589 views 10 mins 0 comments

Apa yang Salah dari Feminisme?

In Opini, Serba-serbi
January 27, 2025

“Perempuan belajar bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk perbaikan tatanan masyarakat yang lebih baik.”

Setiap tongkrongan, diskusi, dan guyonan, sering kali mendengar bahwa feminisme musuh dari laki-laki, dan hal tersebut diaminkan bagaikan doa yang tak pernah berhenti diucapkan dan menjadi kenyataan, bahwa seorang feminis anti-laki-laki. Dan itu menyebar ke penjuru pelosok negeri. Feminisme dianggap tak layak untuk dipelajari sebab perempuan akan membangkang terhadap laki-laki ataupun sistem yang berlaku. Tapi, apakah itu benar? Dan bagaimana akar dari lahirnya feminisme? 

Asal-usul feminisme 

Kata “feminisme” 10 tahun terakhir ini menjadi kajian yang tak henti untuk dipelajari, bahkan tak dimungkiri juga bahwa kata tersebut juga sebagai sebuah gerakan sosial untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Seyogianya feminisme lahir dari penolakan atas sistem patriarki mengenai subordinasi perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang paling lemah. Itulah sebabnya lahir diskriminasi berdasarkan seks dan gender di mana-mana. Perempuan terbatas dalam semua akses baik secara ekonomi, budaya, maupun politik. 

Dalam kajian barat yang termasyhur, gerakan feminisme bermula pada 1550-1700 di Inggris, yang menganggap perempuan sebagai makhluk kedua di antara jenis kelamin lainnya. Ditambah dengan ajaran gereja yang sangat maskulin yang membuat perempuan lemah di mata masyarakat. Walaupun di abad ke-17 ada beberapa gereja yang memberikan kebebasan perempuan untuk berkhotbah atau bernubuat. Akan tetapi, kelompok agama yang fanatik menolak berdirinya gereja tersebut. Alhasial, perempuan tak punya partisipasi dalam berdakwah, malah menjadikan mereka tak berdaya atas nama agama. 

Lambat laun kesadaran terus lahir dari pemikiran satu perempuan ke perempuan lainnya; hal tersebut bersamaan dengan perkembangan pencerahan di Inggris. Mulailah perempuan sadar bahwa sebagai masyarakat, mereka punya peran yang krusial mewujudkan keadilan dan kesetaraan sosial, seperti laki-laki. 

Perjuangan tersebut, dilanjutkan oleh Mary Wollstonecraft dengan tulisan yang berjudul The Vindication of the Rights of Woman (1792), dengan tulisan tersebutlah perempuan dapat merebut hak politiknya. Tulisan Mary menjadi salah satu terobosan baru dalam melahirkan gerakan feminisme modern, Mary berpendapat bahwa perempuan mesti punya bekal intelektual seperti laki-laki, agar mampu berkembang menjadi makhluk yang mandiri secara pemikiran, finansial, serta hak politiknya. 

Dari paparan yang singkat tersebutlah lahir sebuah gerakan feminisme yang terus berlanjut, untuk menciptakan masyarakat yang adil. Tentunya tidak hanya untuk perempuan saja, tetapi juga masyarakat secara luas. Lantas, apa yang salah dari feminisme? 

Salah Kaprah

Pada umumnya, ketidakpahaman mengenai asal-usul feminisme berujung menjadi cacat berpikir. Pengetahuan yang menyebar secara oral mendominasi sehingga dengan cepat menarik kesimpulan yang tak bermakna. Asumsi yang beredar: laki-laki adalah musuh feminisme. Padahal yang ingin disampaikan adalah nilai-nilai kemanusiaan dari feminisme itu sendiri. Mana mungkin antara nilai kemanusiaan dan kebencian bisa bersatu? Artinya, pemahaman itu mesti diluruskan sebelum menarik kesimpulan. 

John Seely pernah berujar, “Kita mempelajari sejarah untuk menjadi bijak terlebih dahulu.” Ketidakhadiran dalam mempelajari lahirnya feminisme membuat masyarakat pada umumnya menolak gerakan tersebut. Literasi yang rendah menjadikan “kita” dengan cepat memaknai suatu hal dibandingkan mengkaji secara mendalam mengenai feminisme. Apa yang sedang diperjuangkan? Bagaimana sejarahnya? Siapa aktor yang melahirkan gerakan tersebut?

Tapi, ini bukan salah laki-laki ataupun perempuan, melainkan atmosfer yang tak pernah terbentuk, khususnya di Indonesia, utamanya soal tradisi intelektual pro-gender. Absennya literatur yang berbau feminisme, serta aktor perempuan yang jarang terlihat dalam sejarah Indonesia menjadikan struktur pemahaman kita menganggap bahwa tidaklah penting mempelajari apa itu feminisme. 

Lihat saja kurikulum kita, sangat jauh dari pro-gender. Tokoh-tokoh yang dihadirkan paling banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Terkadang kita dengan cepat menarik kesimpulan bahwa laki-laki saja yang punya tugas berjuang dibanding perempuan. Padahal perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban yang sama untuk menata masyarakat yang lebih baik. 

