665 views 16 mins 0 comments

Merajut Keluarga yang Pro Gender: Review Film 1 Kakak 7 Ponakan

In Review, Serba-serbi
February 08, 2025

“Nyong ingat bahwa ada masa ketika rumah kita jadi lebih sunyi, bukan? Tak ada lagi percakapan yang dipenuhi pengabdian. Tak ada lagi percakapan sebenarnya. Perjalanan demi perjalanan. Mama pergi. Sering. Sesekali jauh sekali. Jarak kita semakin jauh. Kita harus berteriak pada satu dan lain, telah waktu bicara. Angin yang awalnya kupanggi dengan siulan, telah menibakan badai. Kondeku, terburai oleh angin. Berkibar. Mama mulai menulis surat, lebih karena tidak mau dilupakan bahwa mama adalah korban”.

(Desi Noviyani dkk, hal 54 : 2022. Beribu Surat Feminis : Antologi Surat Feminis Dari Indonesia. Diterbitkan oleh Peretas)

Spoiler Alert

Beberapa hari yang lalu, saya mencoba membuat jadwal dengan taman-teman saya untuk menonton film. Mery dan Nila datang terlambat. Tiba waktunya saya bertemu salah seorang dari komunitas Queer Language Club (QLC) inisial S. Karena telat sekian menit, saya tetap tergugah untuk mengatakan “bagus” pada beberapa scene di dalam filmnya. 

Ada yang membuat saya tergugah karena semakin banyak film berkualitas di Indonesia (bagi saya) selama sewindu belakangan, yaitu berkaitan dengan cara para sineas bercerita di dalam film-filmnya. Beberapa di antaranya adalah tentang kekerasan berbasis gender dalam film Posesif (2017), situasi sulit seorang keluarga mempertahankan kebahagiannya dalam Keluarga Cemara (2018), dampak dari Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dalam film Penyalin Cahaya (2021), perjuangan Bu Prani dalam membersihkan nama baiknya setelah diviralkan dalam film Budi Pekerti (2023)dan perasaan inferior laki-laki untuk mengungkapkan perasaannya selama bertahun-tahun dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023). Film-film tersebut memiliki dunia tersendiri di diri saya. Selain produksinya yang tidak biasa, kehadiran mereka juga membuat kualitas industri film Indonesia naik satu tingkat. Salah dua judul dari film di atas disutradarai oleh Yandy Laurens, yaitu Keluarga Cemara dan Jatuh Cinta seperti di Film-Film. Yandy Laurensmerupakan lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dua film lainnya juga disutradari oleh alumni IKJ yang tak kalah memukaunya, ialah seorang Wregas Bhanuteja yang berhasil menggarap Penyalin Cahaya dan Budi Pekerti.

Ini seperti kebetulan yang sekaligus bukan kebetulan. Beberapa tema film yang saya sebutkan tadi memiliki tema beragam; tetapi semuanya tetap berkaitan dengan mental issue. Kita mengetahui bahwa karakter seperti Yudhis di film Posesif (2017) bercerita pada suatu sudut pandang yang lain tentang bagaimana sineas atau film di Indonesia menceritakan kekerasan, dan kekerasan ini dekat pada kita. Toxic Relationship, dan apa yang dinormalisasi oleh Yudhis yang juga adalah korban kekerasan bersejarah (warisan dari Ibunya), seolah dianggap tabu—dan akhirnya menjadi pelaku (juga) tanpa pertolongan. 

Berbeda dengan masalah di atas, Yandy Laurens dalam menceritakan film-film yang berkaitan personalitas dan beban yang dimiliki seseorang; bisa dikatakan lebih membumi dan relate dengan keseharian kita. Realitas kekerasan Patriarki telah membenarkan peran gender, dan membagi tanggung jawab terhadap semua permasalahan keluarga hari ini; Bapak bekerja dan Ibu di rumah. Abah, adalah seorang bapak di Keluarga Cemara; seorang yang menanggung bebannya sendiri untuk memiliki rumah impian mereka atas suatu masalah setelah pekerjaan utama jatuh. Tetapi apa yang menjadi kesimpulan di film ini bukan untuk menggurui atau mengubah keadaan menjadi indah, melainkan memberikan sebuah harapan tentang pentingnya saling mendukung saling mengerti satu sama lain.

