245 views 9 mins 0 comments

Gagasan Maria Ulfah Ihwal Hak Pilih Perempuan

In Tokoh
January 23, 2024

“Hak pilih perempuan adalah hak pilih untuk mencapai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Tanpa adanya hak pilih perempuan, negara ini pincang sebab kehilangan marwah sebagai awal prinsip didirikan suatu negara.” 

Lika-liku hak pilih bagi perempuan di berbagai penjuru dunia selalu mengalami gelombang kesulitan. Bersamaan dengan tercapainya tujuan politik, tak dapat dipungkiri akan menemukan rintangan pula di kemudian hari. Kondisi ini selalu berkaitan dengan belenggu kultur yang masih bersifat patriarki. Namun, keniscayaan dalam melakukan perlawanan mesti dilakukan untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil tanpa mengenal jenis kelamin. 

Sama halnya dengan apa yang telah dilakukan oleh Maria Ulfah. Ia merupakan salah satu tokoh perempuan yang menjadi tonggak lahirnya kesempatan hak pilih terhadap perempuan di Indonesia. Kendati demikian, pemikirannya masih sangat jarang dibicarakan dan dikenal oleh khalayak. Padahal untuk menyambut perhelatan politik Februari 2024 ini, gagasan ihwal perjuangan perempuan di dalam politik sangat penting untuk didiskusikan. Memunculkan gagasan tersebut dapat menjadi suatu pantikan untuk kembali melahirkan tokoh, seperti Maria Ulfah selanjutnya—terlebih soal gagasan mengenai keterlibatan perempuan dalam kontestasi politik di masa kini. 

Maria Ulfah atau yang akrab disapa Itje, lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911. Maria merupakan perempuan yang dibesarkan dalam keluarga yang berlimpah ilmu. Tak heran apabila Itje memiliki kesadaran yang berbeda dengan perempuan lainnya, terkhusus soal masa depan perempuan. 

Sejarah juga mencatat bahwa Itje merupakan salah satu dari anak pejabat, yaitu Bupati Kuningan yang eksis pada masa pendudukan Belanda. Sebagai anak kaum priyayi, tentu mengenyam pendidikan merupakan sebuah privilese baginya. Dengan demikian, menjadi suatu kewajaran apabila Maria Ulfa akan menjadi perempuan Indonesia pertama yang memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) (Sarjana Ilmu Hukum) dari Universitas Leiden.

Seorang Mahasiswa Hukum 

Sejak menjadi mahasiswa hukum, dia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan di Indonesia, seperti Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Agus Salim. Akan tetapi, yang memiliki pengaruh besar mengenai kepiawaian dalam memandang suatu hal dan dekat dengan Maria adalah Sjahrir. 

Sjahrir mendidik Maria secara ideologis dengan begitu intens. Tak hanya itu, Sjahrir juga mengajaknya dalam berbagai rapat-rapat politik, yang membuat perempuan ini kelak akan menjadi menteri perempuan pertama di Indonesia. Dengan demikian, seyogianya kita bisa belajar dari peran Sjahrir dalam membentuk suatu atmosfer pro-gender tak hanya sekadar memberikan tempat kepada perempuan dan mengklaim dirinya pro-terhadap perempuan. Akan tetapi, lebih daripada itu, apabila ingin menciptakan suatu kondisi yang adil maka perempuan juga turut andil dalam proses awal pendidikan politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sjahrir. 

Bagi Maria Ulfah, Sjahrir adalah—guru baginya. Dari Sjahrir pula, Maria secara lihai dapat memaknai arti nasionalisme dan perjuangan secara radikal. Hasil pembelajarannya pun dipraktikkan dalam bentuk pergerakan yang nyata, misalnya menjadi anggota BPUPKI jelang kemerdekaan, walaupun hanya sekadar menjadi anggota, namun semua tenaga dan pikirannya tercurahkan dalam proses persiapan kemerdekaan. Dikutip pula pada website mojok.com dengan judul “Mengenal Maria Ulfah (Bagian I): Perjuangkan Hak Pilih Perempuan Indonesia”, yang menuliskan bahwa Maria Ulfa merupakan salah satu anggota BPUPKI yang sukses dalam memasukkan Pasal 27 UUD 1945 tentang “kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian”. Karena itu pula, yang menjadikannya menjadi promotor penggerak gerakan perempuan di Indonesia. 

Mulanya, Maria dianjurkan oleh keluarganya untuk mengambil jurusan kedokteran, namun baginya hal tersebut tak cocok dengan kepribadiannya yang pandai berbicara dan mahir dalam mengukapkan pendapatan. Keputusan untuk mengambil pilihan jurusan hukum terinspirasi dari pengalamannya. Dia melihat langsung, tatkala bibinya bercerai dari suaminya, lalu dikembalikan ke rumah keluarganya, lantas Sang Suami dengan cepat menikah lagi dengan perempuan lainnya. Saat itu pula, hatinya tergerak dan sangat ingin menjadi ahli hukum untuk menaikkan derajat perempuan akan lebih beradab. 

