Aurat merupakan suatu hal yang tidak pantas diperlihatkan atau dipertunjukkan di ruang publik. Aturan mengenai aurat ini ada pada agama Islam, karena terdapat perbedaan batasan aurat antara laki-laki dan perempuan. Aurat laki-laki yaitu mulai dari perut di mana pusar termasuk dalam kategori aurat hingga bawah lutut. Sedangkan aurat untuk perempuan adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan, pada Islam yang radikal menyatakan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, baik wajah maupun telapak tangan. Pada budaya Arab, senyuman perempuan merupakan aurat, bahkan suaranya dimaknai sebagai pengundang syahwat laki-laki. Pernyataan itu tentu berbanding terbalik dengan ajaran Islam, karena senyum merupakan bentuk dari sedekah. Islam adalah agama yang ramah secara sosial dan kemanusiaan, hingga menghormati serta memuliakan perempuan.
Pemaknaan aurat yang seperti ini menjadikan perempuan sebagai objek sumber fitnah. Apa pun yang dilakukan perempuan dianggap sebagai perbuatan yang mengundang dosa. Stigma negatif ditujukan pada perempuan pun beragam, mulai dari aktivitas di luar dan malam hari, cara berpakaian, ber-make up, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Perempuan yang beraktivitas dan atau baru pulang di malam hari dianggap sebagai perempuan tidak baik dan nakal; kemudian perempuan yang berpakaian tidak menutup aurat disebut sebagai perempuan nakal sehingga wajar apabila digoda dan dilecehkan; kemudian perempuan yang ber-make up dilihat sebagai Perempuan penggoda sebab menonjolkan daya tarik yang dapat mengundang laki-laki untuk menyukainya, juga disebut-sebut tidak akan manglingi saat resepsi pernikahannya, serta terlihat tua seperti tante-tante.
Lebih parahnya lagi, Perempuan yang menempuh sekolah tinggi dikatakan sulit menikah atau mendapatkan jodoh, sebab laki-laki tidak percaya diri untuk meminangnya. Mengapa begitu susah hidup sebagai perempuan? Seolah perempuan hanya sebagai pemuas selera laki-laki. Masih banyak lagi stigma negatif itu tentang perempuan, yang semua itu berpotensi membatasi peran serta potensi Perempuan. Padahal, Allah menciptakan manusia agar sama-sama menjadi khalifah di bumi dengan tujuan berbuat kebaikan.
Perkembangan zaman serta teknologi belum sepenuhnya membawa perubahan mengenai perspektif terhadap perempuan. Kerap kali foto perempuan menjadi sumber fitnah dan dianggap sebagai dosa jariyah. Sudah barang tentu pemikiran tersebut mengarah pada syahwat nafsu laki-laki. Namun, bagaimana dengan foto laki-laki? Apakah perempuan juga tidak punya nafsu? Dan apakah foto laki-laki juga tidak berpotensi menjadi dosa jariyah? Anda tentu mampu menjawab dan merefleksikannya sendiri.
Aurat merupakan suatu celah yang membuka jalan seseorang untuk berbuat dosa. Aurat sering digunakan sebagai alat politik berbasis agama untuk membatasi perempuan dalam berpartisipasi atau berperan di ruang publik. Sebab menurut perspektif pemikiran patriarki, perempuan merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi laki-laki. Bagaimana bisa pemikiran itu terus diadopsi dalam kehidupan sehari-hari?
Aurat dapat dimaknai sebagai bentuk kerentanan seseorang. Kerentanan cenderung memberi ruang terhadap adanya penindasan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Namun di sini, perempuan masih menjadi manusia yang lebih rentan mendapatkan penindasan, dengan berbagai faktor. Bukan karena perempuan lemah atau memang ketentuan aurat perempuan yang seluruh tubuhnya disebut aurat, bukan. Akan tetapi, perempuan dilemahkan oleh atmosfer budaya patriarki yang mengkungkungnya pada ranah domestik.
Membiasakan perempuan tidak terlatih oleh ilmu pengetahuan, oleh keberanian, serta oleh kepercayaan dirinya. Akibatnya, perempuan tidak menemukan kenyamanan di ruang publik, mereka rentan berada di ruang publik, lantas kemudian menstigma bahwa perempuan di ruang publik adalah pemicu dosa. Bukankah itu salah satu bentuk dari budaya patriarki itu sendiri? Yang kurang memberdayakan perempuan sehingga mereka tidak bermartabat di ruang publik.
Kerentanan atau situasi rentan di sini banyak hal, salah satunya yaitu kurangnya keberanian, kepercayaan diri, pengetahuan, serta keimanan. Perempuan yang berilmu pengetahuan dan beriman, mandiri, berani, percaya diri, serta telah settled atau mapan terhadap hidupnya atau dapat disebut bermartabat, dia bukan lagi dipandang sebagai aurat. Sebab, perempuan itu sudah berdaya dan tidak menimbulkan kerentanan. Begitu juga terhadap laki-laki, ia yang belum mandiri, tidak percaya diri, tidak berpengetahuan serta kurang beriman, mereka akan rentan mendapatkan penindasan.
