475 views 7 mins 0 comments

Skena Hardcore Punk, Pelecehan, dan Hal-Hal yang Belum Selesai

In Isu, Kolektif
October 13, 2023

Mulanya, saat aku kecil, ayahku mengenalkanku pada Hardcore/Punk. Aku menyukainya, hingga saat usiaku 11 tahun, aku menghadiri gigs pertamaku. Aku mulai membaca zine, mencari orang yang kuanggap lebih tahu akan hal tersebut untuk sekadar ngobrol. Seiring dengan bertambahnya usiaku, aku pun menyadari bahwa Hardcore/Punk bukanlah sekadar musik. Ada  sejarah dan pesan-pesan di dalamnya, termasuk kesetaraan gender yang jadi alasanku mendapat rasa nyaman dalam menghadiri Skena.

Awalnya, aku baik-baik saja dan diterima dengan cukup baik. Hingga saat usiaku 14 tahun, aku menjadi korban pelecehan seksual oleh orang yang cukup gencar menggaungkan “kesetaraan”. Tentunya, aku amat terpukul atas kejadian ini. Merasa tidak berharga, dibohongi, dikecewakan, dan menganggap semuanya hanyalah bualan, musik, dan fashion saja. Keluargaku tahu akan hal ini, sehingga beberapa tahun aku dibatasi untuk hadir ke gigs oleh orang tua. Namun, karena aku sangat menyukai Hardcore Punk, aku berusaha turut hadir meski harus melawan rasa trauma dengan menyembuhkan diriku sembari mengoreksi, kira-kira bagian mana yang salah sehingga hal ini dapat terjadi. Aku terus mencari tahu, hingga pada akhirnya aku bisa berdamai dengan diri sendiri. Aku mulai mencari “tempat” yang lain. Dan akhirnya, sampailah aku di tempat yang orang-orang tahu saat ini.

Hardcore/Punk, bagian dari skena underground semestinya menjadi ruang alternatif yang aman bagi semua gender. Namun nyatanya, konstruksi sosial sedikit banyak turut andil merebut ruang yang seharusnya aman tersebut. Maskulinitas hadir sebagai bentuk machois dalam skena untuk mendominasi dan menjadikan perempuan sebagai objek. Sering kali, perempuan dianggap sebagai orang lemah yang tidak sepantasnya ada di moshpit. Hal itu juga beberapa kali aku alami. Mulai dari perkataan bahwa tidak seharusnya perempuan ada di moshpit, ditarik keluar dari moshpit karena aku perempuan, hingga tuduhan bahwa perempuan ada di moshpit hanya untuk menarik perhatian laki-laki. Hal ini tentunya semakin membuat maskulinitas mendominasi ruang yang seharusnya setara, malah menjadi ruang yang eksklusif bagi laki-laki.

Belum lagi, masalah pelecehan seksual yang kerap kali dialami oleh teman-teman perempuan. Akhir pekan lalu, aku mengalaminya di suatu gigs. Sebelum ada yang menyalahkan pakaianku, saat itu aku memakai kaos band ­kedodoran dengan celana panjang yang tidak ada ketat-ketatnya. Hari itu, aku datang berdua bersama salah satu kawanku (laki-laki). Kami bertemu dengan kawan-kawan lain, mengobrol, dan melipir ke salah satu tempat yang kami anggap pas. Hingga penampilan beberapa band, kami tidak kunjung masuk sebab larut dalam obrolan. Entah pada band ke berapa, aku masuk bersama salah satu kawanku yang perempuan. Setelahnya, kami memutuskan untuk tetap ada di dalam, sebab ada band yang ingin kami lihat. Ketika band itu selesai, kami keluar untuk mengajak kawan-kawan yang lain masuk, sembari minum sebab kami haus.

Kami masuk secara beriringan. Saat band masih prepare, posisi kami bersama-sama di sudut kanan belakang.Tidak cukup belakang, namun bisa dibilang cukup banyak orang di depan kami. Kami berpencar karena ada yang mencari tempat untuk mengambil dokumentasi, sedangkan yang lain entah ke mana. Saat band mulai memainkan lagunya, aku mencari jalan untuk ke moshpit. Saat itu, orang-orang sudah mulai moshing. Aku pun menunggu beat yang tepat untuk masuk ke moshpit. Setelah merasa cukup, aku keluar dari moshpit dan kembali ke tempatku di depan. Ritmenya berulang seperti itu. Namun sialnya, aku mendapatkan pelecehan seksual berupa remasan di bagian payudaraku.

Kejadian itu dilakukan oleh orang yang berada di belakangku. Posisi ini membuatku tidak dapat melihat ciri-ciri pelaku, mengingat tempatku saat itu membuat banyak orang bergerak dengan cepat. Dalam hal ini, aku tidak menyalahkan pihak penyelenggara acara atau gigs organizer. Sebab, siapapun dan se-piawai apapun organizer-nya, pelecehan seksual akan tetap terjadi jika pelaku memang ingin melakukannya. Setelah kejadian itu, aku mengajak kawan-kawan untuk keluar dan kembali ke tempat kami sebelumnya. Di sanalah aku menceritakan kejadian tersebut. Semuanya marah dan mengumpat pada pelaku yang entah siapa. Kemudian, dua kawan perempuan pergi untuk menjelaskan kejadian itu. Aku bersama dua kawanku mendiskusikan hal tersebut hingga terbesitlah ide untuk menulis sebagai bentuk speak up.

Tentunya, hal ini menambah trauma akan pelecehan seksual yang kuterima dari ruang yang “katanya” aman untuk semua gender. Aku amat yakin bahwa di luar sana sebenarnya juga banyak teman-teman yang mengalami pelecehan seksual, namun mereka memilih untuk diam atau hanya membagikan cerita tersebut pada orang-orang terdekat kerena takut akan diserang, direndahkan, atau malah dituduh mengundang nafsu bagi laki-laki. Aku berharap, kita bisa bersama-sama membangun ruang yang benar-benar aman bagi semua gender. Entah itu dari teman-teman yang memiliki band dan menyampaikan pesan tersebut melalui lirik lagunya atau seruan sebelum mereka tampil, teman-teman gigs organizer yang menyertakan ajakan pada setiap flyer, MC yang menyampaikan saat jeda band maupun saat break, teman-teman media yang bisa mendistribusikan tulisan yang bermuatan akan itu, dan yang paling penting adalah individu yang tergerak dan mau belajar sekaligus mengimplementasikan hal tersebut menjadi sesuatu yang nyata.

Meski saat ini Hardcore Punk telah berkembang lebih jauh, dan beberapa pelaku skena sudah memahami isu kesetaraan gender dalam mosphit, etapi aku berharap perlu adanya mitigasi serius seperti memberikan vonis dan sikap kepada pelaku pelecehan seksual. Ya, walau seringkali aku mendapatkan objektifitifikasi dalam bentuk tepuk tangan dan sorakan saat aku ada di moshpit (sebeneranya sama saja toh jikalau perempuan mosphit, bukan hal yang luar biasa?), namun yang terpenting bagiku adalah tidak dilecehkan.

Sumber gambar: pinterest.com