170 views 4 mins 0 comments

Salah Kaprah Memaknai Feminisme 

In Opini, Serba-serbi
January 13, 2024

 Ucapan yang sering keluar dari mulut kaum patriarki yang dangkal akan pengetahuan, kerap berdalih, “Tugas utama perempuan hanya ada tiga, pertama adalah di sumur, di kasur, dan di dapur.” Ketika perempuan tidak melaksanakan kewajiban ketiga hal tersebut, sering kali kaum patriariki mengatakan atau men-judge “Perempuan Nakal”

Hal serupa juga penulis acap terdengar di bangku sekolah atau bahkan pengguruan tinggi, “Jangan dipimpin oleh perempuan karena perempuan adalah mahluk yang lemah!!!” Tentu, perkataan tersebut membuat penulis merasa risih. Apakah orang berkata sedemikian rupa, tak pernah mengingat perjuangan ibunya? Atau ada yang salah dalam pikirannya hingga membuatnya lihai berkata yang serupa?

Jika ingin kembali mengingat peran ibu bagi kehidupan kita, tentu akan menyimpulkan bahwa perempuan amat sangat kuat, berani, dan mampu memikul beban amat besar, seperti melahirkan, membesarkan, dan merawat anaknya. Sehingga, membuat penulis kembali bertanya, “Apa Relevansinya antara jenis kelamin dengan kualitas kepemimpinan?” Sebab, kualitas kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Pemikiran ini harus dirubah dalam mindset kita bersama, terutama para kaum patriarki. 

Pandangan seperti ini akan selalu ada dalam pikiran seorang patriarki, sebab telah tertanam sejak lama di lingkungan yang tidak responsif gender. Penulis teringat kisah yang diceritakan Soekarno dalam bukunya yang berjudul Sarinah, diceritakan bahwa Sekarno bersama kawanya berkunjung kepada teman lamanya, dia mempunyai rumah dan toko kecil. Setelah sampai di rumah kawannya, mereka berbincang-bincang. Seorang istri dari kawan Soekarno menanyakan kepada tuan rumah, keberadaan istirnya tuan rumah sebab ingin berkenalan. Namun, tuan rumah tersebut menjawab istrinya baik-baik saja dan sedang merawat orang yang sakit. 

Akan tetapi, tak sengaja Soekarno melihat tabir yang tergantung di pintu yang kaki seorang perempuan. Setelah berbincang-bincang seperlunya Soekarno pun pamit pulang, namun sejak peristiwa itu, membuat pikirannya tergangu ihwal semua persoalan perempuan. Bagaimana keadilan negeri ini tercapai, bila perempuannya tak merdeka?

Seorang wanita haruslah merdeka atas dirinya sendiri jangan beranggapan di kepalanya bahwa tugas wanita hanya untuk di sumur, di kasur, dan di dapur. Kajian feminisme adalah salah satu cara untuk para perempuan terangsang akalnya dari perbudakan kaum patriarki. Namun, terkadang kita keliru memahami ajarannya, banyak yang beranggapan bahwa feminisme itu jauh dari nilai-nilai keluarga. Selain itu, banyak yang beranggapan kalau perempuan cenderung melawan, ketika mereka memahami feminisme, terkadang terdapat anggapan lain bahwa ketika perempuan memahami feminisme tidak mau mengurus rumah tangga. 

Asumsi demikian dijawab dengan tegas oleh Dea Safira dalam bukunya yang berjudul “Membunuh Hantu-Hantu Patriariki”, beliau berpendapat bahwa semua perjuangan feminisme sebetulnya untuk nilai-nilai keluarga yang lebih baik. Feminisme menginginkan akses kejehateraan keluarga yang bisa diperoleh dengan mudah.

Memang tidak mudah seperti membalikan tangan mengenalkan gerakan feminisme ini ke khalayak, ada saja badai yang menerjang baik dari keluarga, orang tua maupu dari famili. Biasanya, mereka “kata” orang yang belajar faminisme melanggar norma. Seyogianya, gerakan feminisme memiliki nilai-nilai yang dapat menjadi elan vital perubahan.

Dengan demikian, membicara wacana faminisme baik dalam lingkup agenda terkecil maupun agenda besar, seperti membicarakan atau mendiskusikanya di warung kopi, dan mengadakan seminar feminisme. Konsep ini sangat relevan tak lekang oleh zaman karena konsepsi-konsepsi tentang feminisme ini akan selalu mengikuti zaman karena terdapat proses dialektika oleh karenanya terdapat teori-teori dan gerakan-gerakan baru sesuai kebutuhan zaman.


Sumber gambar: Freepik.com

Aldi Yudistira
/ Published posts: 1

Mahasiswa Megister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro