327 views 9 mins 3 comments

Tradisi Ra’as, Perempuan, dan Perjodohan

In Opini, Serba-serbi
November 06, 2023

Aku terlahir di pulau terpencil yang dikelilingi lautan. Mereka memberi nama pulauku dengan nama “Ra’as”. Mungkin kebanyakan orang tak mengetahui ihwal pulauku itu. Namun, terlepas dari pada itu, bagiku Ra’as adalah pulau unik dan sangat estetik. Unik dengan segala budaya dan tradisinya; dan juga estetik dengan panorama alam yang masih perawan nan indah. Karena kecintaanku pada Ra’as izin aku menulis sepenggal kisah tentang Tradisi Ra’as, Perempuan, dan Perjodohan, yang secara logika aku masih mempertanyakan semua tentang itu. 

Di masyarakat perempuan selalu dinilai lemah, melankolis, dan tidak berhak atas pendidikan tinggi dan juga karir. Karena mereka beranggapan bahwa perempuan hanya pantas sebagai pengurus rumah tangga dan asuh-pengasuhan. Entah, anggapan dari mana? Namun, sebenarnya hal tersebut melemahkan posisi perempuan untukberkembang dalam segala bidang.

Banyak di antara mereka orang orang pulauku yang mencibir ketika perempuan memiliki pendidikan tinggi, “Moang moang pesse, dekkik pakkun neng edepor (Buang-buang duit nanti ujung ujungnya ada di dapur).” 

Aku sebagai seorang perempuan menantang keras tradisi dan anggapan tersebut. Aku bertekad untuk menghapus semua itu. Aku sadar tidak akan mudah melawan pikiran mereka yang sudah berakar kuat, tapi setidaknya aku bisa memulai perjuanganku demi kesetaraan dan keadilan perempuan di kampungku dari diriku terlebih dahulu, lalu ke berbagai perempuan lainnya (semoga). Aku bertekad, ingin menjadi perempuan pertama dengan gelar pasca-sarjana di pulauku. Lebih-lebih di kampungku. Jujur bukan hal yang mudah bagiku mencapai semua itu. 

Kalian tahu? Aku juga pernah mengalami kesukaran tidak hanya tentang aku menjadi perempuan, tetapi kesukaranku juga tentang tradisi perjodohan sejak usia dini. Sejak kecil aku juga sudah dijodohkan, ayahku yang seorang guru ngaji dan sekaligus tokoh masyarakat di kampung kami, tentu akan menjadi hal yang aneh bagi mereka jika anak-anaknya tidak memiliki tunangan sejak kecil; akan ada kalimat “Anakna ke aji tak paju (Anaknya kyai kok tidak memiliki tunangan, mungkin tidak laku).” Dan perjodohan itu adalah kebanggaan setiap masyarakat di desa kami.

Suatu ketika, saat aku kelas 3 Mts aku pernah berkata kepada ayahku, “Ayah aku ingin sekolah aku tidak mau menikah setelah lulus Mts.” Aku mengatakan itu karena aku sedikit khawatir melihat teman-teman yang sebentar lagi setelah lulus Mts akan dinikahkan. Bahkan ada salah satu temanku yang menikah sebelum hari kelulusan. Padahal dia adalah salah satu bintang kelas di sekolah kami. Ayahku hanya mengangguk tanpa bicara apa pun. Tapi, sejak kecil aku mempercayai setiap perkataannya dan anggukannya lebih dari diriku sendiri. 

Akhirnya, pada hari kelulusan pun tiba, benar yang ku duga. Tiga hari setelah kelulusan sekolah MTsku, mertuaku datang dan membicarakan hal penting mengenai tanggal pernikahanku. Aku bersyukur karena ayah masih melibatkanku dan menanyakan kesiapanku. Aku putuskan untuk melanjut SMA ke pesantren dan akan melanjutkan kuliah. 

Entah karena apa akhirnya mertuaku memutuskan perjodohan itu. Senang sekali perasaanku, dengan rasa syukur tak ternilai pada Allah swt. aku mengaji yasin tiga kali. Namun, hal itu menjadi malapetaka ihwal kegagalanku menjalankan perjodohan. Pandangan masyarakat berubah drastis soal aku dan perjodohanku dan menganggapnya sebagai aib. Setiap hari keluargaku terutama ayahku disuguhi hidangan tentang pembicaraan yang membuat telinga panas dan hati menangis. 

Aku dikatakan “Perempuan yang tidak laku”, “Perawan tua yang belum menikah”, “Mau jadi apa kuliah, ujungnya gendong anak dan ngantor di dapur”, “Perempuan yang tidak kasihan kepada ayah yang sudah sepuh”, “Perempuan yang menghabiskan harta tanpa mengerti lelahnya orang tua”. Dan kata negatif tersematkan kepadaku. 

Hanya satu yang aku katakan kepada ayah “Sabar ayah, sabar ibu. Mungkin saat ini orang-orang menghinaku, aku baik-baik saja jika kalian kuat dan mendukungku.” Singkat cerita pada 2016-2017 akhirnya aku resmi Wisuda pasca-sarjana di pesantren. Ayah-ibuku menangis. Entah, menangis karena apa? Menangis banggakah? Atau menangis karena memikirkan jodoh untukku kedepannya? Aku tidak mengerti. Tapi setidaknya aku tidak mengecewakan beliau. Sejak SD sampai pasca-sarjana aku selalu memberikan hadiah prestasi dan piala-piala terbaik untuk mereka. Tapi satu hal yang membuat aku sangat bersyukur, karena Tuhan telah mewujudkan cita-citaku. Di antara 170 peserta pasca-sarjana dari seluruh jurusan di pesantrenku akulah satu-satunya perempuan dari pulau Ra’as yang di wisuda pasca-sarjana. 

