211 views 7 mins 0 comments

Partisipasi Semu dalam Kuota Afirmatif Perempuan di Indonesia

In Opini, Serba-serbi
February 08, 2024

Fenomena perempuan yang hanya dijadikan sebagai pengisi kuota keterwakilan 30% partai politik dalam kontestasi politik di Indonesia saat ini marak dilakukan. Miris dan sangat buruk untuk dilihat tentunya. Kaum perempuan yang masuk dalam kategori kelompok rentan malah justru diperalat hanya untuk memenuhi hasrat suatu partai dalam menjalankan misinya untuk memperoleh kekuasaan. Teori mengenai demokrasi, partisipasi politik, dan pemilu memiliki peran yang sangat besar, sehingga keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik merupakan suatu kebutuhan esensial. Realitas politik di berbagai negara, termasuk Indonesia, perlu melibatkan seluruh segmen masyarakat, termasuk perempuan, walaupun terdapat permasalahan terkait peran dan posisi gender antara laki-laki dan perempuan. Kehadiran perempuan dalam ranah politik menjadi sangat penting karena berkontribusi dalam menentukan arah kebijakan politik yang mempengaruhi nasib mereka sendiri. Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar konstitusi negara memberikan kesempatan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan tanpa memandang jenis kelamin, kenyataannya profil perempuan Indonesia saat ini dapat dijelaskan sebagai individu yang menghadapi situasi dilematis, karena adanya persepsi yang menempatkan perempuan pada peran sekunder setelah laki-laki.

Indonesia telah mengambil beragam langkah untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses pemilihan umum. Salah satu upaya signifikan yang dilakukan adalah melalui regulasi yang mengatur alokasi representasi perempuan di berbagai tingkatan pemerintahan. Di tingkat nasional, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi salah satu peraturan yang mengatur keterwakilan perempuan. Undang-undang tersebut menetapkan persyaratan bahwa minimal 30% dari total anggota parlemen harus diisi oleh perempuan.

Namun, secara praktis, pencapaian target ini dapat bervariasi tergantung pada hasil pemilihan yang berlangsung. Selain itu, terdapat peraturan yang mengatur keterwakilan perempuan dalam pemilihan kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan walikota, yang mendukung upaya ini. Beberapa provinsi bahkan memiliki regulasi yang mewajibkan adanya keterwakilan perempuan dalam struktur pemerintahan daerah. Dalam pemilihan umum untuk anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD), partai politik diwajibkan untuk menyertakan minimal 30% kandidat perempuan dalam daftar calon yang mereka ajukan. Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa partai politik memberikan peluang yang setara bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Meskipun sudah ada regulasi yang mendukung keterwakilan perempuan dalam pemilihan umum, tantangan tetap ada dalam mencapai keterwakilan yang lebih merata. Faktor-faktor seperti budaya patriarki, keterbatasan sumber daya, dan hambatan sosial masih mempengaruhi partisipasi aktif perempuan dalam dunia politik.

Tahun 2019 menjadi momen penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, menandai dua puluh tahun sejak pelaksanaan pemilihan demokratis pertama dalam era reformasi. Pemilu tersebut menjadi yang pertama mencapai angka lebih dari 20 persen perempuan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia, dengan 120 dari 575 kursi DPR (20,9 persen) diisi oleh perempuan. Ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan pemilu pasca-otoritarianisme pertama pada tahun 1999, di mana hanya 8,8 persen perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR. Meskipun telah ada perjuangan yang panjang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan sejak saat itu, hasilnya masih belum memuaskan. Di tingkat provinsi, keterwakilan perempuan di parlemen masih di bawah rata-rata nasional, sekitar 18 persen, mengalami kenaikan kecil dari 16 persen pada tahun 2014. Sementara di tingkat kabupaten, persentasenya meningkat dari kurang dari 14 persen menjadi sedikit di atas 15 persen.

Menurut data dari Inter-Parliamentary Union pada akhir tahun 2019, rata-rata representasi perempuan di majelis rendah parlemen secara global adalah 24,6 persen, sedangkan di Asia sekitar 20,1 persen, dengan Indonesia mencapai 20,9 persen dan menempati peringkat 120 dari 187 negara. Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan perolehan kandidat perempuan di Indonesia dalam siklus pemilu terakhir adalah penerapan lebih ketat terhadap kuota 30% kandidat perempuan yang sah. Indonesia mengenalkan kuota 30% calon perempuan pertama kali pada pemilihan umum 2004. Meskipun pada awalnya partai politik hanya diminta untuk mempertimbangkan mencalonkan perempuan setidaknya 30% dari kandidat mereka tanpa sanksi ketat, respons dari partai politik terbilang biasa-biasa saja. Sebagian besar partai berusaha mematuhi aturan tersebut, namun sering kali melakukannya dengan mencalonkan perempuan yang memiliki hubungan keluarga dengan politisi laki-laki dan pejabat partai. Dalam beberapa kasus, perempuan bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah diajukan sebagai kandidat.

Praktik lain yang menunjukkan kepatuhan semu adalah adanya kebijakan yang umumnya diterapkan, menempatkan perempuan pada posisi daftar calon yang sulit untuk dimenangkan. Dalam sistem pemilu proporsional multipartai di Indonesia, jarang terjadi bahwa satu partai politik mendapatkan lebih dari dua kursi, sehingga posisi di urutan bawah daftar calon cenderung sulit untuk berhasil. Sebagai contoh, pada pemilihan umum 2009, sekitar 85% dari calon legislatif laki-laki yang berhasil dan 73% dari calon legislatif perempuan yang berhasil menempati peringkat pertama atau kedua.

Peran perempuan di partai politik diharapkan mengapresiasi untuk semangat para perempuan benar benar menekuni dunia politik agar terciptanya perubahan yang berarti dalam kebijakan-kebijakan di negara. Sebab itu, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sangat dirasakan belum berimbang dan kebijakan-kebijakan masih dibuat oleh kaum laki-laki yang kurang berperspektif gender, sehingga kebijakan yang dihasilkan seringkali bias gender dan tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan.

Untuk mengatasi masalah kurangnya representasi perempuan dalam parlemen, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Upaya ini dapat melibatkan kampanye edukasi, tindakan afirmatif, penguatan kapasitas perempuan, dan perubahan budaya menuju inklusivitas terhadap perempuan dalam ranah politik. Di dalam Konstitusi Indonesia, telah diatur mengenai keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif melalui sejumlah undang-undang dan ketentuan. Salah satu aspek penting terkait keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun tidak secara langsung menyebutkan mengenai keterwakilan perempuan, beberapa pasal dan ketentuan dalam UUD 1945 telah menjadi dasar hukum untuk mengatur keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Sudah seharusnya memberikan proporsi yang seimbang bagi peran perempuan Indonesia dalam arena politik. Tidak seharusnya ada keraguan terhadap kemampuan mereka untuk berpartisipasi di dunia politik. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan yang mendukung kebijakan pemerintah yang memperhatikan aspek keadilan gender.

Sumber gambar: Freepik.com

Muhammad Rizqi
/ Published posts: 1

Pegiat Sosial