183 views 10 mins 0 comments

Tudjimah: Pengelihatan Tak Berfungsi, Mata Hati Bermain

In Tokoh
May 14, 2024

Seorang tunanetra memang tak mampu melihat warna-warni kehidupannya, tapi mereka bisa merasakan, sebab yang terbuka adalah mata hati mereka.”

Tudjimah, mungkin namanya tak tersohor layaknya  para pejuang perempuan di negeri ini. Namun, kiprahnya tak diragukan lagi membuka tabir keberanian dalam mengambil ruang akademik yang kosong untuk peran perempuan. Bukti dari semangatnya menciptakan kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan dengan dikukuhkannya ia sebagai guru besar tetap Bahasa Arab dan Sejarah Islam Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) pada 1965. Kemudian, diberi gelar dengan nama “Prof. Dr. Tudjimah”. Perempuan yang lahir pada 7 Desember 1922 di Yogyakrat ini, menjadi salah satu perempuan pertama yang menjabat sebagai guru besar di UI (kompas.id). 

Terlahir dari Kemegahan Pengetahuan 

Tudjimah lahir dari keluarga ekonomi menengah ke atas, ayahnya seorang pedagang, namun kerabat ibunya banyak yang menjadi akademisi. Artinya, sejak dini seorang Tudjimah kecil telah mendapat hak istimewa dibandingkan dengan anak seumurannnya pada masa itu. Ia dengan mudah mendapat akses untuk dapat belajar. Ditambah dengan atmosfer cinta ilmu dari keturunan ibunya. 

Dalam pengasuhan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya ia selalu dekat dengan penghayatan bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa dunia yang membentuk watak intelektualitasnya secara lintas disiplin ilmu. Dukungan dari pihak kedua orang tuanya,  inilah yang mengantarkannya pada pendidikan yang sangat tinggi hingga menjadikannya sebagai guru besar. 

Semua proses pembelajaran baik dari tingkat dasar hingga strata satu ditempuhnya di Yogyakarta. Tingkat dasar di Neutrale Hollands Javaanse Meisjes School (1935) lalu berlanjut ke MULO (1939), HIK Muhammadiyah (1942), dan lulus sarjana di Fakultas Sastra Timur UGM angkatan pertama (1950). Selama menjadi mahasiswa di UGM, Tudjimah mulai menderita rabun malam, tapi tidak menyurutkan tekadnya menjadi intelektual-ulama (Alif.id). 

Selanjutnya, pada 1953 berbagai media memberitakan bahwa dua putri terbaik Indonesia akan diberangkatan ke Mesir untuk melanjutkan studi, salah satunya adalah Tudjimah. Keberangkatan dua perempuan itu, merupakan salah satu prestasi yang luar biasa terhadap perempuan untuk dapat melanjutkan pendidikan lebih tinggi hingga ke luar negeri.  

Jika menelisik secara mendalam, pada 1950-an itu memang menjadi momentum gerakan perempuan di Indonesia sedang bermekaran. Emansipasi perempuan menjadi bahan diskusi yang tak habis untuk dibahas, lalu dipraktikkan dalam kehidupan mereka. Bahkan kelompok, organisasi perempuan tumbuh dengan membawa isu berbeda, namun dengan titik tujuan yang sama yakni kesetaraan dan keadilan untuk para perempuan di Indonesia. 

Kembali pada kisah Tudjimah, yang melanjutkan karier akademiknya ke Universitas Indonesia di Jakarta dengan menempuh studi sastra dengan konsentrasi Sastra Arab sampai tingkat doktor (1961). Tudjimah menulis disertasi berjudul Asrarul Insan fi Ma’rifatir Ruh war Rahman (Rahasia Manusia dalam Pengetahuannya tentang Roh dan Tuhan). Tudjimah mengakui, “Bahasa Arab memang bidang yang saya geluti sejak bocah.” Bahasa Arab yang diwariskan dari orang tua menyambung ke bahasa Arab keilmuan akademik dengan penuh kesadaran dan tafsir sejarah (Alif.id). 

