127 views 4 mins 0 comments

Fatherless, Ketidaksetaraan dalam Pola Pengasuhan Anak

In Asuh, Gaya Hidup
September 29, 2023

Suatu pagi yang indah bersama cuaca dingin kota malang, silir angin masuk ke sela-sela bulu mata, sekejap membuat mata ingin tertutup sedikit lebih lama. Gas sepeda motor tetap kugenggam sambil menyusuri setiap sudut penjual kue basah, pecel pagi, dan nasi empok (nasi jagung) untuk sarapan kali ini. Perjalanan mencari asupan untuk cacing perut perlu melewati beberapa tempat yang ayem.

Terlihat rombongan anak-anak menyebrangi jalan kota dengan beragam model dan aksesoris rambut, ada yang mengepang, menjepit dengan jepitan hello kitty, ada juga yang mengenakan bando biru. Sementara itu, anak laki-laki mengekspresikan semangatnya tanpa aksesoris, ada yang bergaya rambut morrissey, taper cut, two block, dan klimis ala 90-an. Tidak ada keanehan dari anak-anak menyebrangi jalan untuk masuk ke PAUD ataupun TK yang berdampingan, mereka mulai mengambil langkah dan melambaikan tangan pada orang tuanya. Tapi… Oh! kali ini mulai terlihat kejanggalan. 

Anak-anak itu melambaikan senyum manis pada orang tua. Kata Bu Guru selepas pelajaran, “Anak-anak, sebelum berangkat sekolah kita harus berikan salam pamit kepada orang tua ya, begitu juga saat pulang sekolah”. Tapi, siapakah orang tua yang dipamiti oleh anak itu? Siapakah orang tua yang digenggam erat saat menyebrang jalan? Siapakah orang tua yang menjemputnya? 

Baju warna-warni selutut, rambut diikat sanggul, wajah lesu, kerutan di mana-mana, tak lupa ada sobekan di bawah ketiak saat melambaikan tangan, tersenyum dengan bibir kurang nutrisi, dan mata terpaksa disipitkan agar terlihat tersenyum. Itulah gambaran dari kata “orang tua” yang Bu Guru maksud? Apakah dalam benak anak saat hendak berangkat dan pulang belajar hanya ada satu sosok? Atau dua? Bagaimana menggambarkan kaum berdaster ini yang kerjaannya hanya mengantar anak dan menjemput dengan baju dan wajah yang sama? Saya tidak melihat ada satu bahkan dua motor dengan bentuk yang berbeda. Yah… paling-paling perbedaannya hanya mengenakan tudung kepala. Di manakah sosok dengan bahu kekar dan tangan maco itu? Apakah mengantar anak hanya dilimpahkan pada putri berdaster?

Saya melanjuti perjalanan sambil berpikir ke mana perginya sosok itu, apakah memang suatu saat nanti pekerjaan saya hanya sebatas itu? Ke manakah mimpi mereka dulu? Bagaimana situasi ini terjadi dengan sendirinya? Apakah putri berdaster menerima jabatan sebagai ojek antar jemput dengan lapang dada? Entahlah, saya pun berakhir di penjual kue basah. Tiba-tiba, disodorkan wadah dan penjepit kue untuk saya pilih sendiri, “Monggo, Mbak. Dipilih mawon..” begitulah saya dikagetkan dengan suara bas dari penjual kue. Terlintas lagi di benak saya “Oh, apakah semua lelaki itu hendak pergi mencari nafkah dan balik pada malam hari?” atau “Apa yang membuat mereka seperti ini?”. Lagi-lagi, entahlah….

Saya mulai menikmati sarapan pagi ini di bawah pohon beringin, eh, maksud saya bapak-bapak itu mulai menyerap dengan kopag (kopi pagi) dan gorengan di bawah pohon beringin, sambil sebat sebatang rokok tanpa bea cukai. Disambut ibu-ibu dalam rumah kayu yang membolak-balik gorengan di wajan. Sementara saya? Saya hanya melewati saja sambil berpikir lagi, siapakah istri bapak-bapak itu? Apakah istrinya bahagia? Tapi, saya melihat mata sayu dan mata yang lelah, bibir yang menghitam sambil mengepulkan asap putih. Lalu saya berpikir lagi, apakah kebahagiaan itu?

Mungkin anak-anak sudah waktunya pulang sekolah, mungkin putri berdaster mulai menjemput peri kecil dan dewa kebahagiaan mereka, dan mungkin akan datang juga padaku saat-saat menjadi ojek antar jemput. 

 

Sumber gambar: pinterest.com

Ns. Khadijah
/ Published posts: 5

Perempuan yang suka marah, kadang nulis kadang TikTokan