156 views 5 mins 0 comments

Apakah Benar Perempuan Itu Manusia?

In Opini, Serba-serbi
July 05, 2024

Siapa sangka pembiasaan yang berlangsung cukup lama dan turun temurun mengakibatkan ketimpangan yang membatasi diri perempuan. Mulai dari akses dan kesempatan yang terhambat sehingga perempuan memulai hidup lebih lambat dan menua dengan cepat. Dari mulai pembiasaan perempuan yang hanya pada ruang domestik hingga berbagai ketentuan sebagai perempuan yang harus dilakukan hingga menjadi luka.

Perjalanan panjang menjadi manusia terlebih menjadi perempuan. Lahir dengan banyak aturan, banyak batasan, dan sering terpinggirkan. Sebuah kisah pengalaman seorang perempuan, Lili. Hidup di desa atau di perkotaan, tidak ada yang mengenal perempuan. Masih sama, masih menjadi manusia kedua, manusia cadangan, manusia domestik. Benarkah kesetaraan itu ada?

Menurutnya, itu hanya menjadi isu kepentingan sekelompok manusia. Sistem androsentris (patriarki) masih sangat mendominasi. Kesetaraan tidak serta merta tercapai hanya jika perempuan telah mendapat akses dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, bagaimana sistem itu berjalan dengan tidak mendiskriminasi satu di antaranya.

Ruang publik masih menjadi kepemilikan laki-laki. Perempuan ada di dalamnya, namun perannya terbatas. Oleh dominasi laki-laki, oleh ego laki-laki, dan oleh kesepakatan-kesepakatan yang secara alami dilakukan oleh laki-laki.

Lili bergaul dengan semua orang, tapi lebih sering dengan sekelompok laki-laki. Dulu Lili merasa nyaman, tapi sekarang Lili sangat kesal, marah, dan terlebih sangat tidak nyaman. Bagaimana tidak? Dalam setiap perbincangannya tidak selalu lepas dari obrolan seksis dan bercandaan soal fisik, di mana perempuan yang menjadi topik utamanya. Seolah laki-laki ialah manusia paling sempurna dan mempunyai hak untuk mengomentari bahkan men-judge hal-hal yang mereka anggap lucu maupun sensual.

Pada perannya seolah tak mau kalah, hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa peduli dengan peran orang lain terlebih perempuan. Oh ya, terkadang seolah memberi ruang pada perempuan, padahal terdapat niat terselubung untuk memanfaatkan. Seolah melindungi padahal membatasi. Nyatanya diskriminasi dan marjinalisasi jenis kelamin masih sangat mengakar.

Kenapa sistem patriarki masih masif dalam kehidupan manusia? Mungkin bukan karena belum adanya kesadaran, melainkan karena kebiasaan yang menimbulkan kenyamanan. Perempuan menerima pembiasaan untuk tidak berdaya, untuk selalu terlindungi, untuk sekadar menerima keputusan. Laki-laki cenderung dikuatkan, menjadi sosok pahlawan, dibiasakan membuat Keputusan, dan memiliki kuasa atas segala hal.

Kenyamanan itu tumbuh menjadi budaya yang diyakini. Perempuan bukan belum atau tidak sadar, melainkan terkadang lelah oleh budaya yang terus mematikan geraknya, budaya patriarki yang terus membunuh potensinya hanya karena dia perempuan, budaya patriarki yang membatasi eksistensinya. Tidak banyak perempuan yang merantau kuliah atau bekerja yang tetap eksis dan berdaya. Kebanyakan mereka kembali pulang dan kembali pada ruang domestik.

Bahkan pada lingkungan yang katanya berpendidikan dan menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan masih tidak terlepas pada belenggu budaya patriarki. Relasi kuasa ruang publik masih menjadi milik laki-laki. Seolah-olah kepentingan laki-laki merupakan hal yang paling utama, dan kepentingan perempuan ialah hal yang biasa saja. Persaingan antara perempuan memang luka, tapi bersaing antara perempuan dengan laki-laki sangat melelahkan.

Lili pernah gagal menjadi pemimpin hanya karena dia perempuan. Perempuan yang belum pandai dalam ruang publik terlebih politik. Dia yang dipinggirkan potensinya, lagi-lagi hanya karena dia tidak diberi ruang untuk berpolitik. Lili yang pernah diambang keputusasaan yang hampir memutuskan untuk pulang. Yah, kenapa menjadi perempuan sesakit ini?

Pada kesimpulannya, pembiasaan memanglah dampak paling besar. Dan menjadi manusia ialah hal yang tidak pernah selesai. Kesetaraan akan terus diperjuangkan. Baik itu di desa maupun diperkotaan, ruang dan waktu akan terus berjalan dan memerangi budaya patriarki yang kejam. Tidak masalah menjadi perempuan, kita hanya perlu terus mengasah pembiasaan pada ruang publik dan fokus pada potensi diri.

Perempuan bukan manusia kedua. Perempuan juga manusia yang punya harkat serta martabat. Dia hanya selalu dilemahkan, terpinggirkan, dan tidak selalu dilibatkan dalam ruang publik. Maka dari itu, mari mulai dengan tidak menunggu keputusan, tetapi buatlah keputusan itu sendiri. Mulai dengan melibatkan diri pada ruang publik, mulai untuk tidak selalu takut, dengan percaya diri. Dan mulai apa yang ingin kamu mulai dengan tidak selalu membatasi diri akan potensi yang dimilki.

Mengapa demikian? Jika akses dan kesempatan itu tidak ada, maka buatlah itu. Meminjam kalimat dari Najwa Shihab yang mengatakan, “Mengapa kita harus merasa kemampuan kita lebih rendah hanya karena kita perempuan?”. 
Jadilah manusia sepenuhnya dan perempuan seutuhnya.

Mega Maulida Ishak
/ Published posts: 4

Penikmat Intelektual