pemicu terbesar pembunuhan didasari akibat cemburu dan sakit hati.

Terlepas dari apa pun alasan pembunuhannya, lebih jauh lagi femisida berakar dari relasi kuasa yang timpang antara perempuan (korban) dan laki-laki (pelaku). Ketimpangan relasi kuasa ini juga didorong oleh pandangan patriarkis yang melihat perempuan hanya sebagai objek. Dalam hal ini, laki-laki sebagai pelaku objektifikasi tidak menganggap perempuan sebagai subjek (manusia) yang berhak untuk hidup. Alhasil, buruk dan busuknya pandangan yang patriarkis ini lagi-lagi menjadikan perempuan sebagai korban.

Belakangan ini, terdapat beberapa kasus yang berhasil diungkap media. Di Lamongan, Jawa Timur, seorang gadis kelas X SMK menjadi korban pembunuhan karena telah menolak cinta seorang laki-laki. Sebelumnya di Bangkalan, Jawa Timur, mahasiswi yang tengah hamil dibunuh oleh pacarnya karena menolak menggugurkan kandungan. Para pelaku pembunuhan tak hanya berstatus sebagai warga sipil, tetapi juga anggota TNI. Di Sorong, Papua Barat Daya, seorang anggota TNI AL membunuh perempuan karena menolak untuk melanjutkan hubungan seksual.

Sedikitnya tiga kasus kasus di atas memiliki satu kesamaan, yaitu adanya masalah penolakan. Para lelaki yang melakukan pembunuhan tersebut tidak memiliki pemahaman yang matang terhadap arti dari penolakan. Budaya dan sistem patriarki Indonesia telah lama menormalisasi narasi bahwasanya laki-laki harus dan bisa mendapatkan apapun yang mereka mau.

Contoh di atas adalah salah satu dari sekian banyak narasi terkait maskulinitas yang rapuh. Maskulinitas rapuh atau fragile masculinity merupakan kondisi yang membuat laki-laki merasa tidak aman atau terancam dalam peran maskulinitasnya. Dalam hal ini, laki-laki merasa terdorong untuk memenuhi standar-standar tertentu sebagai seorang laki-laki. Seorang lelaki yang memiliki maskulinitas rapuh cenderung defensif dan berusaha menunjukkan citra maskulin yang berlebihan, sering kali melalui perilaku agresif atau dominatif. Efek buruknya, apabila pikiran seorang laki-laki yang telah terkonstruksi dengan maskulinitas rapuh tidak dapat memenuhi standar maskulinitas tersebut, dirinya lebih sulit menerima kenyataan, bahkan bisa berujung pada pembunuhan (terhadap perempuan).

Femisida yang diakibatkan oleh adanya maskulinitas rapuh merupakan fakta yang paradoksal. Mengapa? Selama ini, laki-laki mendeklarasikan diri sebagai makhluk yang logis. Akan tetapi, femisida terjadi karena dorongan dari emosi laki-laki yang tidak matang. Kegagalan laki-laki dalam meregulasi emosi justru meruntuhkan narasi patriarkis yang menganggap laki-laki makhluk yang logis dan perempuan makhluk yang emosional. No Means No tidak dihargai sebagai pernyataan penolakan yang jelas, tetapi sebagai penolakan yang meruntuhkan maskulinitas dan layak untuk menerima pembunuhan.

Lebih jauh lagi, dampak dari budaya dan sistem patriarki ini tidak cukup juga menyadarkan laki-laki untuk tidak membunuh. Sebagian dari mereka justru lagi-lagi denial terhadap fakta tersebut. Fakta bahwa femisida dilakukan oleh laki-laki tidak serta-merta menjadi bentuk penyadaran dan ajakan sebagai sekutu untuk memerangi kekerasan berbasis gender. Tak jarang, penjelasan terkait deretan fakta dan kasus femisida dianggap sebagai sarana penyerangan terhadap laki-laki, namun sistem patriarki–yang harus dilawan bersama.

Lalu, maskulinitas seperti apa yang perlu dipegang teguh sebagai respons dalam kasus femisida? Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, maskulinitas rapuh menjadikan laki-laki tidak memiliki emosi yang matang sehingga agresif terhadap penolakan. Lawan dari maskulinitas rapuh adalah maskulinitas yang kuat atau sehat. Sikap maskulinitas yang kuat tentunya tidak terikat pada norma-norma kaku yang menuntut laki-laki bersikap agresif atau dominan. Sebaliknya, sikap ini memungkinkan pria untuk mengekspresikan emosi, berpartisipasi pada aktivitas yang dianggap feminin sekalipun, hingga menjalin hubungan yang setara tanpa merasa terancam oleh identitas maskulinnya.

Sikap-sikap yang bisa dijadikan acuan berupa keterbukaan emosional, menerima, dan sensitif terhadap kesetaraan gender, penghargaan terhadap diri sendiri, serta berpartisipasi dalam tugas-tugas domestik atau rumah tangga. Beberapa sikap maskulinitas kuat tersebut dapat mendorong adanya lingkungan yang lebih sehat bagi laki-laki, perempuan, dan anggota masyarakat lainnya.

Di Indonesia, catatan tersebut masih menjadi PR yang akan tetap diingat serta diupayakan. Femisida bukan hal yang sederhana, karena persoalan ini berasal dari sistem yang telah mengakar cukup kuat. Akan tetapi, bukan pula menjadi suatu hal yang tidak mungkin untuk dicapai.

Sumber gambar: Freepik.com

Cindy Parastasia
/ Published posts: 3

Redaktur Pelaksana angkatsuara.id