169 views 27 mins 0 comments

KERTAS POSISI UNTUK MUHAMMADIYAH

In Isu, Kolektif
June 15, 2024


054/PRENAS/IV/2024

“Ta’awun Menolak Tambang”

Assalamualaikum wr. wb

Segala puji bagi Allah Subahanahu Wata’ala Tuhan Semesta Alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Sang Rahmatan lil ‘alamin, Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wasallam.

Kami Kader Hijau Muhammadiyah, manifestasi dakwah Muhammadiyah dalam rangka membentuk masyarakat ekologis untuk menjaga kelestarian lingkungan di muka bumi, menyampaikan pandangan kami terhadap tawaran konsensi tambang yang menyasar ke Organisasi Masyarakat (ORMAS) Keagamaan yang termatup pada perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 ke PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Penetapan ini menimbulkan berbagai polemik di kalangan masyarakat sebab pemerintah memberikan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi masyarakat (ORMAS) Muhammadiyah.

Melalui berbagai kajian mengenai dampak pertambangan terhadap kemaslahatan umat dan alam semesta di masa mendatang, kami mengambil sikap dan membuat kertas posisi sebagai tanggapan adanya tawaran tersebut. Pokok maksud dari kertas posisi ini ialah mendesak ormas keagamaan, khususnya Muhammadiyah, untuk menolak pemberian IUP tambang batu bara. Adapun mengenai alasan penolakannya sudah kami himpun menjadi poin-poin di dalam tulisan ini.

  1. Peran Muhammadiyah Tetap Menjaga Jati Diri Ormas Keagamaan

Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan mempunyai peran penting dalam memperkuat prinsip agama, nilai, melestarikan norma, dan kepercayaan kepada Tuhan. Ormas juga dapat menjadi mitra strategi dalam membangun stabilitas nasional. Lebih dari itu, ormas menjadi ujung tombak serta mempunyai daya dan Upaya strategis menuntun dan menjadi partner masyarakat membangun moril bagi bangsa.

Bila kita amati peta sosiologis keagamaan kontemporer di Indonesia bahwa sebagian besar umat beragama tergabung dalam berbagai wadah organisasi kemasyarakatan berbasis agama, seperti Muhammadiyah, NU, NWDI. KWI, HKBP, PGI, dan sebagainya. Kondisi in mencerminkan kebinekaan bangsa melalui kebinekaan ormas yang menjadi wadah beramal bagi umat beragama. Oleh karena itu, kehadiran ormas telah menjadi representasi perjuangan rakyat dalam menentang kezaliman serta memberikan kepeloporan dalam pemberdayaan masyarakat yang berlangsung jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia.

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam, telah berjuang cukup lama membangun bangsa, melalui kontribusinya dalam membangun stabilitas bangsa serta bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Sebagaimana nilai dan cita-cita Muhammadiyah yang tercantum dalam landasannya yakni terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sekaligus mendasari seluruh aspek kehidupan dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-Sohihah. Penekanan terhadap pergerakan Islam, pola dakwah, dan tajdid juga tak luput dari perhatian.

Pendirian Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian Penoloeng Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang dipelopori oleh Haji Soedja’ pada 17 Juni 1920 menjadi landasan awal Muhammadiyah dalam merumuskan model gerakan lingkungan modern di kalangan organisasi Islam pada zaman itu. Berlandaskan filosofi “kepenolongan umum”, gerakan Muhammadiyah tidak terbatas dalam gerakan filantropi dan kesehatan saja namun bermakna luas menjawab krisis multidimensional pada awal abad XX. Gerakan bermula dari letusan Gunung Kelud 1918 berlanjut hingga respon terhadap alih-fungsi lahan masyarakat adat dan masalah pertambangan yang merusak akses terhadap sumber daya alam di Pengaron Kalimantan Timur. Haji Soedja’ dan pegiat Muhammadiyah zaman itu melalui pengkajian mendalam akan dampak kerusakan lingkungan dapat melahirkan berbagai upaya mitigasi/pengurangan resiko yang strategis, taktis dan berkelanjutan sebagai respon Muhammadiyah terhadap isu sosial-ekologi pada era kolonial Belanda.