Artinya, peran sebuah keluarga yang harmonis dalam proses perkembangan anak sangat menentukan masa depan seorang anak. Sebab, keluarga merupakan agen sosialisasi primer. Apa yang dikatakan keluarganya didengar dan dirasakan, apa yang dilakukan akan dipraktikkan. Namun, keberhasilan dalam mengasuh anak juga tergantung dengan pola asuh yang diterapkan oleh keluarganya, khususnya orang tuanya. 

Kemahirannya Berujung Kebutaan

Tudjimah juga seorang pengajar yang sangat tekun dalam mempelajari bahasa Arab, baginya bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang memiliki banyak pengetahuan yang mengantarkannya mengenalkan ilmu-ilmu yang lainnya, khususnya Sejarah Islam. Tak hanya mendalami, tetapi juga menuliskan pemikiran-pemikan dalam sebuah buku, di antaranya: Al-Qur’an dan Ajaran-ajarannya; Khawaridj (1962), Riwayat Hidup Nur al-Din al-Raniri (1976), Perkembangan Tasawuf di Indonesia (1976). 

Kebanyakan orang hanya mengenalnya sebagai akademisi, padahal dia juga sangat aktif dalam kegiatan sosial. Rekam jejak berorganisasinya dilakukan di ‘Aisyiyah sebagai anggota Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Pengurus Perwakilan Istimewa PP ‘Aisyiyah di Jakarta. Selain itu, sebagai kontributor majalah internasional di Suara ‘Aisyiyah

Karena kemahirannya, dia pun sering kali menjadi pembicara di mana-mana baik di dalam kampus maupun luar kampus. Misalnya, pada 27 Oktober 1976 Tudjimah memberikan ceramah di Taman Ismail. Ceramahnya berisikan tentang sastra tasawuf yang dimotori oleh permintaan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tudjimah menceritakan sejarah sastra tasawuf yang dimulai dari masuknya Islam ke Nusantara di abad ke-13. Peradaban ini kemudian melebur bersama tradisi lokal membentuk kesusastraan baru yang saling berkelindan. Perkembangan sastra tasawuf terus berlanjut hingga abad-abad berikutnya (suaraaisyiyah.id).

Semangat yang menggelora membuat aktivitasnya dalam bidang akademik tak pernah padam. Walaupun sebenarnya, dia sedang mengalami rabun senja yang membuatnya sukar melihat keidahan huruf yang berjejer rapi nan indah untuk dibaca sebagai bekal dia menulis. Tepat pada 1981, Tudjimah kehilangan penglihatannya secara total. Namun, dengan keterbatasannya dia tetap melakukan aktivitas akademiknya dan terus melakukan penerjemahan terhadap referensi sejarah Islam. 

Mata Boleh Tak Melihat, Tapi Spirit Tetap Sama  

Orang-orang berkata, mata adalah organ yang sangat vital. Tanpa mata, seorang insan tak bisa melihat keindahan, tanpanya tak bisa mendeskripsikan keindahan yang ada. Namun, berbeda dengan Tudjimah, penglihatannya tak lagi berfungsi, tak bisa lagi melihat keindahan dalam pengertian manusia pada umumnya. Akan tetapi, keindahan yang sesungguhnya diciptakan oleh dirinya sendiri, dia melihat dengan mata hatinya, menemukan keindahan dalam setiap pengertian yang dia miliki, sebagai salah satu manifestasi rasa syukur terhadap apa pun yang ditakdirkan kepada dirinya. 

Teringat perkataan Helen Keller—seorang perempuan pertama yang tunanetra dan tunarungu, namun berhasil menjadi seorang penulis, aktivis politik beraliran sosialisme, dan dosen. Dia pernah berkata “Hal-hal yang terbaik dan terindah di dunia ini tidak bisa dilihat dan disentuh, semua harus dirasakan dengan hati.”