Ditambah dengan sejarah kelam yang dimiliki Indonesia saat masa Orde Baru, yakni penghancuran gerakan feminisme yang tersistematis, para aktor perempuan berintelektual hilang, hingga yang tersisa hanya nama. Tidak hanya mereka yang hilang, tetapi pemikirannya pun terkubur. Beberapa yang bertahan adalah keajaiban dan ketangguhan hati untuk menuliskan bukti sejarah bahwa negara pernah dengan begitu kejam memberangus gerakan feminisme. Padahal masa itu adalah masa keemasan gerakan feminisme Indonesia. Perempuan lebih disibukkan dengan pengetahuan, dibanding fokus merias wajah untuk mengikuti standar publik yang ada. 

Lantas, gerakan feminisme itu terganti dengan organisasi milik pemerintah Orde Baru, yang membuat perempuan semakin tak punya arah dan di bawah bayang-bayang pemerintah yang maskulin. Pemerintah membangun pemahaman yang semakin kokoh bahwa perempuan adalah pendamping suami, perempuan bekerja hanya di rumah saja, tugas perempuan hanya mendidik dan membina anak. Hak politik, ekonomi, serta budaya secara cepat diberangus dan digantikan dengan tugas domestik. Akhirnya, perempuan tak bisa memaknai dirinya sebagai manusia secara sepenuhnya. 

Pemahaman tersebut mendarah daging sampai sekarang. Tentu, menjadi kewajaran bila perempuan pasca reformasi semakin menjadi-jadi dalam merebut hak politik, ekonomi, serta budaya. Sebab, perempuan sudah lama dipenjara oleh sistem yang membuat mereka tak berdaya. Pada akhirnya, banyak gerakan feminisme terfragmentasi dengan metode yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yakni mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. 

Menukil perkataan Charles Fourie, “Tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya kedudukan masyarakat itu.” Kalau kita ingin menyimpulkan dengan cepat, seyogianya gerakan feminisme berperan membentuk perempuan lebih berintelektual dan otonom atas dirinya. Tidak hanya untuk perempuan saja, tetapi juga untuk membentuk tatanan sosial masyarakat yang adil serta setara. Lantas, apakah benar gerakan feminisme anti-laki-laki? Bukankah keadilan dapat tercapai bila keduanya memperoleh hak dan kewajiban yang adil pula? 

Feminisme bukan Anti-laki-laki 

Narasi yang berkembang akhir-akhir ini menjadi sangat kacau dengan kondisi media yang makin tak beradab. Tokoh publik dengan lihai memperlihatkan ujaran kebencian dibandingkan dengan memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Tak heran bila dalam kehidupan sehari-hari keadaban sangat sukar ditemukan. Media sosial seharusnya memberikan kesadaran terkait pemahaman bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat memainkan peran dalam menata sistem sosial yang baik. Malah sebaliknya, media menjadi ruang saling serang, saling pamer, dan saling membenci. 

Menjadi sangat kacau bila tetap ada narasi bahwa seorang yang mendalami kajian feminisme dan terkadang juga disebut sebagai “feminis” dianggap tak butuh laki-laki. Bagaimana mungkin dalam mengatur ataupun mengubah tatanan masyarakat tak butuh seorang laki-laki. Memang dalam sistem patriarki perempuan sangatlah mengalami dampak atas sistem tersebut, semua akses terbatas disebabkan karena dia adalah seorang perempuan. Padahal jika kita mempelajari kembali bahwa sesungguhnya, laki-laki juga terdampak dari sistem tersebut. Laki-laki harus kuat, laki-laki tak boleh menangis, laki-laki harus punya kekayaan sebelum menikah, dan lain-lainnya. Itu terkadang pula menjadikan laki-laki tertekan dalam menjalankan sistem kehidupan masyarakat. 

Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa Marzoeki Mahdi, Nova Riyanti Yusuf, dalam media briefing ”Fenomena Bunuh Diri di Indonesia” di Jakarta, Senin (11/12/2023), mengatakan, angka kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri lebih banyak terjadi pada laki-laki. Mengutip data Estimasi Kesehatan Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2021, dari 6.544 angka bunuh diri di semua usia di Indonesia, sebanyak 5.095 kasus terjadi pada laki-laki. Hal tersebut sering kali membuat laki-laki menjadi kesulitan untuk mengeluarkan masalah emosi yang dimiliki. Percobaan bunuh diri akhirnya semakin terdorong untuk dilakukan. (Kompas, 2023)

Sistem patriarki memaksa laki-laki harus tangguh dalam menyelesaikan masalah dan tak boleh bercerita tentang masalahnya. Padahal bercerita juga menjadi salah satu cara meredam permasalahan yang terjadi. Artinya, sistem patriarki adalah musuh bersama yang mesti kita lawan dengan cara apa pun. 

Persoalan perempuan seyogianya, bukan soal perempuan saja, tapi soal sosial. Dan tak bisa hanya perempuan yang menyelesaikan, tapi membutuhkan pihak dari  jenis kelamin lainnya untuk merubah sistem yang lebih adil. Bebel pernah berujar, 

“ … bahwa soal perempuan bukan saja soal seks, melainkan soal sosial. Satu problem sosial soal perempuan bukanlah soal ‘perempuan karena perempuan’. Tetapi, soal proses pertumbuhan masyarakat. Soal perempuan tidak dapat dipecahkan, bila tidak dapat dipecahkan soal masyarakat seluruhnya. Soal perempuan itu bukan soal kaum perempuan sendiri saja. Tetapi, juga soal kaum laki-laki dan soal seluruh kemanusiaan.”

Oleh karena itu, gerakan feminisme membutuhkan laki-laki untuk membentuk atmosfer gender yang positif. 

Miri Pariyas
/ Published posts: 6

Redaksi Angkatsuara.id