Pada Mukhtamar ke-38 tahun 1971 barulah secara resmi Muhammadiyah mengeluarkan keputusan tentang “Pembinaan Keluarga dan Masyarakat Sejahtera” agar mengorganisir kegiatan-kegiatan dalam pemeliharaan kesehatan lingkungan. Muhammadiyah setidaknya membutuhkan waktu 50 tahun untuk merumuskan pemikiran Islam dalam bidang lingkungan hidup secara resmi. Walaupun begitu Muhammadiyah tetap progresif dalam merespon isu ekologis melalui setiap upaya mitigasi di bidang kesehatan dan pendidikan.

Muktamar Muhammadiyah ke-41, Muhammadiyah kembali melahirkan putusan untuk meluaskan jangkauan program pelayanan sosial. Perluasan jangkauan ini menyentuh bidang sosial dan kesehatan yang termaktub dalam poin 1 huruf c. Ini berarti pengarusutamaan isu ekologis sudah mulai dipertimbangkan di kalangan Muhammadiyah pada zaman itu, terbukti dari upaya pelestarian lingkungan yang ditempatkan sebagai bentuk program pelayanan sosial yang harus ditingkatkan/diperbanyak pelaksanaannya di kalangan masyarakat.

Tidak berhenti disitu, pada Muktamar selanjutnya (Muktamar ke-42 tahun 1990) untuk pertama kali muncul kesadaran baru mengenai “kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan” menjadi bagian dari “permasalahan global” yang patut diperhatikan oleh Muhammadiyah. Di bawah naungan bidang Dakwah, Pendidikan dan Pembinaan Kesejahteraan Umat, Muhammadiyah melahirkan program pembinaan lingkungan hidup (Sasaran Kebijakan Program, Nomor 3, poin a). Agenda utama program ini yaitu berpartisipasi dalam pengembangan usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan kerusakan alam dari berbagai pencemaran dan pengrusakan. Selama beberapa kali Muktamar Muhammadiyah pada periode 1980-1990an akhir, telah memberikan amanah terhadap warganya untuk menerapkan laku pelestarian lingkungan hidup, mulai dari menempatkan kelestarian lingkungan menjadi isu strategis dalam pelayanan sosial hingga adanya pembinaan lingkungan hidup terhadap warga Muhammadiyah sendiri.

Pada 1 dekade berikutnya, Muhammadiyah mulai benar-benar secara serius mempertajam ideologi dan manhaj pemikiran ekologisnya. Dalam Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 44 tahun 2000 tertuang amanah untuk “…..memakmurkan bumi serta tidak melakukan perusakan terhadap alam”. Setelahnya terbit Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) sebagai amanat Tanwir Jakarta 1992. PHIWM mencatat uraian khusus tentang panduan kehidupan dalam melestarikan lingkungan hidup. Pada PHIWM ini kami menyoroti poin 1 sebagai landasan penting bagi pengembangan pemikiran ekologis dan panduan melestarikan lingkungan ala Muhammadiyah yang berbunyi “Lingkungan hidup sebagai alam sekitar dengan segala isi yang terkandung di dalamnya merupakan ciptaan dan anugerah Allah yang harus diolah/dimakmurkan, dipelihara, dan tidak boleh dirusak”. Artinya Muhammadiyah sangat memuliakan alam sehingga sekali lagi menekankan kepada warga Muhammadiyah untuk merawat dan tidak merusak alam kembali diamanahkan secara kelembagaan maupun perseorangan.

Dengan asas kebermanfaatan dan keberlanjutan yang tidak hanya dirasakan oleh warga Muhammadiyah namun seluruh warga Negara Republik Indonesia, pada tahun-tahun selanjutnya Muhammadiyah memperkuat peran dalam respon isu ekologis. Penguatan kelembagaan dengan Lembaga Lingkungan Hidup pada Muktamar tahun 2005, lalu penerbitan Teologi Lingkungan pada tahun 2007 bersama dengan KLH RI hingga tahun 2010 dengan pendirian Majelis Lingkungan Hidup. Dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 mengamanahkan kepada seluruh komponen Muhammadiyah dalam penanganan isu-isu krisis air dan perubahan iklim melalui secara praktis maupun konseptual. Secara praksisnya telah dikembangkan aksi-aksi nyata, seperti pembangunan Kawasan Penyejuk Bumi (KPB), Sekolah/Kampus Sejuk (Green School/Campus), Shadaqah Sampah (launching 2011) dan kampanye lingkungan. Selain itu, melalui kontribusinya dalam ilmu pengetahuan Muhammadiyah telah menerbitkan beberapa pemikiran seperti putusan-putusan Majelis Tarjih berkenaan ekologis, Fikih Air, Akhlak Lingkungan, Menyelamatkan Bumi, Panduan Sedekah Sampah, Fiqih kebencanaan, dan Fikih Agraria.

