Karya: Silvia Federici Ph.D
- Profesor bidang Filsafat Politik dan Studi Internasional di New College of Hofstra University, USA
- Pendiri Kolektif Feminis Internasional (Kampanye Upah untuk pekerjaan domestik (Rumah Tangga) sejak 1972, Pendiri Komite Upah untuk PRT di AS (1973), dan penulis buku “Upah untuk Pekerja Rumah Tangga” (1975)
- Buku lain: Witches, Witch-Hunting, and Women (2018), Revolution at Point Zero – Housework, Reproduction, and Feminist Struggle (2012)
Mendengar kata “penyihir”, apa yang terlintas dari benak kita? Sejak kecil, kita selalu dibuai oleh cerita-cerita bertemakan putri dan penyihir. Tokoh tokoh ini kontradiktif, putri dengan simbol kecantikan tiada tara yang melampaui kata sempurna dan penyihir yang digambarkan sebagai sosok perempuan (tua dan muda) yang aneh, tidak menyukai anak-anak, selalu pemarah, dan sangat suka mengganggu siapapun yang tidak mereka sukai. Gambaran tentang “penyihir” itu sebenernya keliru.
Dalam buku ini, Silvia Federici berupaya menjelaskan tentang proses penghancuran alat reproduksi paling dasar manusia, yakni perempuan. Caranya, perempuan dicap sebagai penyihir jahat sehingga melegitimasi proses teror terhadap mereka. Dalam buku ini Federici juga berupaya menyediakan cara-cara baru dalam memahami penundukan perempuan dan menawarkan alternatif perjuangan pembebasan perempuan.
Pemaknaan Arti “penyihir” dan Kaitannya dengan Perempuan
Penyihir dianggap sebagai makhluk jahat oleh umat Kristen awal di Eropa, menginspirasi sosok ikonik Halloween. Ilustrasi penyihir telah muncul dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah—dari wanita jahat berhidung besar yang meringkuk di atas kuali berisi cairan mendidih hingga makhluk berwajah kuyu dan terkekeh-kekeh yang sedang naik sapu di langit dengan memakai topi runcing. Namun, sejarah sebenarnya dari para penyihir adalah menakutkan dan seringkali bagi para penyihir, mematikan.
Histeria penyihir terjadi di Eropa pada pertengahan 1400-an, banyak penyihir yang dituduh untuk mengaku, dan seringkali disiksa atas perilaku jahat. Dalam satu abad, perburuan penyihir menjadi hal biasa dan sebagian besar terdakwa dieksekusi dengan cara dibakar atau digantung. Wanita lajang, janda, dan wanita lain yang terpinggirkan dalam masyarakat menjadi sasaran khusus. Antara tahun 1500 dan 1660, terdapat 80.000 tersangka penyihir yang dibunuh di Eropa. Sekitar 80 persen dari mereka adalah wanita yang dianggap bersekongkol dengan Iblis dan penuh nafsu. Jerman memiliki angka eksekusi sihir tertinggi, sedangkan Irlandia memiliki angka terendah.
Di Inggris, perburuan penyihir mencapai puncaknya pada tahun 1644 hingga 1647 karena upaya seorang putitan, Matthew Hopkins. Meskipun beroperasi tanpa komisi resmi parlemen, Hopkins (yang menyebut dirinya Pemburu Penyihir) dan antek-anteknya mengenakan biaya besar ke kota-kota selama Perang Saudara Inggris. Perburuan penyihir Hopkins singkat tapi signifikan: 300 kematian dikaitkan dengan karyanya. Hopkins menulis buku tentang metodenya, menggambarkan permulaannya sebagai pemburu penyihir, metode yang digunakan untuk mendapatkan pengakuan, dan tes yang dia gunakan untuk menguji tertuduh: menelanjangi mereka untuk menemukan tanda penyihir, “Swimming Test” (Ujian renang atau tes dengan mengikat penyihir ke kursi dan melemparkannya ke dalam ember berisi air untuk melihat apakah dia mengapung), dan menusuk kulit tertuduh. Eksekusi terakhir sihir di Inggris terjadi pada tahun 1682, ketika Temperance Lloyd, Mary Trembles, dan Susanna Edwards dieksekusi di Exeter.