Dan film ketiga Yandy Laurens dan baru saja rilis di Bioskop pada 25 Januari lalu, 1 Kakak 7 Ponakan memulai cerita dari seorang tokoh Fresh Graduate bernama Hendarmoko (Moko).  Moko baru saja lulus kuliah di Jurusan Arsitektur dan memiliki impian sederhana bersama pasangannya untuk membangun bisnis. Moko harus menerima kenyataan bahwa kakak kandungnya (yang memiliki tiga anak dan satu anak asuh) harus meninggal seusai melahirkan. Keadaan diperparah ketika mengetahui Kakak Iparnya juga meninggal di waktu yang berdekatan akibat penyakit jantung. Bayi yang bernama Ima lahir, dan ketiga anak bernama Woko, Nina, Ano (keponakan Kakak Iparnya) harus sekolah dan disusul oleh Ais (anak yang dititipkan seorang guru les Piano) pada keluarga kecil ini.

Setelah kelulusannya, Moko luntang-lantung mengurus rumah dan mencari pekerjaan freelance selama dua tahun. Pada pukul 05.30, Moko harus beres-beres rumah. Pukul 06.00, Moko harus masak nasi. Pukul 07.30, Moko memandiian Ima. 10.15, Moko jemur cucian. 11.55, Moko mengganti popok Ima. 11.55, Moko mengambil rapot Nina. 12.55, Moko menghubungi pacar. 13.00, Moko makan siang bersama keluarga. Dan pada 16.15, Moko mencari laptop di situs jual beli online untuk mendaftar kerja. 18.15, Moko makan malam bersama keluarga. Ia pun terpaksa memutuskan hubungan bersama kekasihnya (Maurin) yang anak seorang berpunya karena tidak ingin menambah penderitaan orang lain lagi. 

Banyak ahli teori keluarga tradisional mengatur tentang pembagian tugas dalam keluarga dianggap sebagai sesuatu yang alami. Perempuan diyakini secara naluriah ingin memiliki dan membesarkan anak, sementara laki-laki tidak memiliki dorongan yang sama secara alami (Rousseau, 1762). Tetapi hal itu dibantah karena pada kenyataanya, Moko tak punya pilihan dan oleh karena itu, perbedaan gender didasarkan pada faktor fisiologis  (Feminist Perspectives on Reproduction and the Family2004)

Membangun Atmosfer Film yang Pro Gender

Berbeda dengan berkembangnya teori feminis dalam seni dan sastra, gerakan perempuan pada akhir 1960-an dan 1970-an memicu kajian kritis terhadap representasi dan keterlibatan perempuan dalam film. Dekade 1970-an melahirkan teks-teks berpengaruh dari penulis seperti Claire Johnston, Molly Haskell, dan Laura Mulvey di Inggris dan Amerika Serikat. Psikoanalisis menjadi pendekatan dominan dalam analisis film feminis, meskipun Marxisme dan semiotika juga memberikan pengaruh. Sementara itu, Yandy Laurens, melalui pengalaman ibunya sebagai orang tua tunggal, mengeksplorasi peran tersebut. Ia menyoroti dan memvalidasi perjuangan berat seorang individu yang harus menyeimbangkan tanggung jawab domestik, menghidupi keluarga, serta menopang perekonomian rumah tangga.