Terakhir, Muktamar Muhammadiyah ke-48 tahun 2022 mengusung tema “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta” bersamaan dengan terbitnya Risalah Islam Berkemajuan. Secara sungguh-sungguh pada Muktamarnya yang terakhir, Muhammadiyah mengajak masyarakat dunia untuk menyerukan dan mengawal berbagai regulasi yang dapat membahayakan lingkungan dan kehidupan umat manusia.

Berefleksi dari histori panjang perjuangan Muhammadiyah, dalam merespon isu ekologis di Indonesia-mulai dari Keputusan Muktamar, penerbitan hasil pemikiran, hasil tarjih maupun gerakan praksis-sangat tidak etis apabila Muhammadiyah salah mengambil keputusan dalam merespon isu bagi-bagi IUPK yang dilakukan pemerintah. Disisi lain akan terjadi sebuah penyelewengan sejarah sekaligus pengkhianatan atas Khittah Perjuangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang sudah digadang-gadang selama 100 tahun lebih ketika Muhammadiyah tetap mengambil kesempatan tawaran kelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

Dengan demikian, Muhammadiyah secara kelembagaan harus bersikap tegas MENOLAK tawaran aturan pemerintah mengenai izin kelola pertambangan yang berpotensi merusak hajat keseimbangan kehidupan. Muhammadiyah harus tetap konsisten dalam membangun bangsa sesuai cita-citanya serta menjauhkan diri dari kemudharatan, terlebih lagi memerangi apapun yang dapat membawa kesengsaraan bagi ummat, bangsa dan alam.

  • Rekam Jejak Konflik Pertambangan Mineral dan Batubara

Pertambangan batu bara kini beroperasi pada lahan seluas 4 juta hektar yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia, dengan mayoritas di Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan (Catahu JATAM, 2018) Pada tahun 2022, pemerintah melakukan pencabutan IUP dengan total IUP yang dicabut terdiri dari 112 IUP mineral dan 68 IUP batu bara. Pencabutan ini ditengarai akibat seratusan perusahaan tersebut tidak memanfaatkan izin yang diberikan sebagaimana mestinya. Pencabutan IUP batu bara paling banyak dilakukan di provinsi Kalimantan Timur sebanyak 34 IUP (50 persen) yang dimiliki oleh 34 pelaku usaha. Ada 2.078 perusahaan tambang kehilangan izin usaha pertambangan karena tidak melaksanakan kewajibanya. Salah satu peraturan yang paling krusial adalah reklamasi pasca tambang. Banyak perusahaan yang mangkir dan meninggalkan lubang bekas tambang.

Aktivitas pertambangan batubara meninggalkan tanah yang tandus, daerah tangkapan air yang tercekik dan terpolusi, dan air tanah yang habis. Tentang kondisi masyarakat sekitar tambang, beberapa riset menunjukkan tambang batubara memberikan kontribusi paling tinggi dibandingkan sektor lainnya, sehingga pertambangan menjadi sektor sumber penyediaan bahan baku energi serta pendapatan yang menopang perekonomian bagi provinsi ini. Namun, hadirnya tambang batu bara malah menimbulkan kemiskinan non-moneter yang lebih serius daripada kemiskinan pendapatan. Kerentanan dalam sektor pendidikan, kesehatan dan akses terhadap infrastruktur dasar mengalami setidaknya satu jenis kemiskinan. Melihat indikator non-moneter, rumah tangga miskin di wilayah sekitar tambang mengalami tingkat yang lebih tinggi dari kemiskinan dibandingkan rata-rata rumah tangga miskin di seluruh negeri.