Federici berpendapat bahwa pemusnahan penyihir berakar karena usaha pemerintah yang memberikan kontrol terhadap fungsi reproduksi perempuan. Selain itu, pemerintah mengubah tubuh perempuan menjadi instrumen reproduksi tenaga kerja, serta usaha untuk mendisiplinkan kerja terhadap pekerja yang bandel
Siapakah Penyihir?
- Perempuan miskin yang hidup di desa dan bekerja sebagai petani pada masa awal kapitalisme
- Perempuan yang melawan tuan tanah
- Dukun beranak
- Janda
- Perempuan yang sering menggerutu
- Perempuan yang dianggap “jahat”
- Perempuan yang digusur pada periode pra kapitalisme
Siapa yang menuduh?
Komunitas orang kaya, borjuis, tuan tanah, pihak gereja agar tak ada yang mengerem reproduksi tenaga kerja. Dengan demikian, semakin memperjelas orientasinya padq populasi besar, yaitu sumber kekayaan sosial dan sumber buruh murah.
Siapakah Caliban?
dunia proletariat yang senantiasa berjuang melawan kesewenangan penguasa.
Konteks Perburuan Penyihir
Perkembangan kapitalisme pada periode great witch hunt, abad 16 dan 17 di Eropa membuka jalan perbudakan, perdagangan, dan pemusnahan penduduk asli di dunia baru.
Fenomena Pemagaran Tanah di Inggris; tuan tanah dan petani kaya membangun pembatas dari tanah bersama, mengakhiri hak-hak adat dan mengusir petani dan penghuni liar yang bergantung pada tanah tersebut untuk kelangsungan hidup mereka. Pemagaran tanah merupakan bentuk pelaksanaan privatisasi tanah, sekaligus proses pengusiran terstruktur pada komunitas yang berdasar pada ikatan komunal.
Perburuan penyihir di Inggris banyak merampas hak adat janda dan perempuan atas warisan yang ia dapatkan, hak atas makanan, kayu, dan nafkah hidup. Perempuan dilabeli jahat dan merupakan orang yang tidak produktif dan berpotensi berbahaya pada tatanan ekonomi baru. Perburuan penyihir di Eropa berkaitan juga dengan perempuan dituduh melakukan praktik magis dengan bekerja sebagai tabib, melakukan pelanggaran norma seksual dengan kejahatan reproduksi.
Perempuan dianggap memiliki kemampuan khusus dalam memahami rahasia alam sehingga berbahaya. Seksualitas perempuan dianggap sebagai sesuatu yang jahat dan mengandung sihir. Ketertarikan seksual selalu dicurigai oleh elite politik sebagai kekuatan yang tak terkendali . Untuk melindungi kesatuan gereja, sebagai klan patriarkal maskulin dan untuk mencegah harta miliknya di hamburkan karena kelemahan rohaniawan dalam menghadapi kekuatan perempuan, membuat para klerus melukiskan seks perempuan sebagai instrument iblis “Semakin menyenangkan mata, semakin mematikan jiwa”.
Menikah dan reproduksi adalah pemenuhan kewajiban perempuan atas kehendak tuhan dan merupakan panggilan tertinggi mereka. Perempuan harus menyesuaikan diri untuk diterima secara sosial dalam masyarakat, patuh, submisif, subordinasi, serta tugas dan kewajibannya direduksi secara kapitalis hanya terbatas pada peran ibu dan istri
Perempuan menyihir laki-laki, mengontrol mereka di bawah kekuasaannya, menjebak mereka dan menyebabkan mereka melupakan semua jarak sosial dan kewajibannya. Perempuan ditempatkan pada stereotype “Penggosip” dan memelintir maknanya menjadi sangat buruk. Gosip berasal dari Bahasa inggris “God” yang berarti tuhan dan “Sibb” yang berarti saudara atau seseorang yang mempunyai garis kekerabatan yang sama. Makna tradisional dari gossip memberikan jalan kepada apa yang digambarkan sebagai perang terhadap perempuan, terutama perempuan kelas bawah, tercermin dari meningkatnya jumlah serangan terhadap perempuan sebagai orang yang suka menghardik dan mengomel, istri yang suka mendominasi dan tuduhan sihir. Dalam hal ini sastra di inggris juga turut serta dalam menyebarkan stereotype ini.