Sejak Netflix hadir dan membangun sistemnya untuk membentuk konten-konten cerita progresif, cerita-cerita kini tidak berkutat pada Laki-laki hero, wanita cantik yang menemani laki-laki, perempuan yang linglung—lelaki yang pahlawan, dan teman kulit hitam yang lucu. Sekarang, interseksionalitas jadi sorotan utama. Pengalaman valid perempuan dari ras yang terpinggirkan memiliki berbagai kedalaman cerita yang tidak bias, tetapi menarik untuk disoroti. Begitu pula dengan pengalaman laki-laki, 1 Kakak 7 Ponakan telah menguatkan narasi jika laki-laki tidak hanya melakukan hal-hal besar yang ditanggung, tetapi juga hidup dalam keseharian seperti orang lain yang hidup dengan berbagai permasalahan keluarga sehari-hari.

Keluarga bukan sebagai hak, melainkan tanggung jawab. Mungkin benar begitu, tetapi sebetulnya ada hal yang lebih alamiah ketimbang menyebutnya sebagai tanggung jawab. Mengerti bahwa seorang laki-laki muda seperti Moko harus berperan sebagai pengurus rumah tangga adalah hal yang seharusnya kita anggap lumrah. Moko, adalah sekian dari berbagai permasalahan Sandwich Generation yang harus menghidupi suatu keluarga meski itu bukan tanggung jawabnya.Saya teringat pada dialog dalam adegan cuci mobil otomatis;  “Berpikir bisa punya hidupku sendiri gitu kaya salah rasanya.” Scene tersebut punya banyak nilai filosofis. Pada wawancara di Rakki Creative Yandy Laurens mengandaikan begini; 

“kenapa idenya bungkus ke cuci mobil dan di tutup sabun tuh, itu adalah respon dari apa yang Maurin ceritain. Karena rasanya waktu bercerita nii tuh Darkest thought dari cerita tergelap (yang hanya bisa diungkap di momen seperti itu)”. 

Kompleksitas Pengasuhan dan Tuntutan Ekonomi yang Sering disalahartikan Akibat kurangnya Kita dalam Memahami Peran Gender

“Beberapa ribu kepala keluarga ketika ditanya, ‘ketakutan terbesar kalian apa?’ jawabannya cuma satu; tidak bisa menafkahi”

Kita telah terpisah pada alternatif pemikiran lain; seperti feminisme yang selalu dianggap pemikiran dari barat. Seolah-olah feminisme bukan milik kita. False belief (keyakinan yang salah) ini seakan menjadi tanggung jawab kolektif seorang Ayah di ranah keluarga. Yandy Laurens dalam podcast bersama Raditya Dika  mengungkapkan bahwa peran gender dalam suatu keluarga hari ini seolah-olah sulit untuk dikomunikasikan. Kita hidup di mana laki-laki dewasa pasti bekerja, dan perempuan dewasa pasti mengasuh. Kerapuhan yang dimiliki seorang Ayah adalah bahwa mereka merasa memiliki keluarganya tapi sulit untuk merasa dirinya dimiliki oleh keluarganya menjadi dampak dari retaknya hubungan suatu keluarga. 

“Keluarga bukan kelompok non politik,” (plato.stanford). Feminisme kontemporer menyoroti bahwa hukum memiliki peran mendalam dalam membentuk struktur keluarga, seperti yang terlihat dalam doktrin coverture (konsep hukum Anglo-Amerika yang mengatur status hukum perempuan saat menikah). Keluarga tidak hanya terbentuk secara alami, tetapi juga dipengaruhi oleh aturan hukum dan norma sosial. Di Amerika Serikat, misalnya, undang-undang negara bagian menentukan siapa yang dapat menikah, memiliki hak sebagai orang tua, bercerai beserta syarat-syaratnya, serta siapa yang berhak mewarisi harta. Banyak negara melarang pernikahan sesama jenis dan adopsi oleh pasangan gay, sementara di beberapa wilayah, anak perempuan sama sekali tidak berhak mewarisi harta, yang berdampak buruk pada kesejahteraan mereka. Secara keseluruhan, keluarga selalu berada di bawah regulasi negara, sering kali dengan cara yang semakin memperburuk ketidaksetaraan gender (Fineman, 1995).