Pada tahun 2021, Kementerian ESDM mencatat, Indonesia memiliki cadangan batu bara terverifikasi sebesar 31,69 miliar ton. Sekitar 43% dari total cadangan tersebut berada di wilayah Kalimantan Timur. Kota Samarinda menjadi salah satu kota yang paling terdampak dari kegiatan pertambangan batubara. Kota tersebut lebih dari 71% wilayahnya sudah ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP) dari total luas sebesar 718 km2 dan sampai saat ini tercatat sebanyak 16 perusahaan tambang masih aktif (memiliki izin) yang beroperasi di Samarinda, kurang lebih sebanyak 250 tambang beroperasi.

Pada tahun 2014-2019 ada 71 konflik yang terjadi. Kasus itu terjadi pada lahan seluas 925.748 hektar. Konflik paling banyak terjadi di provinsi Kalimantan Timur (14 kasus); diikuti Jawa Timur (8 kasus); dan Sulawesi Tengah (9 kasus). Konflik itu terkait keberadaan tambang emas (23 kasus), batubara (23 kasus), dan pasir besi (11 kasus). Contoh lain kasus dari kegiatan eksplorasi tambang batu bara pada 2020 ada sebanyak 3.092 lubang tambang yang tidak direklamasi di Indonesia, termasuk 814 di antaranya terdapat di Kalimantan Selatan.

Kondisi masyarakat sekitar tambang mengancam dan mempertaruhkan kesejahteraan masyarakat. Walaupun dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga dapat berdampak pada hilangnya nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi lokal. Masyarakat yang tinggal di wilayah pertambangan mengalami perampasan hak hidup layak pada aspek kemiskinan non-moneter seperti perubahan pola hidup dan kehidupan sosial dan kehilangan sumber kehidupan. Kemiskinan non-moneter jelas merupakan masalah yang lebih serius daripada kemiskinan pendapatan. Ketika seseorang mengakui semua dimensi kesejahteraan manus–konsumsi yang memadai, kerentanan berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap infrastruktur dasar maka hampir separuh dari seluruh Indonesia akan dianggap telah mengalami setidaknya satu jenis kemiskinan.

  • Risiko pertambangan mineral dan batubara bagi sosial dan lingkungan

Pertambangan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh pelaku usaha pertambangan yang bertujuan untuk memperoleh barang tambang dan keuntungan. Dalam segi kemasyarakatan dan ekologinya, aktivitas pertambangan seringkali beresiko menimbulkan konflik, baik itu konflik antara masyarakat dengan pelaku usaha tambang (perusahaan) maupun masyarakat dengan pemerintah.

Batubara adalah sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, menyebabkan banyak bencana di Indonesia. Nusantara sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan geofisika/tektonik, menjadikannya salah satu daerah paling rawan bencana di dunia. Perubahan iklim meningkatkan kejadian dan dampak cuaca ekstrim, memperburuk bahaya hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, angin topan, puting beliung, dan tanah longsor. Meskipun gempa bumi menyebabkan lebih banyak kematian, bencana hidrometeorologi menyebabkan lebih banyak korban luka, pengungsian, dan kerusakan harta benda. Emisi gas rumah kaca diperkirakan akan mengubah iklim tropis Pasifik, mempengaruhi sistem El Nino-Southern Oscillation (ENSO), dan menyebabkan kejadian El Nino dan La Nina yang lebih ekstrim.

Praktiknya hari ini, pertambangan di Indonesia terkhusus mineral dan batubara menjadi kasus penjarahan dan berkontribusi memiskinkan serta memberikan traumatik yang mendalam dialami oleh masyarakat. kita melihat ada begitu banyak usaha pertambangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak kompeten atau justru sengaja tidak kompeten untuk memaksimalkan laba. Terjadi penggusuran masyarakat adat, terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang memiskinkan warga lokal. Tahun 2020, Jaringan Advokasi Tambang mencatat ada sekitar 3.092 lubang tambang yang ditinggalkan begitu saja. Sejauh ini, 40 nyawa telah hilang, meninggal jatuh tenggelam di lubang tambang, rata-rata korbannya anak-anak dibawah umur. Belum lagi kerusakan yang dtimbulkan seperti menghilangkan unsur ekosistem, dan lambat laut menimbulkan bencana sosial-ekologis.

