196 views 9 mins 0 comments

Cerita Nadhia: Jalanan dan Pelecehan

In Isu, Kolektif
October 18, 2023

Nadhia saat ini usianya dua puluh delapan tahun. Dia berasal dari keluarga yang berlatar belakang ekonomi ke bawah, sejak dua puluh tahun sudah mengalami beban hidup yang amat berat, bermula dari kematian ayahnya yang secara cepat meninggalkan Nadhia bersama ibunya. Tak lama kemudian ibu kandungnya menikah dangan seorang laki-laki, yang tentunya Nadhia tak mengenalnya begitu dekat. Sejak meninggalnya ayah Nadhia, ibu kandungnya selalu memperlakukan Nadhia dengan tak baik. Hingga di mata ayah tirinya Nadhia terkenal seorang gadis yang tak bermoral dan kotor. Dan ibunya dengan tragis mengusir Nadhia dari rumahnya sendiri. 

Cerita ini merupakan kisah nyata seorang teman yang sudah menemukan pasangan hidupnya seminggu yang lalu. Iya, namanya Nadhia (bukan nama asli) salah seorang warga Kota Malang.

Kini, Nadhia sudah hidup tenang dan damai bersama tiga orang anaknya: dua di antaranya laki-laki dan satu anak perempuan. Mereka sangat bahagia tentu terlihat dari suami Nadhia yang selalu memimpin ibadah salat Jumat di sebuah Masjid yang ada di Malang. 

Nadhia saat ini memiliki lapak bisnis kecil-kecilan di sebuah taman yang dia rintis sejak berhenti bekerja di sebuah perusahan swasta. Lokasi lapaknya pun berada tidak jauh dari rumahnya. Dan disana lah roda kehidupan Nadhia mulai membayu dan terdengus berkat pengunjung yang berseliweran di sepanjang taman.

Kami berdua sudah lama saling tahu-menahu, karena saya sudah lama menjadi pelanggan tetapnya setiap hari Sabtu sore dan Minggu sore. Karena saya selalu ke taman itu untuk membaca buku. Melihat mbak Nadhia sudah berada di tempat biasanya, pun saya langsung menghampirinya dengan salam sore. Seperti biasa ditemani cilok buatan mbak Nadhia yang selalu saya beli setiap Sabtu dan Minggu sore untuk membaca buku di taman itu. Sangkanya, cuman beli lalu pergi. Mbak Nadhia malah mengajak basa-basi dengan timbal kalimat yang membuat saya langsung duduk untuk menyampaikan cerita. 

“Kapan terakhir pulang kampung mas Kris?” Sapa mbak Nadhia sambil memberi uang kembalian. 

Tarian kalimat pun mulai berpantulan antara saya dan mbak Nadhia. Tak luput hanya membagi ceritaku saja kepada mbak Nadhia, saya pun ringis menanyakan. 

“Gimana sih ceritanya kok mbak Nadhia bisa nyasar jualan di taman ini?” Tanyaku sambil menarik sedot ciloknya. 

Selepas berbasa-basi dengan ceritaku, mbak Nadhia pun mulai memasang sinyal agar saya mendengarkan ceritanya. Melihat dari dahinya yang sejenak keriput dan mata mulai mengarah ke atas, sepertinya ini cerita menarik. Saya pun langsung mengiri dan berusaha mendengarkan cerita mbak Nadhia. Cerita suka dan duka pun dimulai.

Awal Mula Nadhia Membuka Lapak Jualan Makanan

Sebenarnya saya sudah agak ragu untuk mendengar curhatan mbak Nadhia, tapi karena saya juga ingin tahu banyak tentang bisnis seseorang, saya berusaha tenang, dan tidak mau menanyakan apa-apa, “Iya, diem aja, gak usah banyak nanya,” kataku dalam hati. Nadhia semenjak berpisah dengan ibu kandungnya, dia terpaksa harus mondar-mondir berkeliling dari Pasar Gadang–Terminal Hamid Rusdi untuk mengamen demi melangsungkan hidup. Semisal, di sana sudah tidak membuahkan hasil Nadhia kemudian beranjak ke Terminal Arjosari–yang menjadi–perhentian terakhir penumpang yang datang dari Surabaya. Setiap hari Nadhia lakukan untuk bertahan hidup di jalanan. Malamnya dia tidur dengan teman-teman yang senasib dengannya. Sepak terjang di jalanan membuat Nadhia semakin tahu tentang kerasnya kehidupan. 

“Yo, jenenge wong susah mas, yo kudu kerjo. Tapi aku wis Alhamdulilah mas, saiki wes nduwe bojo wong apik sambil buka usahaku dewe.” Kenang Nadhia sambil mengusap air matanya. 

“Wahh, kalau udah sampai nangis gini, bahaya ini. Aduuuhhh…nyesal aku berseloroh dengan mbak Nadhia,” ucapku dalam hati yang penuh rasa bersalah. 