Saya memiliki kebiasaan untuk membaca suatu forum tanya jawab di Quora, dan ada salah satu pertanyaan menarik yang disematkan oleh salah satu penulis asal India bernama Palkesh Asawa. Pertanyaanya berbunyi begini: 

Sebagai seorang feminis, apakah kamu setuju dengan pendapat bahwa anggota rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga?

Lalu Palkesh menjawab; TIDAK.

“Pertanyaan-pertanyaan semacam ini juga terus muncul. Saya bertanya-tanya mengapa? Apa susahnya memutuskan siapa yang harus bekerja di rumah tangga? Setiap rumah tangga berbeda dan pasangan harus memutuskan sendiri. Jika pasangan akan mengandalkan internet untuk membimbing mereka tentang apa yang harus mereka lakukan agar bisa bekerja sama secara kohesif, maka pernikahan itu akan hancur.” Terang Palkesh. 

Lebih-lebih, Palkesh menambahkan jika pernyataan semacam ini disampaikan dengan tujuan mendorong perempuan untuk menjalankan tugas domestik. Ini merupakan bentuk manipulasi terselubung yang bertujuan menciptakan ilusi pilihan, yang kemudian dapat digunakan untuk menekan kaum feminis dengan dalih bahwa keputusan tersebut diambil secara sukarela.

“Pekerjaan rumah tangga itu seperti makan dan buang air—tidak ada yang berarti atau mulia tentang hal itu, tetapi kamu harus melakukannya. Kamu tidak dapat tinggal di rumah jika tidak bersih—itu tidak berarti bahwa membersihkan rumah adalah tindakan yang sangat berharga. Itu adalah sesuatu yang dilakukan karena memang harus dilakukan.” tutupnya.

1 Kakak 7 Ponakan mengajarkan kita bahwa apapun pilihannya, keluarga bukanlah suatu hutang budi. Meskipun Moko (sebetulnya) tidak punya pilihan. Moko mungkin memiliki Savior Complex, sebuah dampak psikologis yang membuat seseorang selalu ingin membantu orang lain secara berlebihan—meski ia juga sesungguhnya membutuhkan bantuan. Tapi film ini diakhiri pada suatu kesimpulan pentingnya komunikasi dan relasi sehat yang berlandaskan dari kasih sayang dan kesediaan setiap anggota keluarga untuk terlibat mengurus rumah bersama-sama. Woko bekerja sebagai karyawan fotokopi; agar tidak menyusahkan Moko, Nina kuliah dan bekerja sebagai karyawan restoran cepat saji yang mewajibkan service marah-marah, Ano sempat diminta berhenti jadi kuli bangunan (demi kesehatan) dan bekerja di tempat lain, sementara Ais yang harus terpisah dari rumah; membuka warung Pop Ais (meski akhirnya ia kembali ke rumah Moko).

Suasana yang damai agar mereka bisa makan, membayar tagihan listrik, saling membiayai hidup mereka sendiri; adalah bentuk dari pentingnya komunikasi untuk membenarkan bahwa setiap orang tidak boleh untuk menanggungnya sendiri. Dan, perempuan seperti Maurin yang rela berjuang untuk dapat cinta dari Moko itu nyata, guys. 🙂

Note: “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” dan “Keluarga Cemara” bukanlah film tentang kekerasan berbasis gender, melainkan contoh serta rekomendasi film yang bagus. 

Sumber Gambar: instagram.com/Vbiz.co.id

Referensi:

[1] Desi Noviyani dkk. 2022. Beribu Surat Feminis : Antologi Surat Feminis Dari Indonesia. Diterbitkan oleh Peretas. 

[2] https://daily.jstor.org/feminist-film-theory-an-introductory-reading-list/

[3] https://www.instagram.com/reel/DFr0qOKP3aL/?igsh=dTVmbGpnZG5sNjh3

[4] https://plato.stanford.edu/entries/feminism-family/#1

[5]https://www.quora.com/As-a-feminist-do-you-agree-with-the-opinion-that-the-member-of-the-household-who-doesn-t-work-outside-the-home-should-do-all-the-household-chores

Kevin Alfirdaus
/ Published posts: 1

Penulis