Risiko pertambangan mineral dan batubara bagi sosial dan lingkungan adalah sangat signifikan dan berpotensi mengancam kesehatan lingkungan dan masyarakat sekitar. Daya rusak yang dihasilkan dari suatu pertambang akan banyak mempengaruhi ekosistem alam seperti pencemaran air, kerusakan lahan, kualitas tanah, kualitas udara, kesehatan, masyarakat.

  • Potensi korupsi Pertambangan

Tumpang tindih antara regulasi mengenai pemerintah dan usaha pertambangan mendorong adanya tumpang tindih peran antara pemerintah dan pengusaha yang menyebabkan kesulitan melacak perizinan operasi tambang. Selain tumpang tindih regulasi, bentuk profesionalisme dalam pengelolaan juga menjadi potensi laku korupsi dalam pengelolaan tambang. Gratifikasi konsesi yang diberikan kepada perseorangan ataupun organisasi sarat dengan kepentingan politis, ada harga yang harus dibayar atau imbal jasa (kickback).

Praktik korupsi di sektor pertambangan tidak bisa dilepaskan dari buruknya pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir. Pada tahun 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaki dan memetakan, ada 10 persoalan terkait pengelolaan pertambangan. Masalah tersebut antara lain adalah renegosiasi sejumlah kontrak pertambangan, peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batubara, penataan kuasa pertambangan atau izin usaha pertambangan, serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Lima persoalan lain adalah pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler, pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca tambang, penerbitan aturan pelaksana UU No 4/ 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengembangan sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, dan pemaksimalan penerimaan negara.

Beberapa Indikasi potensi korupsi pertambangan batu bara hasil dari kajian yang dilakukan oleh Publish What You Pay (PWYP) pada tahun 2016 di antaranya:

  1. Terdapat WIUP dan IUP di wilayah hutan yang dilarang untuk kegiatan pertambangan, seperti hutan konservasi dan hutan lindung (khusus hutan lindung dengan model penambangan terbuka/open pit mining).
  2. Terdapat perusahaan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), namun tetap mendapatkan IUP.
  3. Terdapat perusahaan yang tidak berkomitmen menyetor dana jaminan reklamasi dan pascatambang, namun tetap mendapatkan IUP.
  4. Terdapat indikasi tumpang tindih izin (baik antar komoditas yang sama, maupun komoditas yang berbeda seperti antara izin sawit dan izin tambang).
  5. Tunggakan pembayaran pajak dan penerimaan negara yang tidak diawasi dan ditagih dengan baik.

Setelah melihat persoalan diatas, kami melihat Muhammadiyah belum punya pengalaman secara profesional pengelolaan pertambangan, setidaknya kapasitas keahlian dalam bidang pertambangan tersebut. Sedangkan dunia pertambangan juga sering terjadi perilaku yang berpotensi pada kecurangan dan jebakan oleh pelobi rente tambang. Maka ketika tambang dikelola oleh ormas dengan kapasitas keagamaannya tidak menutup kemungkinan akan ada potensi kecurangan dengan praktik-praktik seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dan masuk jebakan kubangan oligarki yang makin menjerumuskan Muhammadiyah pada kezaliman. Hal tersebut akan sangat mencederai spirit perjuangan Muhammadiyah yang selama ini hadir sebagai organisasi Gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan umat Muslim, serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

  • Pertambangan dan Dampak Buruk Pada Perempuan

Tidak ada tambang yang ramah lingkungan dan berpihak terhadap perempuan. Barangkali hari ini kita bisa berdalih bahwa pertambangan menghasilkan keuntungan ekonomi yang amat menggiurkan. Namun faktanya tambang memiliki daya rusak yang serius terhadap lingkungan hidup dan penghidupan sosial masyarakat. Terlebih pada perempuan, sering kali pengambilan keputusan atas konsesi tambang tidak pernah mempertimbangkan suara perempuan. Seperti, ibu-ibu Simbar-wareh yang tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan membahas tembang bahan baku semen di Kab. Pati, Jawa Tengah (Komnas Perempuan 2019). Akibatnya hak-hak perempuan atas tanah, perawatan sumber daya alam, kegiatan produksi dan reproduksi dikaburkan, bahkan hak atas dirinya sendiri dikaburkan seolah tidak ada.