Nadhia sangat pilu ketika menceritakan masa kelam tentang sepak terjang kehidupannya. Walau begitu ucap syukurnya untuk hari ini dilipuri kebahagiaan karena bisa hirup udara segar, bilamana udara yang dulu sangat buruk dan cemar baginya.

Sebelum menikah, Nadhia bekerja selama kurang lebih delapan tahun di sebuah perusahan swasta yang berada di Kota Malang. Di sana, banyak sekali kenangan manis dan pahit yang dia alami. Namun, yang mendominasi ingatannya adalah ingatan pahit yang mendapatinya sebagai “Perempuan Terlemah-Tersiksa-Terhina”. Sering dijadikan bahan bulihan antarkaryawan laki-laki yang acap menyuruhnya membersihkan gudang yang bukan bagian dari pekerjaannya.

“Aku yo sering dikonkoni resihi gudang, padahal yo aku sing bagiane ngitung barang, wes morat-marit kabeh,” ucapnya sambil lesuh.

Namun, ada hal yang membuat mbak Nadhia semakin tidak betah untuk bekerja di tempat itu lagi karena perlakuan tak sopan dan tak senonoh terhadapnya. Di tempat itu mbak Nadhia bersama mbak Vania salah satu karyawan perempuan lainnya. Mereka berdua sering digoda, bahkan hampir setiap hari teman laki-lakinya mengajak mereka berdua untuk check in di salah satu hotel yang berada di daerah sekitar Malang. 

“Aku sangat tertekan mas, kadang aku takut mas. Tapi aku yo mikir bagaimana pun aku harus tetap bertahan dengan perlakuan nyeleneh dari mereka karena aku menaruh separuh kehidupanku disini mas,” kenang mbak Nadhia sambil menderuh.

Pada awal Juli kemarin, mbak Nadhia memutuskan untuk keluar karena mendapati perlakuan keji dari seorang karyawan yang sedikit lagi hendak mencekiknya karena sering kali menolak ajakan untuk check-in di Hotel. Mbak Nadhia berteriak dan menjerik ketakutan, alih-alih mendapat perlindungan dari boss-nya, mbak Nadhia mala disuruh membersihkan gudang agar menjauh dari karyawan laki-laki yang lain. Benar-benar keterlaluan.

Memilih Keluar dari Pekerjaan Utamanya

Seusai mengepel dan menyapu gudang lantai bagian atas dan bagian belakang kamar mandi. Mbak Nadhia membulatkan tekadnya untuk resign dari pekerjaannya. Sembari mematangkan pikirannya, Nadhia berlutut dan memanggil nama Tuhannya dalam sakit dan penuh kesedihan.

“Gusti, kulo wis raiso nahan, kulo arep metu tan mriki Gusti. Paringi kulo jalan keluarnipun du gusti,” isaknya sembari membasuh muka dengan kedua tangan yang sangat gemetar kala itu.

Tempatnya bekerja yang selalu bersahaja kini sudah menjadi pita hitam ditatap mbak Nadhia. Citra tentang tempat itu semakin lusuh. Dengan tangan gemetar, mbak Nadhia langsung menemui mbak Vania (25 tahun) untuk berpamitan karena sudah tidak tahan lagi bekerja di tempat yang ia anggap sebagai pabrik-racun itu. Alih-alih, mengiyakan kepergian mbak Nadhia. Vania malah ikut pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepengetahuan boss dan karyawan lainnya. Mereka berdua sudah sangat muak dengan lingkup perusahan itu.

“Niatku pengen pamitan dengan temanku, namanya mbak Vania. Ehh, malah ikut resign. Aku jadi rasa bersalah sama dia waktu itu, hehehe.” Tambah mbak Nadhia sambil memulangkan pilu.

Sejak saat itulah, mbak Nadhia tidak kembali lagi ke tempat itu. Kemudian mbak Nadhia berpindah tempat tinggal di sekitaran Dinoyo sambil bekerja sebagai penjaga stand makanan. 

Tidak berselang-lama, seorang laki – laki asal Kepanjen yang acap membeli makanan di tempat mbak Nadhia jaga itu pun mengajak kenalan dan saling bertukar nomor telpon. Dia lah orang yang menjadi suami mbak Nadhia saat ini.

“Maaf ya mas, aku malah curhat,” ujarnya sambil melepas tawa, “iya, gpp mbak Nadhia santai aja. Mbak Nadhia orang hebat,” jawabku sambil menekuk jidat. 

Saya berpamitan dengan mbak Nadhia untuk masuk ke dalam area taman agar bisa membaca buku yang sedari tadi sudah saya anggurin beberapa jam yang lalu. Sebab, mendengarkan cerita mbak Nadhia, saya hampir ikut meneteskan air mata, karena dia adalah wanita tangguh yang jalan hidupnya sudah disusun secara rapi oleh Allah Maha-Pengasih dan Maha-Penyayang.

Sumber Tulisan: Freepik.com

Kristian Ndori
/ Published posts: 3

Pemuda Taman Firdaus