Banyak hal yang telah dilakukan oleh Maria dalam gerakan perempuan. Misalnya pernah terpilih menjadi anggota Rancangan Peraturan Perkawinan sebagai cikal bakal UU perkawinan pada Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938. Selain itu, Penyandang Bintang Mahaputera Utama juga menjadi salah satu penggagas lahirnya hak pilih aktif bagi perempuan di Indonesia. 

Gagasan itu Bernama Hak Pilih bagi Perempuan 

Jika tak ada perwakilan perempuan di parlemen, apakah dapat merubah sistem yang masih tak adil, tak berkemanusian, tak setara terhadap perempuan? Jika tak membutuhkan peranan perempuan dalam parlemen apakah benar-benar dapat membawa perubahan atas ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan?

Barangkali itulah hal yang akan menjadi kelusuh-kelasah dalam jati diri dari perempuan yang memiliki nama lengkap  Mr. Hj. Raden Ayu Maria Ulfah. Baginya perempuan juga harus berada dalam sistem akan mampu mengubah kondisi perempuan. Oleh karena itu, Maria sangat getol dalam memperjuangkan hak pilih terhadap perempuan.

Pada masa Hindia-Belanda tepat sebelum 1937,  Dewan Rakyat (Volksraad) diduduki oleh laki-laki tanpa ada satu pun keberadaan perempuan di sana baik tingkat nasional dan dewan-dewan perwakilan daerah. Di pulau Jawa dewa-dewan perwakilan daerah terdiri atas provincialeraad (dewan provinsi), regentschapsraad (dewan kabupaten), dan gemeenteraad (dewan kota). Akan tetapi, pada 1938 pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk pertama kali membuka keanggotaan Gemeenteraad untuk perempuan. Hal tersebut menjadi angin segar bagi aktivis perempuan kala itu. 

Kabar gembira itu pun, sampai ke telinga para aktivis perempuan, dengan gerakan yang cepat mereka melakukan konsolidasi besar-besaran untuk merespons kabar tersebut; sehingga mereka melakukan pertemuan untuk memberikan penjelasan ihwal hak perempuan tersebut. Pertemuan dilakukan pada 3 Juli 1938 di Jakarta. Saat itu pula. Maria Ulfah diminta untuk berpidato mengenai hak pilih tersebut. 

Dalam pidatonya Maria menyambut hangat kebijakan hak pilih pasif, namun juga mengkritik keputusan tersebut. Baginya hal tersebut sama saja tak memiliki kekuatan untuk menempati posisi dewan bagi perempuan. Sebab, perempuan belum memiliki hak aktif secara keseluruhan hingga membatasi ruang lingkup gerakan untuk mencapai perubahan yang diimpikan. 

Bahkan dalam pidatonya, yang juga memberikan perbandingan dengan negara lain, salah satunya adalah Belanda yang telah mendapat hak pilih aktif baik bagi perempuan maupun laki-laki pada 1919. Dengan demikian, Maria tetap mendorong hak aktif agar perempuan dapat memilih dan pilih dalam perebutan kekuasaan Gemeenteraad. Pemikiran tersebut pun sejalan dengan perwujudan kedaulatan rakyat di Indonesia yang diakui dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. 

Pidato tersebut, tersebar ke penjuru Nusantara, pidato yang untuk pertama kalinya membahas hak pilih perempuan yang disampaikan oleh perempuan pula. Dari percikan pidato Maria, perlahan perempuan Indonesia sadar dan menemukan kemenangan kecil. Salah satunya adalah terpilihannya tiga orang perempuan dalam anggota gemeenteraad pada Agustus 1938, di antaranya Emma Poeradiredja (Bandung); Ny. Soenarjo Mangoenpoespito (Semarang); dan Ny. Soedirman (Surabaya).  Walaupun hal tersebut belum bisa menyebar ke seluruh kota di Indonesia.

Maria Ulfah tak pernah letih dalam menyebarluaskan gagasan ihwal pilihan aktif untuk perempuan. Hal tersebut pun disampaikan pada Kongres Perempuan IV pada 25-28 Juli 1941 yang melahirkan keputusan penting yakni pemberian hak kepada perempuan untuk memilih Dewan Rakyat dari golongan Indonesia.

Terdengus oleh kalangan aktivis politik golongan Indonesia, sehingga memberikan dukungan tentang wacana tersebut. Namun, pada 20 September 1041 pemerintah Hindia-Belanda kembali melunak dan menyetujui keputusan tersebut. Walaupun sempat terjadi perdebatan yang sangat sengit antara pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan pemerintah golongan Indonesia. 

Mereka bersepakat bahwa seluruh perempuan mendapat hak pilih aktif sebagai pemilih dalam pemilihan anggota Gemeenteraad pada 1942. Walaupun begitu, hal tersebut tak pernah terjadi karena pemerintah Hindia-Belanda menyerah kepada sekutu yakni Jepang. Walaupun Maria Ulfah tak pernah terpilih menjadi dewan di pemerintahan Hindia-Belanda. Namun, namanya harum hingga membangkitakan semangat juang terhadap gerakan perempuan di Indonesia, khususnya peranan perempuan dalam kancah politik. 

Sumber Gambar: https://womenlead.magdalene.co/