151 views 5 mins 0 comments

Perempuan, Media, dan Penyebaran Gagasan 

In Opini, Serba-serbi
October 14, 2023

Pagi itu, sekitar Februari 2023 saya bertemu 5 orang mahasiswa di sebuah kedai kopi. Iseng bertanya perihal hobi, ke 4 dari mereka lantas menjawab scroll tiktok dan instagram. Saya menyadari, memang scrolling media sosial sudah menjadi kebiasaan rutin bagi banyak orang (tidak terbatas pada kelompok gender dan usia tertentu), tidak hanya perempuan, laki-laki pun juga melakukan hal tersebut, contohnya saya. Sungguh kebiasaan itu, seyogianya membuat lena dan menghabiskan banyak waktu. 

Terlepas dari hingar bingar ihwal media. Belum lama ini, saya mendengar kabar baik bahwa salah satu kawan ingin menggagas media alternatif yang fokus menyerukan isu keadilan gender. Tentu kabar ini langsung saya sambut dengan baik. Memang ada kebutuhan mendesak saat ini untuk memperkuat posisi perempuan dalam kehidupan struktur ekonomi-politik sebagai penopang perubahan untuk keadilan. Cara yang terbukti efektif adalah mengajak perempuan terlibat secara aktif dalam urusan di ranah publik. 

Saya meyakini bahwa representasi perwakilan perempuan untuk terlibat dalam urusan publik dapat dipahami secara luas. Perdebatan lebih lanjut harusnya melampaui narasi mainstream seperti keterwakilan dalam politik (30% dalam pencalonan legislatif). Agak kontradiktif, di sisi yang lain banyak bermunculan pemimpin daerah perempuan, namun sebagian dari mereka mengandalkan modal politik dinasti (Handayani, 2017). 

Aturan mengenai batas keterwakilan tersebut dapat menjadi pintu masuk dan jaminan kepastian hukum. Pekerjaan rumah selanjutnya yang lebih penting yakni memastikan kapasitas para pemimpin perempuan untuk mendorong kebijakan yang berperspektif keadilan gender. Sehingga keterlibatan mereka dapat dirasakan oleh masyarakat banyak dalam program-program yang diintervensi melalui sumber daya yang ada di daerah.

Media Sebagai Pilar Keterwakilan

Tren gaya hidup anak-anak muda yang gemar scroll media sosial seperti cerita di atas jelas menjadi tantangan tersendiri. Tantangan lainnya adalah untuk mencari jawaban: menurunnya kepercayaan publik terhadap keberadaan media arus utama atau pers. Kebanyakan media arus utama tidak lagi netral, dengan kata lain, media tidak lepas dari kepentingan politik-oligarki media. Data menyebutkan sekitar 70% masyarakat lebih sering mengandalkan media sosial untuk mengakses informasi. Masyarakat lebih senang mengkonsumsi informasi yang sifatnya dapat menghibur mereka. Oleh karena itu, membangun media alternatif yang menginformasikan kebenaran sekaligus mengemasnya dengan gaya yang dapat menghibur adalah suatu hal yang penting untuk dimunculkan. 

Selama ini konsumen media untuk tema-tema yang ‘agak serius’ seperti angkatsuara.id ini hanya terbatas pada kelompok sosial-intelektual perkotaan yang memang dekat dengan dunia literasi. Barangkali meskipun ‘agak serius’, angkatsuara.id dapat menjadi media alternatif yang selain mengkampanyekan keadilan gender, juga dapat menarik ketertarikan masyarakat di  semua unsur, seperti kelompok petani, nelayan, ojek online, buruh pabrik, pekerja rumah tangga dan kelas pekerja lainnya, untuk membaca. 

Sebagai pilar ke empat demokrasi, representasi politik seharusnya dapat dilakukan melalui media. Representasi yang dimaksud adalah kontribusi perempuan di ranah publik untuk menginformasikan gagasan dan kebenaran. Media dapat menjadi alat alternatif mengekspresikan representasi perempuan untuk merebut opini di ruang publik. Dari luar politik formal, ruang keterwakilan perempuan harus lebih banyak diisi oleh ide-ide perubahan untuk melepas jerat patriarki.

Belajar dari Masa Lalu

Di tengah anggapan masyarakat yang menilai media arus utama yang semakin partisan dan dianggap elitis, mungkin kita perlu belajar dari masa lalu. Lembar-lembar Harian Rakyat, media cetak yang terbit pada 1950-1965, menjadi salah satu saksi media alternatif dengan atensi masa yang besar. Dari sana dapat dibaca usaha para seniman untuk mengangkat seni budaya Indonesia yang hampir mati hingga menciptakan gagasan Indonesia yang baru. 


Bantuan berita-berita dan tulisan-tulisan, bukan hanya berasal dari koresponden tetap Harian Rakyat, tetapi juga koresponden lainnya, seperti buruh dan tani. Karakteristik penulisan di Harian Rakyat yang cenderung terus terang, meledak-ledak, dan sederhana membuat banyak pembaca menjadi tertarik. Cara-cara lain, yang sebenarnya telah diadopsi oleh pers saat ini yakni, citizen journalism (bahasa Indonesia: jurnalisme warga), adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita.

Dalam keadaan seperti ini maka diperlukan media yang mempunyai harga diri dan menyadari arti suci kejujuran. Sebagaimana kata-kata pengarang demokrat Belanda yang besar, Multatuli: 

Padamu terletak tugas kemanusiaan!
Tugas itu mengharuskan: berusaha ke arah kebenaran
Dan di mana-mana terdapat kebohongan.
Maju! Berjuang terhadap kebohongan! Ayo berjuang! Maju, ke arah kemenangan!

Sumber gambar: freepik

Ahmad adi
/ Published posts: 1

Pegiat Sosial