Berapa banyak orang yang pengelihatannya normal, namun diam tatkala terjadi ketidakadilan. Bukankah mendiamkan ketidakadilan yang terjadi sama dosanya seperti melakukan? Apakah mata hanya berfungsi untuk melihat keindahan saja? Berapa banyak orang yang penglihatannya normal, namun lihai dalam melakukan ketidakadilan. Berapa banyak orang yang sering kali menggunakan mata hanya sekadar untuk kesenangan dirinya saja, dia melihat hanya untuk dirinya saja. Artinya, penglihatan sesungguhnya adalah mata hati itu, mata hati yang telah sadar akan fungsi menjadi manusia yang sesungguhnya. Manusia yang peka terhadap sesamanya, manusia yang bijak dalam berkata dan bertindak. Seperti halnya, Tudjimah dan Hellen Keller yang penglihatan tak lagi berfungsi, namun mata hatinya berfungsi. 

Dikutip di Alif.id, Tudjimah berkata bahwa “Yang saya lakukan adalah mencoba untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang ini,” cerita Tudjimah perihal aktivitasnya setelah gangguan total penglihatan.

Memanag tidak ada pilihan lagi selain menyesuaikan diri tanpa menghardik takdir yang hadir untuknya. Segala aktivitasnya tetap berjalan seperti biasanya, dia tetap menulis, dia tetap membaca, dia tetap menerjemahkan, dan dia tetap mengajar dengan dibantu asisten dan mahasiswa. Tudjimah mendapatkan spirit itu dari Thaha Husain, intelektual Mesir yang karyanya ia terjemahkan, yang kondisinya serupa sepertinya tak dapat melihat apa pun. 

Sebenarnya, apabila niat dalam hati telah ditata dengan begitu baik, apa pun yang terjadi dengan kondisi bagaimana pun seyogianya kebaikan itu akan terus terjadi. Sebab, mata hati telah menemukan keindahan dalam dimensi maknanya. Semua keterbatasan menjadi suatu hal yang tak lagi terbatas, bahkan malah akan menjadi energi untuk menuntun kepada kebaikan berikutnya.

Hal itu terjadi kepada Tudjimah, Hellen Keller, dan Thaha Husain, yang menyulap keterbatasan penglihatan menjadi sebuah kenikmatan dan keajaiban yang luar biasa. Mereka tetap melakukan aktivitas sosial, aktivitas intelektualnya bahkan melampaui orang-orang yang diberikan penglihatan yang normal. Mereka mengubah sudut pandang yang dominan mengenai tunanetra. Bahkan mereka hidup bukan untuk dirinya saja, tapi untuk semua orang. Dia tak lagi memikirkan eksistensinya saja, tetapi eksistensi banyak orang. Bagiamana manusia hidup dengan bahagia, sejahtera, dan adil tanpa diskriminasi yang ada. 

Secara sederhana, “Pengelihatan Tak Berfungsi, Mata Hati Bermain” kira-kira itulah pesan untuk menutup artikel ini. 

Daftar Pustaka

Adib Sofia. 9 Desember 2021. Mengenal Tudjimah, Intelektual Perempuan Muslim Indonesia. https://suaraaisyiyah.id/mengenal-tudjimah-intelektual-perempuan-muslim-indonesia/, diakses pada 7 Mei 2024. 

Nadhifah Mutimmatun. 13 November 2018.Mengenal Tujimah Ulma Perempuan Indonesia. https://alif.id/read/mutimmatun-nadhifah/mengenal-tudjimah-ulama-perempuan-indonesia-b212981p/, diakases pada 13 November 2024. 

Nara Nasrullah. 27 November 2024. Pembuktian Kaum Hawa di Dunia Akademis. https://www.kompas.id/baca/arsip/2019/11/27/pembuktian-kaum-hawa-di-dunia-akademis, diakses pada 7 Mei 2024. 

Miri Pariyas
/ Published posts: 5

Redaksi Angkatsuara.id