Apa pun yang ada pada tubuh perempuan sering kali disebut aurat yang tidak boleh terekspos di ruang publik, bahkan suara dan senyumannya sekaligus (pada budaya Arab seperti ini). Hal ini berbeda dengan budaya yang ada di Indonesia bahkan berbeda di setiap daerah, yang dinamakan suara menjadi aurat adalah suara yang mengundang, mengajak, menjadi provokasi seseorang untuk melakukan dosa atau perilaku tidak baik, serta ujaran kebencian, dan lain sebagainya. Padahal tindakan-tindakan tersebut tidak ada ketentuan jenis kelaminnya, setiap individu pun berpotensi melakukan hal yang sama.
Di era kemajuan teknologi ini, ruang publik terbagi menjadi dua, yaitu dunia nyata dengan dunia maya. Dunia maya memiliki jangkauan yang lebih luas. Walaupun tidak mengekspos foto tubuh atau wajah, namun mengekspos suara-suara yang mengundang syahwat, provokasi, serta ujaran kebencian, baik itu dilakukan oleh laki-laki maupun Perempuan, itu termasuk aurat. Jadi aurat bukanlah apa yang terlihat dalam bentuk visual fisik, akan tetapi hal-hal lain seperti suara.
Menyambung pada perempuan menjadi sumber fitnah dan Perempuan adalah aurat, lagi-lagi ruang publik dianggap tidak baik untuk Perempuan. Sebab, Perempuan adalah pemicu laki-laki untuk melakukan khalwat. Ruang publik dianggap sebagai khalwat Perempuan. Khalwat merupakan aktivitas menepi, menyendiri, terbagi menjadi dua yaitu, khalwat positif termasuk aktivitas seperti beribadah, berzikir, bersalawat, dan perbuatan baik lainnya. Kemudian khalwat negatif yaitu melakukan aktivitas atau perbuatan dosa, tetapi Perempuan cenderung menjadi objek atas khalwat laki-laki. Pemaknaan khalwat, tidak semua ruang publik menjadi khalwat untuk Perempuan semua. Hal itu dapat dilihat dari niat, tujuan, dan peluang.
Dulu Ibu saya sering memarahi saya karena sering telat pulang sekolah hingga malam hari. Walaupun saya sudah berpamitan bahwa saya harus latihan silat guna persiapan pertandingan, namun ibu saya tidak percaya. Saya tau ibu saya khawatir akan bahayanya dunia malam terhadap perempuan, namun stigma budaya yang ibu saya percayai bahwa perempuan yang beraktivitas atau pulang hingga malam hari adalah perempuan nakal. Ibu saya malu pada para tetangga. Kemudian sering kali saya juga dimarahi karena saya sering memakai celana pendek di lingkungan rumah atau bahkan di dalam rumah. Apalagi kalau bukan karena pemikiran bahwa Perempuan adalah sumber khalwat laki-laki? Bahkan, rumah yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman, tetapi Perempuan harus hidup dengan banyak kewaspadaan yang itu disebabkan oleh pikiran patriarki yang sudah lama melekat di tubuh laki-laki. Perempuan dituntut banyak hal untuk menjaga nafsu laki-laki. Betapa menjadi Perempuan di lingkungan penganut budaya patriarki adalah hal yang melelahkan.
Acap kali juga masa iddah perempuan distigmakan menjadi salah satu bentuk aurat, karena terdapat berbagai aturan pada saat masa iddahnya. Tidak boleh berpakaian yang mencolok, berpergian keluar rumah (jika keluar rumah harus berpakaian yang tertutup bahkan ada anjuran memakai cadar), tidak boleh berdandan, tidak boleh memakai wewangian, dan lain sebagainya. Pertama, tujuan diberlakukan masa iddah untuk memberi jarak. Selanjutnya, untuk menjaga diri agar tidak langsung memulai pernikahan kembali, memulihkan perasaan kehilangan, dan dari masalah yang dihadapi, hingga mengantisipasi apabila terdapat kehamilan pada Perempuan. Merefleksikan diri, mencintai diri sendiri, beristirahat, sebelum nantinya memutuskan untuk berhubungan dengan lawan jenis kembali. Sebab, dari adanya jarak kita dapat memaknai sebuah perbuatan.
Tulisan tanpa spasi tidak akan tersampaikan dengan jelas, tidak mempunyai makna. Acap kali karena begitu dekat, hingga Tuhan tidak terlihat. Itulah sebab mengapa jarak atau jeda sangat memberikan peran dalam kehidupan. Namun, perlu dimaknai juga bahwa masa iddah ini juga berlaku untuk laki-laki. Hal ini dapat ditinjau berdasarkan nilai ma’ruf dan mudharatnya.
Pemikiran ini bukan berarti membantah syariat Islam. Akan tetapi, untuk merefleksikan kembali makna pada syariat islam. Mengajak untuk saling menghargai serta memuliakan sesama manusia, tidak membedakan peran. Jika memang budaya yang terbiasa dilakukan tidak baik, maka tentu kita harus ubah dengan menciptakan budaya yang baik, ramah, serta memiliki perspektif berkeadilan dan berkesetaraan.
“Cerdas tanpa menindas, dunia selalu berada dalam perubahan terus menerus, sehingga tidak mungkin ada pengenalan.”
(Kratylos)
Sumber Gambar: freepik.com