Strategi yang dilakukan juga berkaitan dengan kontrol pada ketaatan. Tugas pertama seorang istri yang ditegakkan gereja, hukum, opini public dan akhirnya oleh hukuman kejam yang diterapkan terhadap ‘hardikan/omelan’. Persahabatan perempuan adalah target perburuhan penyihir. Memberi label semua produksi pengetahuan sebagai gossip adalah bagian dari degradasi perempuan. Perempuan dibungkam dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputuhsan hingga saat ini tidak bisa mendefinisikan pengalaman mereka dan dipaksa untuk menaungi potret misogini laki-laki.
Sejak awal kemunculan gerakan feminisme, kekerasan terhadap perempuan telah menjadi isu utama dalam pengorganisasian feminis, menginspirasi pembentukan pengadilan internasipnal tentang kejahatan terhadap perempuan pertama yang diadakan di Brussels pada bulan Maret 1976, dengan kehadiran perempuan dari empat puluh negara, dengan membawa kesaksian-kesaksian tentang pemaksaan menjadi ibu dan sterilisasi paksa, pemerkosaan, pemukulan, penahanan di rumah sakit jiwa, dan perlakuan brutal terhadap perempuan di penjara. Sejak itu, inisiatif feminis anti-kekerasan telah berlipat ganda, meski banyak undang-undang telah disahkan oleh pemerintah setelah konferensi dunia PBB tentang perempuan. Kekerasan baru terhadap perempuan berakar pada tren structural yang merupakan dasar dari perkembangan kapitalisme dan kekuasaan negara di sepanjang waktu.
Kapitalisme dan Kekerasan terhadap Perempuan
Kapitalisme kerapkali berteman baik dengan budaya patriarki, tak ayal jika perempuan sekarang terus mengalami peminggiran, dengan menempatkan jenis kelamin lelaki lebih superior dibanding perempuan. Lihat saja saat ini, pengambil keputusan dan kebijakan umumnya diambil oleh laki-laki. Begitu pula dalam agenda kehidupan kemasyarakatan, laki-lakilah yang mendominasi, sementara perempuan terdomestikasi. Oleh budaya patriarki, perempuan ideal digambarkan sebagai perempuan yang patuh kepada suami, menjalankan peran pada pekerjaan domestik, dan melahirkan anak. Kepatuhan dan domestikasi apa benar sebagai takdir perempuan?
Menyematkan cap dan menganiaya perempuan sebagai ‘penyihir’ telah membuka jalan bagi pengerangkengan perempuan di Eropa untuk menjadi pekerja rumah tangga yang tidak dibayar. Kondisi ini turut melegitimasi subordinasi mereka terhadap laki-laki di dalam dan diluar keluarga. Hal ini juga memberi negara control atas kapasitas reproduksi mereka, menjamin terciptanya generasi pekerja baru.
Kekerasan terhadap perempuan adalah elemen kunci dalam perang global baru ini, bukan hanya karena kengerian yang ditimbulkannya atau pesan yang dikirimkannya, tetapi karena apa yang diwakili oleh perempuan dalam kapasitas mereka untuk menyatukan komunitas mereka dan yang sama pentingnya untuk mempertahankan konsep keamanan dan kekayaan non-komersial.
Terdapat akumulasi modal yang memicu kekerasan terhadap perempuan: Pengangguran, pekerjaan tidak tetap, dan runtuhnya upah keluarga. Selain itu juga perilaku misogini, kemiskinan perempuan, konstruksi media dan penyebaran konsep femisida.
Perlawanan terhadap kekerasan juga harus diorganisasi dalam berbagai bidang seperti: menuntut undang-undang yang seharusnya lebih tegas untuk mengikat yang bersalah, menerapkan strategi yang dirancang para perempuan tetika mengambil alih suatu dengan tangan mereka sendiri seperti membuka tempat penampungan yang dikendalikan oleh para perempuan, mengatur kelas pertahanan diri, dan membangun demonstrasi yang inklusif secara luas.
Perburuan penyihir dalam segala hal bentuknya yang berbeda juga merupakan cara ampuh untuk menghancurkan hubungan komunal, menyuntikkan kecurigaan antar masyarakat yang hidup bertetangga, antar teman, dan kekasih dituduh menyembunyikan orang lain, bernafsu untuk kekuasaan, seks, kekayaan atau hanya ingin melakukan perbuatan jahat. Penting bagi kita untuk saling memahami sejarah dan logika perburuan dan berbagai hal yang melanggengkannya di zaman kita; karena hanya dengan menjaga ingatan ini tetap dalam benak kita, maka kita dapat mencegahnya berbalik melawan kita.
Sumber: Kedai Pataba