Pulang ke Ra’as adalah tujuan utamaku. Mengajar dan melanjutkan perjuangan ayah di lembaga kami. Satu bulan setelah diwisuda, aku mulai beradaptasi dengan lingkungan keras pulau kami. Membantu ayah mengajari anak mengaji adalah niat utamaku ketika pulang ke rumah. Di satu sisi bersyukur karena bisa menerapkan ilmu-ilmu agama yang diperoleh dari pesantren. Di sisi lain ada rasa sedih terhadap cibiran tetangga, walaupun aku tahu hal tersebut tak bisa dikontrol.

Lihat, itu lulusan S2 hanya mengajar ngaji”, “Lihat, itu lulusan S2 tidak laku”, “Lihat, itu lulusan S2 hanya mengajar MI”, “Lihat, itu lulusan S2 tetap di dapur mencuci piring”. Semua kalimat itu adalah cambuk terbaik untuk menjadikan hidupku lebih bermakna. Setidaknya aku telah memutuskan satu rantai menakutkan bagi perempuan di pulau kami. Sekolah dan pendidikan tinggi berhak untuk perempuan .

Mungkin saat ini mereka mencibirku, tapi aku tidak akan putus asa untuk menjadikan diriku berguna dan bermanfaat untuk orang orang di sekelilingku. Karena aku tahu, agama sangat menjunjung tinggi derajat perempuan. Selain itu, aku punya teladan terbaik dalam hidupku yakni Saidatina Aisyah, jadi tidak ada alasan untuk putus asa. 

Dan berbicara jodoh, aku tidak memilih ia yang kaya raya, aku tidak memilih dia yang tampan rupawan, aku tidak memilih dia yang berkarir tinggi dengan pendidikan istimewa. Tapi aku memilih dia yang memiliki satu tujuan hidup yakni “perjuangan”. Aku memilih dia yang bisa memahami dan mengerti tentang perempuan seutuhnya. Aku memilih dia yang berjiwa ksatria, yang mengerti tentang cita dan cinta.

Kami menikah dan imamku membawaku merantau ke Pulau Dewata. Ini bukan pilihan kami untuk hidup jauh dari keluarga. Jika disuruh memilih, tentu kami ingin menetap di kampung dan bersama sama memberikan yang terbaik untuk kampung dan pulau kami. Tapi inilah jalan yang harus kami tempuh demi tahap perjuangan selanjutnya. Di tempat perantauan itulah, aku belajar kembali tentang banyak hal. Dan bersyukur ada seorang suami yang mendampingi dan memperkenalkanku dengan dunia pendidikan serta seluk beluknya. 

 Aku perempuan dari kepulauan Ra’as setidaknya pernah mengajar di kampus STAID Denpasar Bali. Satu satunya kampus Islam Denpasar Bali. Aku perempuan Pulau Ra’as, setidaknya pernah menjadi Religion Teacher di Full Day School Harapan mulia, satu satunya Sekolah Internasional daerah Denpasar Barat. Aku perempuan Pulau Ra’as, setidaknya pernah menjadi guru Al-quran metode tilawati berstandar Kemenag di Yayasan Rumah Alquran Terbaik di Denpasar Barat Bali.

Mungkin, semua itu tidak ada artinya bagi mereka yang di luar sana. Tapi, bagi perempuan pulau yang hidupnya terkekang tradisi dan budaya itu adalah hal yang sangat istimewa. Aku bersyukur setidaknya aku bisa mewakili seluruh perempuan di pulauku. Meski perwakilan itu tidaklah sempurna. Tapi, inilah cintaku untuk kalian perempuan perempuan hebat.

Lewat tulisan dan kisah ini, ada satu hal yang ingin aku sampaikan kepada para perempuan bahwa perempuan perlu berpendidikan tinggi,karena sejatinya perempuan harus berpendidikan sebagai uswah dan madrasatul ula bagi anak-anak dan generasi selanjutnya. Percayalah, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki niat dan tekad yang baik untuk ilmu dan pendidikan, yang memiliki hati lembut dan prinsip kebaikan untuk keluarga dan sesama maka Allah akan memberikan pahala yang sama dan menganugerahkan kebaikan kebaikan tanpa memandang status baik lak-laki maupun perempuan. 

#Salam cinta

#Salam sayang untuk semua perempuan di suruh dunia.

Sumber gambar: Vivi/Paragraph (Parist.id)

Raudlatul Junnah R
/ Published posts: 1

Guru Ngaji

3 comments on “Tradisi Ra’as, Perempuan, dan Perjodohan
    Avatar
    Zakiy

    Keren sekaliii kak junaaaaa, terimakasih sudah mewakili suara perempuan di ra’as sana, terimakasih sudah menjadi feminis yang berusaha menolak subordinasi gender dan patriarki.
    Semoga tulisan ini menjadi salah satu kiprah untuk masyarakat disana terbuka bahwa adanya subordinasi gender dan patriarki tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menimbulkan ketidak adilan gender.
    Ditunggu tulisan selanjutnya……

Leave a Reply