186 views 5 mins 0 comments

Tubuh Perempuan: Awal dari Sebuah Kebebasan

In Opini, Serba-serbi
January 31, 2024

Seorang penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer pernah menulis tentang bagaimana seharusnya seorang terpelajar harus “Adil Sejak dalam Pikiran”, sebuah kata yang menuntut bagi seseorang yang telah berwawasan untuk memiliki pola berpikir yang adil agar ilmunya dapat menjadi sarana untuk membebaskan dirinya dan orang lain dari segala bentuk pengekangan. Kata-kata tersebut seharusnya berlaku tanpa syarat bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Namun, bagi perempuan ada satu syarat lagi yaitu “Pengetahuan Terhadap Otoritas Tubuh adalah Awal Mula Kemerdekaan Bagi Perempuan” 

Persyaratan tersebut bukan untuk menyematkan bias berupa beban ganda terhadap perempuan, namun lebih dari itu, pemahaman terhadap otoritas tubuh bagi perempuan merupakan sebuah hal yang cukup sulit bagi mereka. Hal tersebut terjadi bukan karena mereka terlahir sebagai perempuan, tapi bagaimana dunia memandang, menilai dan merepresentasikan perempuan adalah penyebab utama bagi mereka untuk kesulitan memahami, mengafirmasi lalu mengumumkan kepada dunia bagaimana otoritas tubuh mereka. 

Status Quo merepresentasikan bagaimana perempuan hari ini sudah merdeka dan memiliki kebebasan dengan dalih mereka sudah diberi kebebasan untuk bersekolah dan bersaing di ranah publik. Nyatanya, kedua hal tersebut tidak sepenuhnya menjadikan perempuan memiliki kesadaran yang utuh, manusia yang mampu merepresentasikan dirinya dengan kesadaran dan memanifestasikan hidupnya dengan pilihan-pilihan tanpa intervensi. Memang, kebebasan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan layak dan bersaing dalam dunia profesional adalah hasil dari perjuangan Gerakan Perempuan, namun tidak mengartikan bahwa perjuangan perempuan sudah selesai. 

Kebebasan akses yang kembali didapatkan perempuan setelah perjuangan Panjang merupakan sebuah babak baru, di mana bentuk perjuangan tersebut bukan lagi untuk menuntut kembali hak-hak mereka. Tetapi, perjuangan tersebut berupa upaya untuk terus membangun kesadaran bahwa mereka adalah manusia utuh yang tidak dapat dibentuk oleh segala sesuatu di luar diri mereka. Salah satunya adalah, tentang otoritas tubuh berupa hak dan batasan yang dibuat oleh perempuan sendiri. 

Berbicara tentang otoritas tubuh dalam gerakan perempuan sering kali dianggap sebagai topik yang kaku dan monoton. Namun, nyatanya segala sesuatu tentang perempuan merupakan hal yang menarik bagi dunia untuk membicarakannya. Perlu kiranya, membangun sebuah persepsi bahwa kemerdekaan perempuan dimulai dari kesadaran akan kemerdekaan terhadap tubuh mereka. Sebab, tanpa kesadaran tersebut, lagi-lagi perempuan akan terus menjadi objek dari setiap dominasi yang ada di dunia ini. Maka, kata berdaya dan memberdayakan hanya akan terus dibajak sebagaimana kapitalisme membajak definisi perempuan berdaya melalui produksi dan reproduksi. 

Jumlah perempuan yang mengalami kekerasan verbal maupun non-verbal, memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan lelaki. Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlah kasus kekerasan di tanah air mencapai 27.589 kasus dengan rincian 4.634 korban laki-laki (20,1 persen) dan 25.050 korban perempuan (79,9 persen). Hal tersebut terjadi, bukan karena perempuan dengan suka rela berada di posisi tersebut, akan tetapi dikarenakan perempuan terlalu takut untuk mengungkapkan hak dan batasan yang mereka miliki. Lalu, yang lebih menakutkan lagi adalah respon dunia Ketika perempuan lantang berbicara tentang batasan tubuh mereka. Seperti halnya saat perempuan lantang berbicara tentang bagaimana ia merasa risih saat seseorang menyentuh salah satu bagian tubuhnya tanpa persetujuan. Mengutip pendapat Johan Galtung, bahwa yang dinamakan kekerasan adalah saat seseorang merasa salah satu haknya telah dilanggar/diambil. Maka, dari pendapat tersebut dalam banyak kasus kekerasan, perspektif korban menjadi penting untung didengarkan.

 Selanjutnya, kita tidak akan bisa berbicara tentang apa itu kebebasan bagi perempuan untuk diberikan kesempatan di berbagai sektor tanpa adanya kesadaran yang utuh bahwa berbicara kebebasan perempuan adalah kebebasan mereka untuk mengungkapan dengan lantang tentang hak dan batasan tubuh yang mereka miliki. Dalam rangka menuju kesadaran tersebut, perlu kiranya perempuan terus bersinergi bahwa setiap perempuan memiliki hak dan batasan yang sama tentang otoritas tubuh mereka. Hal ini, bukan untuk mempersempit gerakan perempuan hanya menjadi tugas kaum perempuan, tetapi sebagai sebuah afirmasi bahwa hanya perempuan yang paling mengerti tentang pengalaman tubuh sesama perempuan. 

Sumber gambar: freepik.com

Athiyah
/ Published posts: 1

perempuan biasa yang percaya bahwa feminisme merupakan bagian dari alternatif perubahan sosial. follow me on instagram: @thithiyah