Kemajuan teknologi dan mudahnya bertukar informasi menggunakan internet membuat banyak perubahan di berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek sosial. Pada kehidupan sosial ini, manusia seakan dituntut untuk menjadi sama (atau bahkan seragam) dengan manusia lain. Padahal, hal ini tentunya bersifat subjektif dan sering kali berujung diskriminatif. Dalam pekerjaan, selain pembatasan usia yang kadang tidak masuk akal, calon pekerja juga dihadapkan dengan tuntutan “berpenampilan menarik” yang hingga saat ini masih menjadi misteri, tolok ukur menarik itu bagaimana?
Kemajuan teknologi juga sering kali membuat kita mengonsumsi sosial media secara berlebihan. Seghingga, tanpa sadar—sering kali kita juga terpengaruh dengan konten yang kita lihat di sana. Orang-orang menyebutnya sebagai “standar Tikt0k”. Entah soal tipe pacar, bagaimana seharusnya pacar meminta maaf, bagaimana seharusnya menjadi gender tertentu, bahkan hingga preferensi produk perawatan dan rias diri pun ada “standar”-nya. Tak heran, terkadang manusia juga berlomba-lomba meraih standar yang tak jelas batasan-batasannya dan dapat berubah sewaktu-waktu itu. Selain membuat diri menjadi konsumtif, standar-standar ini juga dapat memicu tekanan psikologis apabila seseorang memaksakan diri untuk mencapainya.
Dalam hal kecantikan juga terdapat sebuah standar yang lebih sering disebut sebagai “standar kecantikan”. Sebetulnya, standar kecantikan bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Jawa Kuno, masa kolonialisme, hingga saat ini standar kecantikan selalu berubah-ubah. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa sejak dulu, perempuan dihadapkan dengan tuntutan untuk selalu cantik— walaupun kerap kali menjadi cantik yang memenuhi tuntutan standar itu melelahkan, membuang banyak energi dan waktu, hingga lebih parahnya lagi menyakiti perempuan.
Menjadikan kulit putih sebagai tolok ukur kecantikan juga merupakan warisan dari kolonialisme. Dimulai dari iklan-iklan yang menunjukkan perempuan berkulit putih dengan teks berbahasa Indonesia dan bahasa daerah. Hal ini ternyata berlanjut di masa-masa berikutnya, bahkan hingga hari ini. Bedanya, industri kecantikan hari ini mengajak artis K-Pop sebagai modelnya. Tentu saja kita tahu walau sama-sama Asia, mayoritas orang Indonesia memiliki fisik yang berbeda dengan orang-orang Korea.
Standar kecantikan putih bening—bak bihun pada semangkuk bakso hangat— membuat banyak orang berlomba-lomba menjadi “putih”. Tak merasa puas dengan produk perawatan tubuh yang legal dan sudah melewati sekian uji lab hingga izin edar, banyak orang memilih alternatif menggunakan bahan-bahan berbahaya dan tentunya tidak memiliki izin edar; seperti Hidroquinon dalam jumlah besar dan tanpa pengawasan ahli, kortikosteroid, hingga merkuri-pun dilibas habis demi kulit yang putih instan dan hanya bertahan dalam waktu yang tak sebanding dengan bahaya yang mengintai.
Tak hanya itu, orang-orang juga berlomba memasukkan obat-obat atau vitamin dan zat aktif lain yang dianggap dapat memutihkan kulit, yang selanjutnya akan disebut sebagai suntik putih. Hingga saat ini, suntik putih bukanlah suatu hal yang resmi dalam dunia medis. Penggunaannya pun berbahaya dan dinilai beresiko tinggi. Pada dasarnya, suntik putih adalah vitamin c dosis tinggi dan gluthation yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah. Bisa dilarutkan di dalam cairan infus atau langsung injeksi (suntik). Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata suntik putih juga mengalami banyak “kemajuan” dengan hadirnya banyak variasi kandungan zat aktif.
Mengingat suntik putih bukanlah praktik yang resmi, tindakan ini kebanyakan dilakukan oleh oknum-oknum medis yang tidak bertanggung jawab dan orang awam yang tidak memiliki sertifikat kompetensi. Kebanyakan dari mereka menawarkan jasa visit ke rumah pemesan layanan tersebut. Umumnya, sekali tindakan membutuhkan biaya sekitar 300.000-1.000.000, bergantung dengan varian yang dipilih. Efek yang dihasilkan pun dijanjikan jika pemesan melakukan perawatan secara rutin, biasanya sekali dalam sepekan. Jika varian yang lebih mahal, perawatan itu dapat dilakukan dua hingga tiga kali dalam satu bulan.
Harga yang dibilang relatif murah membuat banyak orang tergiur untuk melakukan suntik putih. Belum lagi, hasil yang dijanjikan serta puluhan testimoni yang diunggah dalam laman sosial media yang tentu saja ditunjukkan indah-indahnya saja. Padahal, tubuh manusia tidak didesain untuk menerima vitamin c dalam dosis tinggi. Asupan vitamin c yang dibutuhkan oleh tubuh hanya berkisar 65mg-90mg dalam sehari. Sedangkan pada suntik putih, dosis yang diberikan minimal 1000mg. Belum lagi gluthatione yang fungsinya menekan melanin (zat warna pada kulit) yang entah diberikan berapa banyak.
Kulit yang putih dalam dua-tiga bulan nyatanya tidak sebanding dengan resiko jangka panjang yang ditimbulkan. Jika hanya alergi atau gatal kecil, mungkin masih bisa disembuhkan dengan anti histamine (anti alergi) yang dapat dibeli bebas di Apotek. Namun, apa jadinya jika ternyata kulit putih instan itu mengantarkan pada banyaknya penyakit serius? Banyak orang menderita autoimun setelah melakukan suntik putih.
Bahaya lain yang mengintai adalah kerusakan ginjal, hati, pankreas, dan jantung. Belum cukup di situ, gangguan saluran kemih dan gangguan hormonal juga siap mengintai. Penggunaan gluthation berlebihan juga dapat menurunkan daya tahan tubuh, karena gluthation bekerja dengan menurunkan kadar zinc dalam tubuh. Ini artinya, akan ada masalah baru seperti kuku yang mudah patah dan berubah warna, juga rambut yang mudah rontok. Selain itu, siklus ovulasi dan kehamilan juga dapat mengalami perubahan.
Oleh karena itu, mestinya kita tak tergiur dengan standar kecantikan apapun. Mengorbankan kesehatan demi kulit putih adalah satu tindakan yang tidak bijak. Cukup gunakan tabir surya agar terhindar dari kanker kulit. Lakukan eksfoliasi untuk membersihkan pori-pori dan mempercepat regenerasi sel kulit. Hentikan ejekan dan diskriminasi pada perempuan-perempuan lain yang menurutmu tidak memenuhi standar kecantikan yang kamu pegang. Mulailah mencintai diri sendiri, kita cantik dalam warna apapun.
Embrace yourself!