Aktivitas pertambangan beresiko membuat perempuan mengalami penindasan berlipat. Mulai dari hilangnya akses perempuan terhadap sumber daya alam membuat kemandirian ekonomi perempuan hilang. Sebab, lahan yang dijadikan pertambangan merupakan wilayah kelola yang memiliki potensi ekonomi berkelanjutan, ramah perempuan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Misalnya, hutan Wadas, Jawa Tengah yang akan diambil batuan andesitnya untuk pembangun Bendungan Bener, faktanya lahan tersebut mampu menghidupi warga dengan berbagai hasil buminya. Perempuan-perempuan Wadas sudah sangat piawai membuat besek dari bambu dan mereka bisa menghasilkan besek sebanyak 800 buah/bulan, dengan keuntungan melebihi Upah Minimum Kabupaten Purworejo yang hanya Rp1.911.850 (Purnomo et al. 2023, 22). Daerah lain, di Tanah Paragot dengan Mama Parulian Tambun menjaga dengan hati-hati bagot dan membiakkannya menjadi 10 pohon. Sebab bagu Mama Parulian bagot bisa menjadi teman bercerita, karena ketika dia sangat membutuhkan uang, bagot bisa menghasilkan sepuluh liter tiap harinya (Purnomo et al. 2023, 43). Secara ekonomi perempuan-perempuan dan warga sudah hidup sangat layak dengan hasil bumi mereka sendiri. Bahkan kepentingan mereka tetap melakukan aktivitas ekonomi berkelanjutan hanyalah untuk masa depan anak cucu mereka. Ketika aktivitas pertambangan hadir, mereka justru mendapat ancaman berlipat, tidak hanya kehilangan sumber ekonomi tapi masa depan anak cucu mereka-dan kita juga.

Di ruang domestik perempuan terancam oleh sumber daya yang minim dengan kualitas yang buruk. Seperti pencemaran air sumur rakyat di wilayah pertambangan Kelurahan Jawa, Kutai Kartanegara membuat air menjadi keruh, berbau dan “sedikit berasa” (Kamim, 2023). Kondisi ini tentunya menghambat aktivitas produksi perempuan di ranah domestik sekaligus memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras agar memenuhi kebutuhan rumah tangga. Terdapat pula resiko penurunan kesehatan-secara khusus kesehatan reproduksi mengingat kebutuhan air perempuan secara biologis lebih banyak dibandingkan laki-laki. Selain itu, kerja-kerja domestik yang dilakukan perempuan seringkali masih tidak dianggap sebagai kerja produktif sehingga banyak yang tidak dihargai dan hanya memperpanjang sejarah penindasan terhadap perempuan.

Luasnya area pertambangan beresiko menghilangkan berbagai tumbuhan yang hidup di atas lahan. Perempuan umumnya memiliki peran kuat untuk perawatan, pengarsipan pengetahuan dan pengalaman tentang alam, kemampuan ini berpotensi hilang. Semua upaya tersebut tidak dianggap produktif sehingga seringkali dianggap layak dihilangkan secara struktural oleh pertambangan dengan sokongan penuh pengurus negara. Di sisi lain, ancaman hilangnya ruang bermain yang aman bagi anak-anak akan terus membayangi para ibu, mengingat sudah banyak kasus kematian karena anak terperosok di lubang bekas tambang (JATAM 2019). Dan sekali lagi, perempuan tidak diberikan ruang untuk menuntut hak atas kematian anak-anaknya hanya karena mereka perempuan.

