332 views 6 mins 0 comments

Marginalisasi Perempuan: Persoalan Inheren dari Kekerasan Kolonialisme di Palestina

In Isu, Kolektif
November 05, 2023

Belakangan ini, dunia kembali digemparkan dengan permasalahan teritorial negara antara Palestina dan Israel. Isu ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama (akhir abad 19). Akan tetapi, kabar dan dinamikanya kerap timbul tenggelam. Sampai dengan gerakan pejuang Palestina/Hamas hadir, isu ini kembali muncul ke permukaan.

Permasalahan antar-kedua negara tersebut disebabkan oleh beragam faktor. Kita dapat melihat beberapa sudut pandang untuk bisa menentukan akar-akar permasalahan dari peristiwa ini. Jika memilih perspektif politik, Israel telah menerapkan sistem apartheid di semua wilayah kekuasaannya. Sistem apartheid ditunjukkan melalui segala bentuk penindasan berdasarkan ras atas warga Palestina. Kondisi sistem ini juga mendapatkan penilaian yang sama oleh hukum internasional, dikarenakan adanya kejahatan kemanusiaan sesuai definisi Statuta Roma (Amnesty International Indonesia, 2022).

Melalui kacamata kolonialisme, apa yang dilakukan oleh Israel dengan aneksasi/pencaplokan wilayah, pemindahan warga pribumi ke wilayah lain, serta penguasaan teritorial secara permanen, masuk dalam kategori settler colonialism atau kolonialisme pemukim. Akibatnya, setiap penduduk Palestina mengalami kejahatan kemanusiaan karena praktik-praktik di atas. Demi mencapai tujuannya, Israel membunuh ribuan jiwa. Sampai saat ini, tercatat korban meninggal akibat serangan militer di jalur gaza naik menjadi 9.061 jiwa dan 32.000 orang mengalami luka. Tak hanya itu, di tepi barat terdapat 132 korban meninggal serta 2.000 lainnya terluka (Farah Najjar, 2023). Satu kata yang dapat mewakilkan peristiwa ini adalah genosida.

Peliknya genosida yang terjadi di tanah Palestina akrab dengan beragam istilah. Konflik, perang, perebutan teritorial, isu geopolitik, dan istilah-istilah lainnya kerap memenuhi lini masa. Ragam interpretasi dan penamaan masalah Palestina-Israel terbilang sangat maskulin. Nuansa dan kepentingan maskulinitas yang mendominasi isu ini lantas membuat absen permasalahan yang tak kalah penting, yaitu perempuan dan anak.

Perempuan dan anak secara turun temurun bahkan berabad-abad selalu menjadi korban dari segala ragam kolonialisme. Mereka—sebagai yang paling tertindas dari yang tertindas—menderita dengan cara-cara tertentu selama dan setelah konflik. Lapisan opresi “pintu demi pintu” telah mereka alami sejak hidup di tanahnya sendiri yang terbilang patriarkis, hingga pengalaman khusus sebagai perempuan yang merasakan penjajahan oleh Israel.

Marginalisasi dan ketidakadilan sistemik dialami perempuan terjadi secara berlapis hampir di setiap aspek kehidupan. Hak mendasar untuk mendapatkan kehidupan yang aman sangat sulit dicapai. Tak lupa soal minimnya akses pengetahuan, pendidikan, sanitasi, hingga kesehatan seksual dan reproduksi. Deretan kebutuhan tersebut hampir nihil didapatkan oleh perempuan dan anak di Palestina.

Beberapa akibat yang ditimbulkan dari pelbagai masalah di atas sering berkaitan dengan urusan ketubuhan. Para perempuan Palestina terpaksa meminum pil khusus agar tidak mengalami menstruasi, sebab kualitas sanitasi sangat buruk, serta ketersediaan pembalut atau tampon masih sangat kurang di apotek (Linah Alsaafin, 2023). Tak hanya itu, para ibu harus melahirkan tanpa anestesi. Sejauh informasi yang penulis ketahui, aktivitas kesehatan dilakukan dengan susah payah dan penuh keterbatasan karena  telah terjadi pengeboman di rumah sakit.

Kondisi ini merupakan fakta bahwa perempuan dalam wilayah konflik tidak memiliki pilihan. Perempuan dengan identitas biologisnya terpaksa memilih salah satu pilihan buruk dari yang terburuk. Dalam kesehariannya, perempuan kerap menghadapi ancaman, ketidakamanan, dan pemerkosaan ketika menjalani aktivitas di luar rumah. Terbatasnya aktivitas ini pula semakin berdampak buruk pada aspek sosial-ekonomi perempuan (Lasut, 2022).

Menyoal korban anak, masa kecil dan masa depannya telah direnggut bahkan sebelum mereka memahami arti kehidupan. Tak sedikit anak-anak Palestina menganggap bahwa apa yang terjadi di tanah mereka adalah peristiwa yang wajar dan normal di seluruh negara. Entah standar keamanan negara seperti apa yang ada di pikiran mereka, sehingga normalisasi terhadap genosida sudah ditelan sejak dini.

Kolonialisme yang sangat kental pada marginalisasi perempuan juga ditunjukkan dengan biasnya keberpihakan perempuan kulit putih yang mendaku sebagai feminis. Mereka tidak menganggap apa yang dialami para perempuan Palestina sebagai penjajahan dan penindasan yang harus dilawan (V.D, 2023). Seperti yang biasa diterapkan feminis borjuis Barat tersebut, perjuangannya dilakukan dengan metode tebang pilih—tentu untuk isu-isu yang mereka ingin perjuangkan saja.

Perempuan pribumi Palestina memerlukan pendekatan yang melampaui batasan feminisme Barat, sehingga bisa mengakomodasi dan mengatasi dampak dari kolonialisme pemukim terhadap pengalaman penindasan mereka. Untuk menyiasati feminisme Barat, perlu dipahami bahwa hak-hak perempuan pribumi sebagai sebuah entitas yang khas, termarginalisasi, dan terpinggirkan oleh efek kolonisasi pemukim—yang masih berlangsung (Yousef, 2019). Perempuan pribumi berkontribusi penting pada kelompoknya. Setiap dampak buruk yang mereka alami akan berimbas secara signifikan pada keseluruhan kelompok. Eratnya kekerasan sistemik terhadap perempuan dalam sistem dan budaya kolonialisme harus diletakkan sebagai bagian penting pada konteks pemahaman dekolonisasi. Keharusan ini patut diterapkan, mengingat perempuan adalah ibu peradaban.

Segala upaya untuk membumihanguskan kolonialisme dari muka bumi dapat terus kita lakukan. Pada konteks genosida yang dilakukan Israel atas Palestina, kita sebagai manusia dengan hati nurani dapat memberikan uluran tangan. Beragam cara di antaranya adalah tetap mendukung dan menyebarluaskan informasi terkait hal ini; memberikan bantuan dan donasi; serta memboikot produk dan perusahaan yang terafiliasi dengan Israel. Akan tetapi, hal paling mendasar yang perlu kita miliki untuk melakukan dekolonisasi dan melawan genosida adalah dengan tetap menjadi manusia yang berperikemanusiaan.

From the river to the sea, Palestine will be free~

Sumber Gambar: Pinterest.com

Cindy Parastasia
/ Published posts: 2

Redaktur Pelaksana angkatsuara.id