Pencerabutan hak-hak perempuan karena aktivitas tambang membuat perempuan mengalami berbagai penderitaan dan penindasan berlapis. Apakah kehidupan seperti itu yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah dengan gerakan “Islam Berkemajuan” miliknya? Sudah seharusnya tidak demikian, mengingat sejak awal berdirinya, Muhammadiyah sangat memperhatikan kesejahteraan perempuan dan mendorong perempuan agar berkiprah di ruang sosial kemasyarakatan. Dibuktikan dengan adanya majelis pendidikan perempuan hingga kelahiran ‘Aisyiyah yang menurut Bapak Haedar Nashir sebagai gerakan perempuan yang autentik dengan kekhasan Indonesia dan memiliki kesamaan dasar nilai hidup dengan bangsa Indonesia yaitu Pancasila, agama dan budaya luhur bangsa. Dan sudah sejak awal pendiriannya ‘Aisyiyah telah memiliki komitmen untuk mengentaskan isu kesehatan ibu & anak, mendorong perempuan-perempuan untuk berkiprah melalui pendidikan maupun aktivitas sosial. Hingga dalam beberapa dekade terakhir mulai memperkuat perannya terhadap perubahan iklim dan kerusakan lingkungan melalui gerakan seperti Eko Bhinneka, bank sampah di wilayah akar rumput, Green Idul Adha, Green Ramadhan, dan Green Idul Fitri.

Di tengah polemik konsesi tambang bagi ormas, bahkan ‘Aisyiyah mampu memberikan respon elegan dengan mendorong akselerasi energi bersih, berkelanjutan dan adil (Pimpinan Pusat Aisyiyah 2024). Akselerasi energi bersih menjadi upaya menekan dampak pertambangan yang dapat mengantarkan bumi menuju kerusakan lebih parah dan penindasan berlipat terhadap perempuan melalui lembaga risetnya. Apabila menilik sikap ‘Aisyiyah melalui lembaga riset miliknya, dapat kita maknai bahwa ada harapan besar untuk Muhammadiyah dapat menolak tawaran IUP yang sedang dilakukan pemerintah. Hari ini, ketika Muhammadiyah – secara kelembagaan maupun personal di berbagai tingkat – menerima konsesi tambang bukankah sama saja sedang meruntuhkan segala perjuangan ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom dan gerakan perempuan Muhammadiyah yang lahir dari state of mind yang tajdid?

Dengan mempertimbangkan masalah-masalah di atas, kami kader-kader Muhammadiyah yang terhimpun dalam Kader Hijau Muhammadiyah menyatakan sikap, sebagai berikut.

  1. Menolak kebijakan pemerintah memberikan izin kepada organisasi masyarakat keagamaan untuk mengelola pertambangan seperti ekstraksi batubara karena akan merusak alam dan organisasi masyarakat keagamaan yang seharusnya menjaga marwah sebagai institusi yang bermoral.
  2. Pemberian izin tambang pada ormas keagamaan, berpotensi hanya akan menjadi sumber konflik interest dan menguntungkan segelintir elit ormas, menghilangkan tradisi kritis ormas, dan pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang bisa mengontrol dan mengawasi pemerintah.
  3. Mendesak PP Muhammadiyah bersikap tegas untuk menolak kebijakan pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah ditawarkan pemerintahan Jokowi karena akan menjerumuskan Muhammadiyah pada kubangan dosa sosial dan ekologis.
  4. Mendesak PP Muhammadiyah agar kembali khittah perjuangan dan tidak menerima tawaran konsesi tambang, yang kemudian hari akan membuat Muhammadiyah terkooptasi menjadi bagian dari alat pemerintah untuk mengontrol masyarakat, serta terus mendorong penggunaan energi terbarukan.
  5. Meminta Muhammadiyah untuk menata organisasi secara lebih baik dan profesional dengan mendayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang yang akan menjadi warisan kesesatan historis.
  6. Muhammadiyah untuk semua, milik banyak orang—Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang, Ranting hingga individu-individu yang berkhidmat pada Muhamadiyah—bukan hanya milik Pimpinan Pusat dan elite-elitnya. Kita semua punya caranya sendiri mencintai Muhammadiyah sebagai wadah untuk menjaga kelestarian lingkungan.
  7. Menyerukan seluruh Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang hingga Ranting Muhammadiyah serta seluruh elemen masyarakat untuk berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi.

Demikian kertas posisi ini kami buat dan sampaikan kepada pimpinan-pimpinan Muhammadiyah baik dari tataran pusat sampai ranting untuk segera bertindak terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang peraturan pemerintah (PP) nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.